Catatan Perjalanan ke Afsel (5): Studi Ekstensif dan Konstruksi Pengetahuan Baru
Yanuardi Syukur (Ketua Tim Delegasi Negeri Rempah Foundation) di Cape Town, Afrika Selatan. (ISTIMEWA) |
Oleh: Yanuardi Syukur
(Ketua Tim Delegasi Negeri Rempah Foundation ke Afrika Selatan)
Studi-studi untuk menemukan ‘pengetahuan baru’ sangat dibutuhkan untuk membangun relasi yang semakin bermakna antara Indonesia dan Afsel. Telah banyak studi yang dibuat oleh intelektual, penulis, dan jurnalis dari Indonesia dan Afsel, namun dibutuhkan studi yang lebih ekstensif untuk itu. Pusat Studi Indonesia-Afsel penting untuk digagas, atau jika telah ada dapat dikembangkan dalam berbagai tema menarik yang berangkat dari sejarah tersebut.
Di sela-sela kunjungan ke beberapa makam tersebut, kami kita mampir ke IPSA untuk silaturahmi dan membicarakan rencana simposium. Diskusi dipandu oleh CEO IPSA Syekh Dawood dan Syekh Owaisi. Syekh Owaisi mengatakan bahwa informasi terkait kehidupan Tuan Guru di Cape Town cukup banyak ditulis, sedangkan informasi terkait kehidupan beliau selama di Indonesia jarang. Olehnya itu, ia berharap agar kami dari Indonesia dapat menulis itu. Artinya, perlu ada pelacakan historis terkait kehidupan keluarga Tuan Guru di Cirebon, tempat asal kakeknya, termasuk melacak silsilah keluarganya dengan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah (1448-1568), aktivitasnya selama di Tidore, dan Batavia (saat diasingkan).
Sunan Gunung Jati lebih dikenal sebagai Sayyid Kamil, anak dari Syarif Abdullah Umdatuddin dan Syarifah Mudaim (Nyai Rara Santang). Syarifah Mudaim adalah anak dari Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) dari Kerajaan Padjadjaran di Jawa Barat. Menurut riwayat, silsilah Sunan Gunung Jati tersambung hingga Rasulullah SAW. Ada dua pandangan terkait hal tersebut.
Pertama, silsilah yang berjalur muasal Uzbekistan Asia Tengah sesuai dengan data pihak Keprabon Cirebon bernasab via jalur Al-Musawi Al-Kadzimi Al-Husaini, diakui jalur ini dan di isbat oleh Naqib Internasional melalui Naqib Hasyimiyyun Turki. Jalur ini dimulai dari Syarif Hidayatullah, Abdullah Umdatuddin, Ali Nuruddin, Husein Jamaluddin Al-Akbar, Mahmud Nasiruddin, Makhdum Husein Jalaluddin An-Naqwi, Ahmad Al-Kabir, Sayyid Husain Jalaluddin Al-Bukhari, Ali Al-Mu'ayyid, Ja'far, Muhammad, Mahmud, Ahmad, Abdullah At-Taqi, Ali Al-Asykar, Ja'far Az-Zaki, Ali Al-Hadi, Muhammad Al-Jawad, Ali Ar-Ridha, Musa Al-Kadzim, Ja'far Ash-Shadiq, Muhammad Al-Baqir, Ali Zainal Abidin, Husein Asy-Syahid dan Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Pendapat ini disepakati dalam musyawarah tokoh lintas keturunan Walisongo dan keturunan langsung Sunan Gunung Jati di Garut, 30 Juli 2023.
Kedua, bersumber pada catatan Syajarotu al-Muluk dan sudah disesuaikan dengan berbagai catatan Kesultanan Kelantan, Kerajaan Palembang dan beberapa catatan yang lebih ma'ruf (diketahui) dan masyhur (lebih banyak dikenal). Pandangan ini berpandangan bahwa Syeikh Jumadil Kubro adalah anak dari Sayyid Ahmad Jalaluddin Ahsan (Azmat) Khan bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Malik bin ‘Alwi (‘Ammul Faqih) bin Muhammad (Shahib Mirbath) bin ‘Ali (Khola Qosam) bin ‘Alwi bin Muhammad bin ‘Alwi (‘Alawiyyin) bin ‘Ubaidullah bin Ahmad (al-Muhajir) bin ‘Isa (an-Naqib) bin ‘Ali (al-‘Uroidli) bin Ja’far (as-Shodiq) bin Muhammad (al-Baqir) bin ‘Ali (Zainul ‘Abidin) bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Tholib dan Fathimah (az-Zahro al-Batul) binti Muhammad Rasulullah SAW. Pendapat ini ditolak oleh musyawarah tokoh lintas keturunan Walisongo dan keturunan langsung Sunan Gunung Jati di Garut, 30 Juli 2023.
