Komponis Ananda Sukarlan Perdanakan Karya Frederic Chopin, Musik Klasik Mulai Diminati Generasi Alpha

Tampak dalam foto bersama, yakni Wirawan Cuanda, Pianis dan Komponis Ananda Sukarlan, Ratnaganadi Paramita, serta Penyair  Emi Suy. (Foto: Ist/Kir/Lasman)


JAKARTA -- Pianis dan Komponis Ananda Sukarlan mempersembahkan sebuah konser yang bertajuk "Christmas Concert" bertempat di Galeri Seni Mitra Hadiprana, Jakarta, Minggu (15/12/2024). Acara tersebut sebetulnya bukan untuk merayakan Hari Natal semata, tetapi juga memperingati dua hari penting yang lain bertepatan di bulan Desember ini, yaitu Hari Hak Asasi Manusia Sedunia (tanggal 10 Desember) dan Hari Perempuan Nasional (tanggal 22 Desember).

Maka, tidak heran jika dalam konser tersebut Ananda Sukarlan turut memproyeksikan dua tema yang disebut terakhir sebagai tanda sekaligus pengingat bagi kita tentang pentingnya menyuarakan “sesuatu” lewat karya.

Pada acara tersebut Ananda Sukarlan juga turut mengajak 4 musikus klasik muda pemenang Kompetisi Piano Nusantara Plus yang kini baru saja usai setelah proses panjang yang bergulir dari tahap ke tahap penuh gairah dan gejolak.

Kompetisi Piano Nusantara Plus tahun 2024 ini diselenggarakan di delapan kota berbeda dan telah memecahkan rekor kompetisi musik klasik pertama di Indonesia dengan jumlah peserta terbanyak, yaitu 477 peserta.

"Ini bukti bahwa musik klasik memiliki masa depan yang gemilang karena diminati oleh generasi alpha. Bukan hanya kuantitas peserta yang bikin saya takjub, tapi juga kualitas artistik, teknik permainan dan musikalitas mereka," ujar Ananda Sukarlan sebagai pendiri dan juga ketua dewan juri Kompetisi Piano Nusantara sejak tahun 2016 di Jakarta, Senin (16/12/2024).

Empat musikus klasik muda itu adalah pianis Vivienne Thamrin, Michael Anthony Kwok yang tunanetra dan mengidap autisme serta dua penyanyi: Wirawan Cuanda (bariton) dan Ratnaganadi Paramita (soprano).

Selain itu, konser ditutup dengan megah oleh paduan suara Catholic Fellowship Jakarta (CFJ Choir) pimpinan Fransiska Darmawan yang menyanyikan 4 lagu Natal tradisional.

Ada yang spesial dari konser kemarin, yaitu Ananda Sukarlan membawakan karya Frederic Chopin yang telah hilang kurang lebih selama 200 tahun, dan baru diketemukan di Morgan Library and Museum, New York City belum lama ini.

Karya tersebut adalah sebuah Waltz in A minor yang pendek, baru saja menerima pertunjukan perdana dunianya pada bulan Oktober lalu dimainkan oleh pianis Lang Lang.

"Kita di Indonesia cukup beruntung karena bisa mendengarkan secara langsung lewat tari jemari Ananda untuk kali pertama, dan saya yang juga menyaksikan langsung turut tergetar dan bersyukur bisa mengalaminya," katanya lagi.

Setelah memainkan Waltz yang pendek,- tapi sangat indah itu- Ananda dan Ratnaganadi mempersembahkan sebuah tembang puitik berjudul "Seberapa Panjang Malammu" dari sebuah puisi karya Dedy Tri Riyadi yang terinspirasi oleh musik Nocturne op. 9 no. 2 dari sang komponis Polandia tersebut, yaitu Frederic Chopin.

Komposisi yang unik ini menguntai melodi baru dari teks puisi Dedy yang indah, dengan latar belakang Nocturne tersebut dimainkan di piano.

Konser dibuka dengan Ananda Sukarlan memainkan karyanya "December, 2016".

Karya ini 'merekam' perasaan saya, dan juga pasti jutaan orang Indonesia pada hari-hari setelah peristiwa 212, yaitu 2 Desember tahun itu. Betapa rindunya kita terhadap toleransi beragama, di mana bunyi azan tetap merdu terdengar menjelang Natal yang damai.

Saling Bersahutan

Melodi lagu Natal "Noel" serta melodi azan saling bersahutan dan membuat harmoni yang indah di karya ini.

