Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Pengkondisian Capim KPK yang Bisa Kompromi Korupsi

Suasana pemungutan suara di Komisi III DPR RI untuk menentukan Pimpinan dan Dewas KPK 2024-2029 di Ruang Rapat Komisi III. (Foto: Parlementaria/dpr.go.id)

JAKARTA -- Di tengah krisis integritas, sudah seharusnya Komisi III DPR RI memilih 'manusia setengah dewa' dalam wujud Calon Pimpinan (Capim) dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK 2024-2029 dengan rekam jejak nyaris sempurna, berpihak pada agenda pembenahan kelembagaan KPK dan pemberantasan korupsi. Namun faktanya, Komisi III DPR memilih calon dengan latar belakang bermasalah yang dekat dengan kepentingan politik.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa proses seleksi ini sudah cacat sejak awal. Pertama, Panitia Seleksi (Pansel) diduga kuat memilih calon yang memiliki kedekatan personal dengan Jokowi.

"Hal itu dapat dibuktikan dari banyaknya nama yang secara rekam jejak dinilai cukup baik dan berkomitmen dalam pemberantasan korupsi justru dipenggal dalam proses seleksi awal. Pansel justru meloloskan nama-nama yang jelas-jelas memiliki rekam jejak buruk," demikian pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil yang diwakili oleh Julius Ibrani dari PBHI dan Alvin Nicola dari TI Indonesia, Jumat (22/11/2024).

Kedua, proses seleksi yang terkesan sekadar formalitas. Koalisi Masyarakat Sipil menganggap seleksi wawancara yang dilakukan oleh Pansel maupun Fit and Proper Test di Komisi III DPR tidak menggali lebih dalam kepada calon terkait mulai dari tidak patuh dalam melaporkan harta kekayaan, harta kekayaan yang mengalami fluktuasi tidak wajar, nir integritas dan potensi benturan konflik kepentingan, hingga langkah konkrit dalam upaya membenahi kelembagaan KPK pasca-Revisi UU KPK 2019. "Padahal tanpa adanya perbaikan internal, KPK hanya jadi harimau yang kehilangan taringnya."

Ketiga, Fit and Proper test yang justru menetapkan 5 (liima) calon sebagai Komisioner KPK 2024-2029 dengan rekam jejak buruk tanpa komitmen dalam memberantas korupsi. Salah satunya Johanis Tanak yang diduga melanggar kode etik karena pertemuan dengan tersangka kasus suap penangkapan perkara di Mahkamah Agung yakni mantan Komisaris PT Wika Beton, Tbk., pada 28 Juli 2023. Selain itu, dalam paparannya saat Fit and Proper Test, Johanis Tanak menegaskan akan menghapus OTT KPK karena dianggap tidak sesuai dengan aturan KUHP yang berlaku.

Koalisi menilai bahwa Johanis Tanak tidak mampu mengukur efektivitas dan persentase keberhasilan pemberantasan korupsi melalui OTT, atau niat menghapus OTT karena adanya transaksi politik dengan seseorang dan/atau kelompok tertentu sehingga menjadikan KPK sebagai lembaga yang mati suri dalam menjalankan mandatnya sebagai pemberantas korupsi. "Lebih parahnya, Komisi III DPR RI bahkan memberikan apresiasi dan tepuk tangan meriah saat Johanis Tanah menjelaskan bahwa akan menghapuskan OTT KPK," tegas Koalisi.

Komposisi Komisioner KPK 2024-2029 pilihan Komisi III DPR yang didominasi oleh aparat penegak hukum (APH) ini menjadi tantangan untuk mengaktifkan kembali fungsi trigger mechanism KPK. Semangat ini muncul ketika kejaksaan dan kepolisian dianggap belum cukup efektif dalam pemberantasan korupsi. "Faktanya, calon yang dipilih oleh DPR adalah mereka dengan rekam jejak kejaksaan dan kepolisian yang juga tidak efektif dalam melakukan pemberantasan korupsi di lembaga sebelumnya. Bahkan, Kejaksaan Agung dan Polri menjadi lembaga yang paling banyak melakukan korupsi."

Meskipun Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) dan Transparency International (TI) Indonesia telah mengirimkan rekam jejak seluruh nama Capim dan Dewas yang sedang menjalankan Fit and Proper Test, sayangnya Komisi III DPR RI tidak mengindahkan rekam jejak tersebut. Padahal rekam jejak tersebut dapat menjadi indikator nilai apakah calon yang ada memiliki niat baik dalam pemberantasan korupsi atau tidak.

Dalam prosesi akhir yang sangat politis ini, lanjut Koalisi, Komisi III DPR awalnya menjadikan rapat pemilihan/voting  calon pimpinan KPK mendatang tertutup bagi publik, namun akhirnya rapat dilakukan secara terbuka terbatas dan hanya memperbolehkan jurnalis yang masuk ke dalam ruang sidang untuk meliput. "Namun, elemen masyarakat sipil tidak diperbolehkan untuk melihat proses akhir seleksi ini," tegas dia.


(eye)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.