Menurut saya, butuh studi yang lebih dalam terkait silsilah tersebut, terutama garis keturunan kakeknya Tuan Guru yang pertama kali hijrah dari Cirebon ke Tidore.
Simposium internasional di IPSA dengan tema “Cape Town to Jakarta”. (ISTIMEWA) |
Pada Kamis (11/12/2024), kami menghadiri simposium internasional di IPSA dengan tema “Cape Town to Jakarta”. Acara dihadiri oleh para professor, dosen, peneliti, penulis, jurnalis, ulama, anggota parlemen, diaspora Indonesia, termasuk mahasiswa IPSA. Peserta hadir dengan antusias. Saya menjadi pembicara pertama setelah sambutan dari CEO IPSA dan Konjen RI. Materi singkat saya berjudul “faith, science, and civilization as the basis of cultural relations between Indonesian and South African society” yang membahas tiga faktor penting relasi RI-Afsel terkait penyebaran Islam, yakni relasi keimanan, relasi pengetahuan dan relasi peradaban. Saya menjabarkan ketiga relasi tersebut dengan mencontohkan pada kontribusi Syekh Yusuf dan Tuan Guru.
Setelah acara, Syekh Owaisi memperlihatkan Al-Qur’an yang ditulis tangan oleh asisten dan murid Tuan Guru bernama Encik Rajab van Bugis. Menurut catatan berbahasa Arab Jawi di mushaf tersebut, mushaf tersebut selesai ditulis di Kampung Jali-Jali pada Senin, 14 Jumadal Tsani pada waktu ashar. Namun tidak tertulis tahunnya. Mushaf ini perlu dibuat replikanya sebagai salah satu karya dari Indonesia, selain mushaf yang ditulis oleh Tuan Guru. Preservasi naskah Islam tersebut penting sebagai penanda kontribusi intelektual dari Muslim Indonesia.
Terkait penulisan mushaf Al-Qur’an dengan tulisan tangan, saya jadi mendapatkan ide seperti ini. Sepertinya bagus jika para santri di berbagai pesantren, misalnya dalam pelajaran khat (penulisan kaligrafi Islam), untuk mendapatkan tugas menulis Al-Qur’an dengan tulisan tangan mereka dan harus selesai sebelum menamatkan pendidikannya (Tsanawiyah bisa 15 juz, Aliyah bisa 30 juz). Dengan demikian, mereka secara tidak langsung memiliki pengalaman preservasi Al-Qur’an dengan tangan mereka sendiri. Hal ini lebih mudah, sebab saat ini kita bisa menulis Al-Qur’an dengan melihat mushaf yang telah ada, berbeda dengan masa Tuan Guru dan Encik Rajab yang menulis Al-Qur’an tanpa melihat Al-Qur’an, yakni hanya dengan mengandalkan hafalannya.
Selain beberapa ulama di atas, di Cape Town juga masih banyak sosok ulama dan tokoh lainnya yang penting diulas, seperti Tuan Dea Koasa (bangsawan Kesultanan Sumbawa, makamnya di Simons’town), Tuan Ismail Dea Malela (bangsawan Kesultanan Sumbawa, makamnya di Simon’stown), Syed Abdurahman Motura/Pangeran Cangraningrat (ulama dari Madura, makamnya di Robben Island), Syekh Abdurahman Matebe Shah (dari pantai Barat Sumatera, makamnya di Constantia), dan lainnya.
Kehadiran mereka di Cape Town menjadi ‘menghidupkan’ komunitas tersebut menjadi kota yang diberkahi oleh perjuangan dan makam para ulama dan wali yang berjuang dengan hati yang kuat. Mungkin tepat ungkapan yang mengatakan, “The heart belongs in Cape Town” karena semangat perjuangan tersebut. para ulama dan wali tersebut memang telah tiada, tapi masih ada. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap sesiapa yang gugur dalam perjuangan membela agama Allah itu orang mati, bahkan mereka itu hidup tetapi kamu tidak menyadarinya.” (Al-Baqarah: 154) *
Post a Comment