Selain karya ini, isu hak asasi manusia juga disampaikan lewat karya Ananda, cuplikan dari opera "I'm Not For Sale" tentang nyanyian korban perdagangan manusia yang secara keseluruhan akan diperdanakan tahun depan.

Di Kompetisi Piano Nusantara Plus, soprano Ratnaganadi Paramita menyanyikan aria ini, dari opera "I'm Not For Sale" dari teks puisi Emi Suy, yang membawanya menjadi Juara Pertama (1).

Sebuah kejuaraan yang lebih dari pantas, karena suara soprano Ratnaganadi sangat dalam dan menyayat hati. Ia pun tampil prima dengan gaun elegan Alleira Batik.

Di konser kemarin, selain aria opera ini, Ratna juga mempersembahkan dua tembang puitik yang berhubungan dengan sosok Ibu, yaitu "Membaca Ibu" dari puisi Heru Mugiarso dan "Perempuan Bersayap Malaikat" dari puisi Muhammad Subhan.

Lewat musiknya, Ananda menggali karakter sosok “Ibu” yang berbeda dari dua penyair yang memang gaya penulisannya juga sangat berbeda.Namun, keduanya sama-sama memiliki kekuatan dan keunikan.

Ratnaganadi dengan bagus sekali mampu menyampaikan dua lagu musik tersebut dengan sangat ekspresif melalui suaranya yang betul-betul merdu.

Kedalaman musikalitas dan pemahaman puitiknya menunjukkan bahwa ia memiliki kematangan teknik vokal soprano.

Ratna yang masih muda juga seorang sarjana neuroscience ini, didukung oleh iringan piano sang komponisnya sendiri telah memukau kami semua yang menonton.

Ratnaganadi belajar vokal di Amerika Serikat kepada Prof. Phillip Larson, Prof. Tiffany Du Mouchelle dan almarhum Maestro Prof. János Négyesy di University of California San Diego.

Perayaan Hari Perempuan juga disampaikan oleh permainan piano solo Ananda Sukarlan lewat "Virtuosic Variations on S.M. Mochtar's 'Kasih Ibu'" yang mengeksplorasi motif lagu "Kasih Ibu" melalui tekstur pianistik yang kaya dan penuh warna.

Sedangkan bariton Wirawan Cuanda yang menyandang Master of Music dari University of York, Inggris memilih dua tembang puitik berdasarkan puisi penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Sutikno W.S., berjudul "Apel (Cerita untuk Ibunda)" dan "Dari Jendela Ini" yang dipilih untuk babak final.

Ananda Sukarlan mengatakan bahwa Sutikno W.S. adalah salah satu penyair terbaik Lekra. Banyak karya besar lahir saat para penyair Lekra berada di penjara, namun nama mereka dan karya-karyanya hampir dilupakan.

Ananda  menambahkan bahwa pemilihan puisi oleh Wirawan Cuanda menunjukkan pemahamannya yang kritis terhadap karya-karya tersebut.

Dua tembang puitik ini bernuansa gelap, hal ini wajar mengingat bahwa puisinya ditulis di dalam penjara dengan segala penderitaan yang mendera.

Memang sangat disayangkan karya-karya sastrawan seniman Lekra seakan-akan “lenyap tanpa asap”, tidak bisa ditemukan kini, tidak dicetak ulang, juga tidak dibicarakan.

Padahal itu bagian dari sejarah kita yang perlu dikaji, sebab bagaimana pun ada manusia yang diceritakan di sana, ada kesaksian tentang kehidupan, ada “jerit hewan yang terluka” kata Rendra.

Saya sangat apresiasi ketika karya penyair Lekra yang bahkan di dunia sastra sendiri jarang kembali dibaca atau dibacarakan justru turut diangkat dalam konser musik klasik kemarin, itu sungguh suatu upaya yang bagus untuk mengingatkan kita agar tidak lupa pada sejarah.

Sutikno W.S. yang dipenjara oleh rezim Orde Baru tanpa proses pengadilan sejak 1969 mulai menulis puisi di dalam Penjara Salemba pada 1970, di Penjara Tangerang pada 1972, dan di Pulau Buru sejak 1973, hingga akhirnya dibebaskan pada 1979. Setelah tahun 1979, ia banyak menulis fiksi bacaan untuk anak-anak.

