Catatan Perjalanan ke Afsel (1): Pengaruh Ulama Indonesia dalam Penyebaran Islam di Cape Town

Yanuardi Syukur (Ketua Tim Delegasi Negeri Rempah Foundation ke Afrika Selatan)
saat di Kantor Konjen RI Cape Town, Afrika Selatan. (ISTIMEWA)

Oleh: Yanuardi Syukur

(Ketua Tim Delegasi Negeri Rempah Foundation ke Afrika Selatan)

Tulisan ini merupakan catatan 'Pengaruh Ulama Indonesia dalam Penyebaran Islam di Cape Town, Afrika Selatan', yakni perjalanan saya dan dua rekan dari Indonesia (Abdul Kadir Ali dan Irma Zahrotunnisa Wijaya) pada tanggal 7-12 Desember 2024 di Afrika Selatan. Tulisan diulas dalam 6 seri. Silakan menikmati ulasannya.

Pada abad ke-16, seorang jenderal Portugis Afonso de Albuquerque (1453-1515) mendapat tugas dari Raja Portugis untuk memperluas pengaruh mereka di Samudra Hindia dan mendirikan kekaisaran Asia Portugis, termasuk hingga menaklukkan Malaka dan Maluku. Afonso berkata kepada pasukannya bahwa Raja Portugal sering memerintahkannya untuk pergi ke Selat Malaka, karena...ini adalah tempat terbaik untuk menghentikan perdagangan yang dilakukan kaum Muslim...di wilayah ini.”

“Jadi, untuk melakukan pelayanan kepada Tuhan, kami dibawa ke sini; dengan merebut Malaka, kami akan menutup Selat sehingga kaum Muslim tidak akan pernah lagi dapat membawa rempah-rempah mereka melalui rute ini,” kata dia. “Saya sangat yakin bahwa, jika perdagangan Malaka ini diambil dari tangan mereka, Kairo dan Mekkah akan sepenuhnya hilang,” lanjut Albuquerque. 

Paulo Jorge de Sousa Pinto dari Universidade NOVA de Lisboa, Portugal, dalam dalam Ler História (2024) menulis bahwa pada tahun 1508, Raja Portugis mengirim armada untuk “menemukan” Malaka langsung dari Lisbon, dan Gubernur Afonso de Albuquerque menuntaskan perebutan kota itu dengan kekuatan pada tahun 1511. Selanjutnya, Portugis mencapai Maluku dan memperoleh otorisasi dari Sultan Ternate untuk membangun benteng Sao Paolo (‘Benteng Gamalama’). 

Portugis tiba di Ternate pada 1512—setahun setelah menaklukkan Malaka—dan disambut oleh Sultan Bayanullah (1500-1521) dalam konteks perdagangan rempah-rempah. Adapun pembangunan benteng tersebut adalah untuk membendung serangan Spanyol dan Tidore, selain untuk mengendalikan perdagangan rempah-rempah di Maluku.

Kolonialisme dan shifting jalur perdagangan dari ‘jalur damai’ ke ‘jalur konflik’

Penaklukan bangsa Eropa ke timur tersebut menjadikan ‘jalur perdagangan rempah’ yang sebelumnya aman menjadi tidak aman dan sarat dengan konflik, bahkan perang yang kemudian dilanjutkan oleh VOC, Pemerintah Hindia Belanda, dan Inggris. Keserakahan dan penaklukan menjadi motif utama pada masa itu. Salah satu tokoh yang mendukung misi Afonso de Albuquerque adalah kapten Kastilia-Portugis Antonio de Saldanha. 

Walaupun minim pengalaman bahari, Saldanha ditunjuk untuk memimpin satu regu yang merupakan bagian dari armada Afonso de Albuquerque menuju India untuk memperkuat pemukiman Portugis di Cochin, kota Pelabuhan besar di India di sepanjang Pantai Malabar yang berbatasan dengan Laut Laccdive (saat ini di negara bagian Kerala, India). Tujuan Albuquerque yang utama adalah mengamankan perdagangan rempah-rempah dengan mencapai ke the spices Island, yakni Ternate dan Tidore.

Saldanha adalah pendaki pertama yang mendaki Table Mountain di Cape Town pada 1503. Menurut Ensiklopedia Britannica, “The first European to anchor at Table Bay and climb Table Mountain was the Portuguese navigator Antonio de Saldanha.” Ia bertemu dengan beberapa ratus penduduk asli, suku Khoe yang perekonomiannya bergantung pada penggembalaan, perburuan, dan pengumpulan. Setelah kunjungan Saldanha, kapal-kapal Eropa terus berlabuh di Teluk Table untuk mengambil air tawar, daging, dan perbekalan lainnya. 

Para penyintas kapal Belanda Haerlem, yang karam di Teluk Table pada tahun 1647, membawa pulang laporan yang sangat menggembirakan tentang wilayah tersebut sehingga para direktur Perusahaan Hindia Timur Belanda memerintahkan agar sebuah stasiun untuk memasok kapal-kapal yang akan ke timur. Dari situ, Cape Town kemudian bertahap menjadi komunitas dan kota, termasuk sebagai tempat pembuangan politik ulama yang melawan Belanda dari Indonesia. 

Pada Sabtu, 7 Desember 2024, kami bertiga dari Indonesia, yakni Yanuardi Syukur, Abdul Kadir Ali dan Irma Zahrotunnisa Wijaya ‘disambut’ oleh Table Mountain tersebut. Gunung dengan puncak datar yang menghadap ke kota Cape Town, tempat dimana 8.200 spesies, terutama fynbos atau semak halus menikmati hidup tersebut setia membersamai dan menjaga tanah Cape Town tetap stabil. Menurut info, tiap tahun tidak kurang dari 4,2 juta orang beraktivitas di gunung tersebut yang telah menjadi taman nasional juga. 

Negeri kami, Indonesia yang dulu dikenal sebagai Nusantara dengan berbagai kerajaan/kesultanan, pernah menjadi perebutan bangsa-bangsa di Eropa secara bergantian. Mereka datang dengan berbagai aktivitas seperti berdagang, menaklukkan, konversi keyakinan, bahkan tak jarang memecah belah masyarakat demi tujuan temporal. Para pemimpin kami yang menyuarakan kebenaran pun ditangkap, bahkan diasingkan jauh dari rumahnya; diantara mereka ada yang dari Tidore, Makassar, Sumbawa, Madura, Batavia, dan Sumatera untuk diasingkan apakah ke Sri Lanka atau lebih jauh lagi ke Cape Town. Namun, kekuatan hati mereka tetaplah teguh; di Cape Town misalnya, mereka justru membebaskan budak dengan memeluk agama Islam, bahkan mendirikan masjid dan madrasah yang syiar keislaman tersebut masih terus bergema di Afrika Selatan. *


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.