Catatan Perjalanan ke Afsel (3): Syekh Yusuf, Sosok Inspirator Agama dan Kemerdekaan Afsel
Yanuardi Syukur (Ketua Tim Delegasi Negeri Rempah Foundation ke Afrika Selatan) memberi taushiyah di Masjid Al-Awwal. (ISTIMEWA) |
Oleh: Yanuardi Syukur
(Ketua Tim Delegasi Negeri Rempah Foundation ke Afrika Selatan)
Kami juga sempat mampir ke desa Macasar, tempat dimana Syekh Yusuf dikebumikan. Makamnya berada di atas bukit. Di sebelah kanan pintu masuk makam ada rumah masyarakat, sedangkan sebelah kiri, depan dan belakang pintu masuk tidak ada rumah. Tak jauh dari lokasi tersebut adalah Teluk False (False Bay) yang terhubung langsung dengan Samudra Atlantik Selatan.
Di situ kami berdialog dengan seorang ibu penjaga makam. Beliau bercerita bahwa hal penting dari perjuangan Syekh Yusuf adalah pentingnya mengikuti Al-Qur’an. Artinya, mengikuti Al-Qur’an merupakan kunci untuk menjadi Muslim yang baik. Di sebuah tugu sebelah kanan pintu masuk kita juga dapat melihat gambar Al-Qur’an selain gambar kapal yang membawa Syekh Yusuf.
Pada dinding kanan makam ada prasasti terkait kunjungan Presiden Soeharto pada 21 November 1997 untuk memberikan penghormatan terhadap Syekh Yusuf yang telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 7 Agustus 1995 dan pada tahun 2005 Presiden Afrika Selatan Oliver Reginald Thambo menganugerahi beliau dengan the Order of the Companions of OR Tambo in Gold. Selain Pak Harto, Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah ke sini. Masjid yang ada di sekitar makam diresmikan oleh Wapres Jusuf Kalla yang merupakan keturunan dari Bugis.
Syekh Yusuf adalah sosok kharismatik. Ia tidak hanya dikenal sebagai ulama besar, tapi juga wali dan pejuang anti-kolonialisme. Gelar ‘syekh’ dan ‘tajul khalwati’ yang melekat padanya menunjukkan bahwa ia adalah seorang mursyid atau pemimpin tarekat Khalwatiyah yang mencapai derajat sufi atau wali. Bahkan, beliau juga disebut dalam bahasa Makassar sebagai ‘tuanta salamaka’ atau ‘pembawa berkah dari Gowa/guru kami yang agung dari Gowa.’ Syekh Yusuf diasingkan Belanda ke Ceylon (kini Sri Lanka) pada 1684 selama 10 tahun. Oleh karena ia memberikan pengaruh pada jama’ah haji Indonesia yang mampir ke Sri Lanka, maka ia kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih jauh, yaitu Cape Town pada 1694. Lima tahun di Cape Town, beliau kemudian wafat pada 23 Mei 1699 dengan meninggalkan pengaruh yang besar bagi umat Islam di kota tersebut.
Di antara hal penting yang perkataan Syekh Yusuf adalah dalam kitabnya Sirrul Asrar. Mengutip Nur Ahmad (alif.id, 21/5/2020), bahwa Syekh Yusuf berpesan bahwa lebih baik seorang yang merupakan pemula dalam perjalanan menempuh pembersihan diri untuk melakukan zikir laa ilaha illallah sebanyak-banyaknya. Syekh Yusuf menyebutkan sehari semalam sebanyak sepuluh ribu kali. “Tujuannya adalah agar anggota tubuh seseorang, termasuk tulang-tulang dan urat-urat yang ada di tubuhnya “tercampur” dengan zikir-zikir itu,” lanjut Nur Ahmad.
Menurut saya, kita patut belajar banyak perjuangan Syekh Yusuf. Pertama, semangat mencari ilmu. Syekh Yusuf pernah belajar Islam di Banten, Aceh, Gurajat (India), Yaman, Haramain (Mekkah dan Madinah), dan Damaskus dalam masa 20 tahun (1646-1667). Berbagai tarekat pernah ia pelajari dan mendapatkan ijazah seperti Qadiriyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah, Ba’alawiyah, dan Syattariyah, termasuk belajar tarekat tanpa mendapatkan ijazah pada tarekat Dasuqiyah, Syadziliyyah, dan Rifa’iyyah. Kedua, semangat mengajarkan ilmu. Sebelum kembali ke Indonesia, Syekh Yusuf pernah mengajar selama lima tahun di Masjidil Haram, Mekkah. Di Cape Town, pengamalan zikir Ratib Al-Haddad adalah ajaran dari Syekh Yusuf.
Yanuardi Syukur berada di area makam Syekh Yusuf di Afrika Selatan. (ISTIMEWA) |
Tuan Guru Abdullah: Pendiri Masjid dan Madrasah Pertama di Afsel
Ziarah makam tidak lengkap jika tidak ke makam Tuan Guru Abdullah (1712-1807) dari Tidore. Tuan Guru sangat spesial sebab berasal dari Tidore, sebuah pulau dimana Abdul Kadir Ali mengajar di Universitas Nuku yang juga berdekatan dengan tempat saya mengajar, yakni Universitas Khairun, Ternate. Nuku dan Khairun adalah nama sultan masyhur dari Tidore dan Ternate yang diabadikan jadi nama universitas. Di makam Tuan Guru, kami bercerita dengan penjaga makam, terutama hal-hal mistik yang ia ketahui atau bahkan alami sebagai penjaga makam.