Para Pianis Muda

Ananda juga memperkenalkan pianis muda; Vivienne Thamrin, yang melengkapi tema Hak Asasi Manusia di konser ini dengan dua karya klasik Eropa, "Sonetto 104 del Petrarca" dari Franz Liszt (Hungaria), dan bagian ketiga dari Sonata in A major dari komponis Austria, Franz Schubert. Karya Franz Liszt itu juga terinspirasi dari mahakarya Francesco Petrarca (1304-1375), sastrawan dari zaman Renaissance yang memiliki julukan "Bapak Humanisme".

Vivienne Thamrin kelahiran Makassar, ia adalah pemenang Kompetisi Piano Nusantara 2017 (waktu itu belum ditambahkan kata "Plus", baru sejak tahun 2024 mulai ditambahkan kata “Plus” yang mengindikasi bahwa kompetisi ini adalah untuk semua instrumen dan juga vokal klasik).

Selain itu, Vivienne juga memenangkan Juara ke-2 kategori Junior di kompetisi paling prestisius di tanah air, Ananda Sukarlan Award tahun 2018, sebelum melanjutkan kuliah beberapa tahun setelahnya ke University of British Columbia di Kanada sampai saat ini.

Di Indonesia Vivi, panggilan akrabnya, adalah murid dari pianis Dr. Edith Widayani (pemenang Ananda Sukarlan Award 2010) dan di UBC dosen pianonya adalah pianis asal Australia, David Fung.

Tahun ini ia tampil di Music Fest Perugia (Italia) setelah lulus audisi di ajang festival bergengsi ini.

Bintang tamu terakhir adalah Michael Anthony Kwok yang memainkan karya Ananda berdasarkan lagu Natal, Variations on "God Rest Ye Merry Gentlemen".

Disabilitasnya tidak menghalangi, malah menunjang bakat musiknya yang luar biasa. Michael adalah murid piano dari Randy Ryan, salah seorang pianis terkemuka saat ini, pemenang Ananda Sukarlan Award 2012 dan lulusan Juilliard School of Music, New York serta Master of Music dari Peabody School of Music, Baltimore.

Ananda yang menggunakan busana Alleira Batik memainkan grand piano Yamaha menutup konser ini dengan satu lagi karya virtuosik, yaitu "O Holy Night, O Speedy Night" berdasarkan melodi lagu Natal karya komponis Perancis bernama Adolphe Adam yang terkenal, "O Holy Night".

Ditutupnya konser ini tidak menyisakan ruang kosong, tetapi ruang sunyi bagi gema yang merambat sampai ke makna.

Orang-orang pulang membawa ingatannya masing-masing. Saya pulang membawa bukan hanya bekas-bekas suara, tetapi kenangan yang terus memainkan lagu musik di kepala.

Dua "tuan rumah" acara tersebut turut memeriahkan. Wang Tjie Hoa dan Cecilia Sutisna kebetulan juga adalah dua wanita yang memiliki hobby main piano, dan mereka masihg-masing berduet empat tangan dengan Vivienne Thamrin memainkan dua lagu Natal pendek yang dikemas dengan sangat ringan dan indah oleh Ananda.  

Puri Hadiprana, pemilik galeri seni bersejarah pertama di Indonesia yang diresmikan oleh Presiden Soekarno tahun 1962 ini juga menutup dengan pidato pendek.

O ya, saya pulang membawa bukan hanya bekas-bekas suara, tetapi kenangan yang terus memainkan musik di kepala. Bunyi-bunyinya mengisi menjadi asupan nutrisi  jiwa. Tidak hanya teks atau puisinya atau musiknya saja tapi masing-masing memiliki ruang titik pertemuan antara musik dan puisi, antara musik dan latar belakang penciptaan atau hal / kejadian yang menginspirasinya. Menjadi pertalian yang menembus ruang batin kita.

Penyair Dedy Tri Riyadi yang sedianya hadir berhalangan karena harus pulang ke Tegal sebab Ibundanya sakit.

Sedangan Penyair Emi Suy turut hadir dalam konser yang diawali dengan "high tea" alias ngopi di sore yang disambut oleh gerimis ritmis.

Kebetulan dari 5 penyair yang dinyanyikan sore kemarin, sayangnya hanya saya, Emi Suy , yang bisa hadir, karena lainnya tinggal di luar kota.Sedangkan Sutikno WS sudah berpulang tahun 2014 lalu.

Demikian tulisan yang disampaikan oleh Penyair Perempuan Indonesia Emi Suy di Jakarta pada Senin siang, 16 Desember 2024. (*)



(Lasman Simanjuntak)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.