YLKI Tolak Rencana Kenaikan Iuran BPJS, Anggap Bebani Rakyat

Plt. Ketua Pengurus Harian YLKI, Indah Sukmaningsih. (Foto: Istimewa)

JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) secara tegas menolak rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang diwacanakan berlaku pada awal tahun 2025. YLKI menilai rencana tersebut justru semakin membebani masyarakat, karena saat ini daya beli masyarakat sedang menurun. 

Plt. Ketua Pengurus Harian YLKI, Indah Sukmaningsih, menilai rencana kenaikan iuran ini sebagai tindakan semena-mena yang membebani masyarakat, khususnya di tengah kondisi ekonomi yang masih belum pulih pasca pandemi COVID-19. "Kami menolak keras rencana kenaikan iuran BPJS. Bila kebijakan ini diterapkan, maka akan menjadi kado pahit di awal pemerintahan Prabowo-Gibran yang pro ke rakyat kebanyakan," tegas Indah, dalam rilis kepada Gebrak.id, Sabtu (16/11/2024). 

Menurut Indah, masih banyak upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi defisit BPJS tanpa harus menaikkan iuran. Ia menyarankan pemangkasan gaji dan tunjangan jajaran direksi dan komisaris, pengalihan subsidi energi yang mubazir, serta peningkatan alokasi anggaran kesehatan dalam APBN/APBD. "Konsumen sebagai pembayar pajak janganlah dianggap sebagai sapi perahan yang dapat dengan semena-mena dijadikan tumbal logika sesat pikir," tambah Indah. 

YLKI mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang rencana kenaikan iuran BPJS dan mencari solusi alternatif yang tidak memberatkan masyarakat. Menurut Indah, alasan manajemen BPJS yang menyatakan kenaikan iuran diperlukan untuk mengatasi defisit adalah sebuah kesesatan pikir. Ia menilai masih banyak upaya lain yang dapat dilakukan tanpa harus membebani masyarakat. "Pengalihan subsidi energi yang mubazir, pemangkasan gaji dan tunjangan jajaran direksi dan komisaris, serta peningkatan alokasi anggaran kesehatan dalam APBN/APBD adalah solusi yang lebih tepat," ujar Indah.

Indah juga menyoroti besarnya anggaran yang dialokasikan untuk sektor kesehatan, yang menurutnya belum menjadi prioritas pemerintah. Alokasi sekitar 6% dari APBN untuk sektor kesehatan secara menyeluruh menunjukkan bahwa pemerintah belum menganggap kesehatan warga negaranya sebagai hal yang utama. "Kasus-kasus penyalahgunaan tagihan RS, keterlambatan pembayaran dari BPJS ke rumah sakit, dan keterlambatan kewajiban pemerintah daerah juga harus diselesaikan segera. Jika perlu, berikan sanksi hukum kepada pihak yang sengaja merugikan konsumen," tambah Indah.

Menurut YLKI, prinsip gotong royong dalam layanan publik BPJS tidak hanya berlaku antar konsumen mampu dan tidak mampu, tetapi juga termasuk peran pemerintah dalam pengalokasian anggaran dan keteladanan dari jajaran manajemen BPJS itu sendiri. "Jika semua upaya tersebut sudah dilakukan, maka kenaikan tarif iuran tidak perlu terjadi atau sekurang-kurangnya menjadi pilihan terakhir," tegas Indah.

Indah mengingatkan bahwa konsumen adalah pembayar pajak yang seharusnya mendapatkan perlindungan, bukan dijadikan sapi perahan yang dibebani dengan kenaikan tarif secara sepihak. Ia mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang rencana kenaikan iuran BPJS dan mencari solusi alternatif yang tidak memberatkan masyarakat. "Perlombaan menaikkan berbagai macam tarif yang marak belakangan ini, termasuk rencana kenaikan iuran BPJS, jelas-jelas mencederai hati nurani masyarakat konsumen. Mereka akan menangis tanpa suara," pungkas Indah. 

Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin buka suara soal rencana iuran BPJS Kesehatan bakal naik mulai Juli 2025. Budi menjelaskan, proyeksi kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada 2025 menurutnya sudah disimulasikan sejak 2022. "Sebenarnya kita sudah melakukan simulasi (kenaikan iuran BPJS Kesehatan) itu sejak 2022 pada saat kita naikkan tarif ke rumah sakit. Angka itu udah ada, dan angka itu setiap tahun kita review perkembangannya. Jadi kita tahu kondisinya sampai di mana kira-kira BPJS akan tahan" kata dia, dikutip dari Antara. 

Menkes, ujar Budi, sudah melakukan berbagai intervensi untuk memastikan kondisi BPJS Kesehatan baik-baik saja, salah satunya dengan memperhatikan apakah pembayaran yang dilakukan sudah sesuai. Sebab menurutnya ada banyak rumah sakit yang melakukan klaim berlebihan atau memalsukan biayanya. "Sekarang tinggal kita lihat apakah angka perencanaan kita dan realisasinya itu dekat atau enggak. Dan kalau ternyata ada selisih jauh itu seperti apa," ujar Budi. 

(zaky)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.