Hendardi: Pembungkaman Pasif Berlanjut, Meski Jokowi Bukan Lagi Presiden RI
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi (tengah). (Foto: jibi)
JAKARTA -- Ubaidilah Badrun, aktivis 98 dan dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Departemen Sosiologi tanpa alasan yang jelas. Aktivitas Ubaid yang berulang kali menyasar dugaan korupsi dan nepotisme keluarga Presiden Ketujuh RI Jokowi diduga menjadi salah satu pemicu utama pencopotannya yang tidak lazim.
"Sekalipun secara normatif Rektor UNJ memiliki kewenangan, tetapi tidak ada alasan kuat yang bisa diterima karena selama menjabat Ubaid justru berkinerja baik dan membubuhkan sejumlah prestasi bagi program studi yang dipimpinnya," ujar Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, dalam siaran persnya yang diterima gebrak.id, Senin (3/2/2025)
Menurut Hendardi, Rektor UNJ bisa jadi tidak tahu bahwa Jokowi bukan lagi sebagai Presiden RI, sehingga aktivitas Ubaid yang kritis terhadap keluarga Jokowi, mesti dibungkam. "Rektor UNJ seperti masih merasa perlu melayani Jokowi dan keluarganya," tuding dia.
Pembungkaman pasif pada para akademisi dan aktivis, lanjut Hendardi, menjadi cara untuk melemahkan perlawanan, kritik, dan aktivitas menentang dipraktikkan Jokowi saat menjabat. "Hanya segelintir guru besar dan akademisi yang tetap gigih bersuara meski dihadapkan pada tekanan dan pembungkaman pasif," jelas dia.
Jika pembungkaman aktif dilakukan dengan kriminalisasi kebebasan berpendapat yang banyak menimpa aktivis HAM, aktivis bantuan hukum, dan lingkungan, sambung Hendardi, maka pembungkaman pasif umumnya dialamatkan pada akademisi dan tokoh masyarakat dengan cara menghambat laju karier, misalnya untuk menjadi guru besar, atau mencopot jabatan di dalam kampus.
Hendardi menilai rektor lebih banyak menjadi tangan kekuasaan selama Jokowi menjabat dan selama musim Pemilu dan Pilkada 2024, baik untuk mengendalikan aktivisme kampus maupun menyediakan dalil-dalil pembenaran atas tindakan sebuah rezim. "Pembungkaman pasif terbaru bagi kalangan kampus adalah iming-iming konsesi tambang, melalui agenda revisi superkilat UU Minerba yang sedang berlangsung," cetusnya.
Merujuk Indeks HAM SETARA Institute 2024, skor indikator kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah 1,1, menurun 0,2 poin dari Indeks HAM 2023 pada skla 1-7. Sementara Economist Intelligence Unit (EIU) yang merilis Indeks Demokrasi negara-negara di dunia, menempatkan Indonesia pada peringkat 56 dengan skor 6,53 di 2023 atau turun dua tingkat dari 2022. Kondisi demokrasi dan kebebasan sipil diperkirakan tidak akan berubah di Era Presiden RI Prabowo Subianto.
Menurut Hendardi, selain beban pelanggaran hukum dalam meraih kekuasaan dengan mengakali berbagai aturan melalui Mahkamah Konstitusi (MK), Prabowo Subianto juga tidak memiliki imajinasi pemajuan demokrasi dan hak asasi manusia, sebagaimana tergambar pada 100 hari kepemimpinannya. "Tidak ada peta demokrasi yang dirancang, tidak ada agenda HAM disusun dan tidak ada tanda supremasi hukum akan digdaya," jelasnya.
Alih-alih memperkuat supremasi sipil, sambung Hendardi, Prabowo justru mendorong supremasi militer dengan melibatkan sebanyak dan seluas-luasnya purnawirawan, pejabat, dan anggota TNI aktif dalam urusan-urusan sipil.
(rilis/eye)
Post a Comment