Catatan Perjalanan ke Afsel (2): Misi ke Cape Town, ‘Tanah Para Wali’
Yanuardi Syukur (Ketua Tim Delegasi Negeri Rempah Foundation ke Afrika Selatan) jadi pembicara di Simposium Internasional IPSA (International Peace College South Africa). (ISTIMEWA) |
Oleh: Yanuardi Syukur
(Ketua Tim Delegasi Negeri Rempah Foundation ke Afrika Selatan)
Misi kami ke Cape Town adalah berdasarkan tugas dari Negeri Rempah Foundation yang bermitra dengan Kementerian Kebudayaan (sebelumnya Kemendikbud Ristekdikti) untuk ke Afsel dalam rangka misi diplomasi budaya jalur rempah. Selain Afsel, tim NRF juga telah berkunjung ke beberapa negara seperti Madagaskar, China, UK, dan lainnya. Tugas tersebut tidak hanya terkait kunjungan, akan tetapi melihat lebih dekat negara yang kita kunjungi, menemukan ‘outstanding universal value’, yakni nilai-nilai universal yang menjadi milik bersama baik berbentuk nilai atau artefak dalam sepanjang jalur rempah, yakni jalur perdagangan rempah-rempah dunia.
Menurut Ketua Dewan Pembina Negeri Rempah Foundation, Dr. Hassan Wirajuda, “Mengangkat kembali jalur rempah bukanlah bernostalgia pada kejayaan nusantara pada masa lalu.Tetapi tujuannya juga untuk mengenali kebesaran masa lalu Indonesia dan kekurangannya, serta merefleksikan sejarah masa lalu untuk masa kini dan masa depan.” Lebih lanjut, menurut beliau, jalur rempah sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa merupakan jalur yang damai.
Bangsa-bangsa Eropa datang tidak sekadar berdagang, tetapi memonopoli perdagangan. Dari monopoli melalui penaklukan, berujung pada kolonisasi yang menjadi tujuan mereka berdasarkan pada Perjanjian Tordesillas tahun 1494. Berdasarkan perjanjian ini, Spanyol dan Portugal membagi dunia menjadi dua wilayah yang berpengaruh, masing-masing ke arah barat dan timur. “Dengan mandat untuk menduduki semua wilayah yang ditemukan menjadi milik mereka,” ungkap beliau.
Selanjutnya, terkait jalur rempah yang membentang dari Asia Timur, Indonesia dan Asia Tenggara, Timur Tengah dan Afrika, serta Eropa, Hassan menyampaikan pesan agar kita jangan hanya bernostalgia kepada kejayaan di masa lalu. Dalam menjawab tantangan globalisasi dewasa ini, rempah pada perdagangan masa kini tidak lagi menjadi komoditas yang paling dicari. Tetapi hal itu harus dikembangkan melalui kerja sama perdagangan, kebudayaan, peradaban, serta teknologi. “Tantangan kita adalah bagaimana mengisi warisan sejarah itu dengan inovasi-inovasi teknologi,” pesan beliau.
Dari bandara udara internasional Soekarno-Hatta kami terbang menggunakan Ethiopian Airlines flight ET629 dengan rute transit di Bangkok. Boarding di 20.05 WIB, dan tidak turun; hanya menunggu naiknya penumpang menuju Addis Ababa, kota terbesar di Ethiopia dengan populasi lebih dari 4 juta jiwa.
Kami tiba di di bandara internasional Bole di Addis pagi hari, dan langsung bersegera ke ruang tunggu menuju penerbangan ke Cape Town. Bandara Bole berjarak 6 km dari pusat kota Addis Ababa. Di kota yang menjadi pusat dari Uni Afrika ini dan tempat penyimpanan fosil kerangka manusia purba “Lucy” (di Ethiopia disebut ‘Dinkinesh’) ini, saya lihat sebuah tulisan promosi ke Afsel yang berbunyi, “Visit South Africa, There’s so much more to see” yang berarti bahwa ‘ada banyak sekali yang dapat dilihat, bahkan dinikmati dari Afsel.’
Dari Addis, kami masih dengan Ethiopian, flight-nya ET845. Kami boarding pada 06.45 local time, dan tiba di Cape Town tanggal 8 Oktober 11.20 CPT. Sebuah kebahagiaan, kini kami telah tiba di sebuah kota bersejarah dimana para ulama, tokoh, pejuang, dan warga di kepulauan Nusantara diasingkan oleh Belanda. Bukan hanya diasingkan, tapi juga diperbudak! Sebuah tindakan yang tidak manusiawi tentu saja, sebab manusia sejak azali tercipta sebagai makhluk yang bebas, dan tidak dibenarkan untuk dijadikan sebagai budak.
Suasana Simposium Internasional IPSA (International Peace College South Africa). (ISTIMEWA) |
Cape Town siang itu begitu cerah. Sebuah peta besar kota tersebut menyambut kami menjelang keluar dari bandara. Kami disambut oleh dua orang, yakni Mas Rio, seorang lokal staff Konsulat Jenderal RI di Cape Town dan Syekh Imron, dosen di International Peace College South Africa (IPSA) yang mengatur jadwal kunjungan dan destinasi kami serta tuan rumah simposium internasional terkait ‘Cape Town to Jakarta’, melacak akar-akar sejarah relasi antara Afrika Selatan dengan Indonesia. Bersama Syekh Imron juga adalah anaknya bernama Khadijah.
Sebelum menuju ke guest house —tempat menginap Irma— dan rumah salah seorang diplomat KJRI—tempat menginap saya dan Abdul Kadir Ali— kami mencoba menikmati kuliner kota ini. Hari cukup panas, tapi berangin. Kami memilih mencari makanan cepat saji, yakni kentang dan ikan, sebab di outlet kecil tersebut tidak tersedia nasi.
Walaupun di pesawat kami juga menikmati berbagai sajian makanan, tapi makanan pertama di selatan Afrika ini mengandung kesan tersendiri, apalagi angin siang itu menyapu-nyapu pori-pori dengan lembutnya. Rasanya ingin segera tidur setiba di rumah nanti. Di rumah kepala kanselarai KJRI Cape Town, Shinta Hapsari, kami disambut dengan sangat ramah dengan pelayanan yang menyenangkan, termasuk berbagi cerita dengan suaminya, KH. Aas Subarkah, seorang tokoh Muslim Indonesia lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir. *
Post a Comment