Jogja 'cen' Istimewa (4): Membayar Dosa Masa Lalu

Anif Punto Utomo

Oleh Anif Punto Utomo *)

Suatu hari di SGPC Bu Wirjo.

‘’Mas..saya makan pecel, sari tomat tambah tahu...pinten nggih?’’ tanya seorang bapak umur menjelang 60 tahun.

‘’Sekedap pak….’’

Tak lama kemudian keluar angka dari kalkulator. ‘’Empat puluh enam ribu pak.’’

Si bapak lantas membuka dompetnya. Diambilnya 10 lembar uang berwarna merah dari dompet tebalnya, dan langsung disodorkan ke kasir.

‘’Niki nggih mas… Sisan kalih mbayar sing jaman biyen,’’ kata bapak itu.

‘’Oo nggih pak..maturnuwun,’’ jawab kasir dengan nada datar. Tak ada wajah terkejut meskipun uang yang diterima 20 kali lipat dibanding tagihan yang diberikan.

Apa kesimpulannya? Berarti banyak orang seperti bapak tadi yang membayar ‘masa lalunya’ sampai-sampai kasir itu tanpa ekspresi saat menerima uang satu juta rupiah hanya untuk makan pecel.

Bahkan pernah ada yang membayar sampai tiga juta pun, sang kasir menerima nyaris tanpa ekspresi terkejut.

SGPC tahun 1970-an sampai 1980-an memang terkenal. Lokasi berada di lingkaran satu UGM, tepatnya sebelah timur gedung pusat (Balairung). SGPC menjadi satu-satunya warung makan yang berada di lingkungan UGM.

Tidak ada papan nama. Tapi semua mahasiswa UGM paham. Rata-rata pada tahu kalau nama pemiliknya adalah ‘Bu Wiryo’ ketika SGPC pindah ke pinggir selokan Mataram dan memasang papan bertulis ‘SGPC Bu Wiryo’. Tahunya berdiri sejak 1959 pun dari papan nama itu.

SGPC merupakan singkatan dari SeGo PeCel karena memang menu andalannya adalah sego pecel (nasi pecel). Menu makan satunya yang legendaris adalah sop bayem. Kalau mau irit makan sop bayem polos, kalau barusan dapat kiriman wesel pilih sop daging, yang sebetulnya tak lebih dari sop polos diisi irisan daging.   

Rasanya tidak ada satu pun mahasiswa UGM yang tidak mengenal SGPC. Bahkan tidak sah menjadi mahasiswa UGM kalau belum makan di SGPC. Tapi apakah semua mahasiswa UGM mampu ke SGPC? Itu masalahnya. Tidak semua mahasiswa mampu. Harga kurang ramah bagi sebagian besar mahasiswa yang kirimannya sangat pas-pasan dan kadang telat.

Mahal mungkin tidak, tetapi harga memang sedikit di atas rata-rata. Nah rata-rata ini yang sangat rendah, hampir tidak masuk akal. Maklum daya beli (makanan) mahasiswa rendah, rendah serendah-rendahnya. Jadi cari makan harus di warung yang murah, murah semurah-murahnya untuk menyiasati agar bisa makan minimal dua kali sehari.

Tapi sekali waktu mahasiswa kemampuan rata-rata itu pengen juga seperti ‘mahasiswa-mahasiswa’ lain, makan di SGPC. Biar ‘kerenan’ sedikit. Kalau sudah begitu, modalnya nyali. Caranya ya begitulah, ‘darmaji’ dahar limo ngaku siji, makan lima ngakunya satu.

Makanya ambil posisi duduk di tempat yang jauh yang tidak kelihatan kasir. Kadang datang rombongan, berlima atau berenam, tetapi ketika di kasir mbayarnya sesuai uang yang ada di kantong, yang kalau ‘jujur’ mesti jumlahnya kurang. Saya kira waktu itu Bu Wirjo juga tahu kalau sebagian mahasiswa berdarmaji-ria.

Boleh jadi karena ‘kebaikan hati’ Bu Wiryo itulah sampai sekarang SGPC tetap eksis. Bedanya, dulu yang membikin ramai warung adalah para mahasiswa, sekarang dipenuhi alumni. Ya, sekarang menjadi ampiran buat alumni UGM yang pulang menengok Jogja. Makan untuk nostalgia. Harga makanannya pun menjadi harga nostalgia.

Jadi bukan warung untuk mahasiswa lagi? Bukan. Harganya memang sengaja dibikin tidak ramah terhadap mahasiswa. Dan mungkin mahasiswa sekarang lebih jujur, atau tidak punya nyali untuk ‘darmaji’, atau memang sudah tidak zamannya lagi ‘darmaji’. Mohon maaf, jangan-jangan ‘darmaji’ ini domain generasi ‘baby boomers’ dan sebagian generasi X.

Atau boleh jadi terjadi perubahan selera makanan sejak mahasiswa generasi milenial.

Mengutip cerita di detik.com, di tahun 1995-2000 SGPC Bu Wiryo mengalami masa sulit, terutama karena mahasiswa bergeser ke makanan cepat saji. Sementara SGPC tetap ingin mempertahankan rasa dan jenis makanan seperti nasi pecel dan sop dengan minuman khas sari tomat, berikut lauk telur dadar, telur matasapi, telur puyuh, telur asin, tempe, dan tahu.

Merespons situasi itu, SGPC mengubah target pasar yang awalnya mahasiswa menjadi masyarakat umum. ‘’Kita up-kan harganya. Ya yang datang kalau dulu 90 persen mahasiswa, sekarang umum," kata Kelik, anak Bu Wiryo.

Masuk akal jika selera jenis makanan menjadi alasan utama. Sekarang barangkali banyak mahasiswa yang secara ekonomi mampu untuk makan di SGPC, setidaknya dibanding zaman dulu. Tapi pecel dan sop bagi mereka sudah menjadi ‘heritage’. Makanan orang tua, kata mereka.  

Ya sudahlah. Kini kalau makan di SGPC kebanyakan akan bertemu dengan sesama alumni. Lantaran jumlah alumni UGM sudah ratusan ribu, maka selalu saja ada yang pulang ke Jogja dan kemudian bernostalgia ke SGPC. Bagi yang punya dosa ‘masa lalu’ sekalian menghapusnya.

Di tengah gempuran kuliner yang makin beragam di Jogja, SGPC masih terus bertahan di usianya yang genap 66 tahun. Efek membayar masa lalu secara massal ini mungkin yang menjadikan tetap eksis. Dan itu hanya terjadi di SGPC Jogja. Ah, Jogja memang istimewa.


*) Jurnalis Senior, Peneliti Moya Institute



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.