Beliau bercerita misalnya, pernah ia masuk ke kuburan dengan mengucapkan salam ‘Assalamu ‘Alaikum’, kemudian terdengar dari dalam makam jawaban ‘Wa’alaikumsalam’. Dari atas kuburan tersebut juga pernah ada cahaya yang menjulang ke langit. Selain itu, pernah ada sekawanan burung yang mengitari kuburan tersebut—semacam bertasbih dan menghormati kuburan itu. “Waktu Nelson Mandela keluar dari penjara, tempat pertama yang ia datangi adalah di Tana Baru, yakni kuburan Tuan Guru,” kata beliau. Konon, kata beliau, saat di penjara, Mandela pernah bertemu dengan sosok Tuan Guru yang juga pernah dipenjara di lokasi penjara yang sama di Robben Island, tak jauh dari kota Cape Town.
Elaborasi sosok Tuan Guru termasuk hal menarik bagi kami. Menurut silsilah, beliau adalah keturunan Sunan Gunung Jati di Cirebon. Kakeknya berhijrah dari Cirebon ke Ternate dan berdakwah di Tidore; diangkat sebagai Qadhi, semacam ‘menteri agama’ atau otoritas agama, begitu juga ayahnya, Abdussalam yang juga menjadi Qadhi. Menurut Abdul Kadir Ali, berdasarkan diskusinya dengan pihak keturunan Tuan Guru di Tidore, didapatkan informasi bahwa Tuan Guru ditangkap di Pulau Halmahera saat melakukan perlawanan terhadap Belanda. Kemudian dia diasingkan ke Batavia (sekarang Jakarta) dan kemudian ke Cape Town. Menggunakan kapal Zeepard milik kuasa dagang Belanda pada 1780. Saat diasingkan, usia Tuan Guru adalah 68 tahun. Pengasingan Tuan Guru salah satunya untuk menghalangi interaksinya dengan Inggris yang merupakan musuh Belanda di masa itu.
Di Cape Town, Tuan Guru sempat dua kali mendekam di penjara Robben Island. Di penjara itulah dia menulis kitab suci Al-Qur’an sebanyak 6 copy untuk menjawab kebutuhan umat Islam saat itu yang tidak memiliki kitab suci. Selain itu, beliau juga menulis compendium, semacam kumpulan karangan terkait Islam, yang oleh beberapa penulis disebut berjudul Ma’rifatul Iman wal Islam setebal 613 halaman. Kitab tersebut adalah referensi pembelajaran Islam pada masanya. Setelah keluar penjara, ia tidak kembali ke Tidore.
Sebaliknya, ia mendirikan masjid pertama, bernama Masjid Al-Awwal dan madrasah pertama di masjid tersebut. Dari cerita itu, saya berpandangan bahwa Tuan Guru telah menjawab problematika zamannya, sebuah kontribusi penting bagi masyarakat tempatan. Mandela termasuk orang yang terinspirasi dari Tuan Guru. Dalam konteks outstanding universal value, Tuan Guru telah menunjukkan masterpiece jenis kreatif manusia yang berdampak bagi Afsel dan Indonesia hingga akhir hayatnya di usia 95 tahun. Sebagai tambahan, sekolah tersebut sangat terkenal di masanya di kalangan budak dan non-budak, bahkan sekolah tersebut telah melahirkan ulama Afsel seperti Abdul Bazier, Abdul Barrie, Achmad van Bengalen, dan Imam Hadjie. Muridnya saat itu mencapai 375 orang.
Yanuardi Syukur di makam Tuan Guru dari Tidore, Afrika Selatan. (ISTIMEWA) |
Di Masjid Al-Awwal, kami menunaikan shalat ashar berjamaah, dan mengikuti wirid bakda shalat. Setelah itu, saya menyampaikan taushiyah singkat kepada santri-santri ‘sekolah sore’ di masjid tersebut. Diantara yang saya sampaikan adalah pentingnya mereka belajar yang rajin dan kelak menjadi ulama dan tokoh bangsa, kemudian menjalin kerja sama dengan berbagai tokoh di Indonesia. Mereka harus mengikuti jejak Tuan Guru, sang pendiri masjid yang tidak hanya menjadi ulama tapi juga menjadi pejuang.
Saya juga berpesan kepada anak-anak untuk mengamalkan hadis Nabi Muhammad SAW: Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila anak cucu Adam wafat maka terputuslah amalnya, kecuali (amal) dari tiga ini: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HR Muslim). Secara pribadi saya berharap semoga kelak mereka dapat menjadi ulama dan tokoh bangsa yang membawa Cape Town dan Afsel menjadi negara yang makin maju dan sejahtera, serta dapat menjalin kemitraan internasional yang ekstensif dengan berbagai negara.
Waktu berkunjung ke markas besar PBB di New York tahun 2019, setelah menghadiri kegiatan U.S. Professional Fellow di Washington, D.C. dan Pittsburgh, saya bertemu dengan beberapa pejabat dari benua Afrika. Setelah bertemu anak-anak di Masjid Al-Awwal tersebut, saya membayangkan sekaligus mendoakan semoga kelak mereka menjadi ulama atau pejabat negara yang dapat membangun bangsanya sekaligus menjadi pemimpin dunia dengan sinergi dan kolaborasi dengan bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. *
Post a Comment