Pemikiran dan Daya Juang Seorang Benny
Ismail Hasani. (Foto: net/istimewa)
Oleh Ismail Hasani *)
Pada 14 Oktober 2005, tepatnya di Hotel Cemara, Jakarta, Antonius Benny Susetyo, sebagai agamawan Katolik menyampaikan pikirannya tentang pluralisme dan kondisi kebangsaan yang saat itu tampak rapuh, karena reformasi 1998 baru bisa mencetak perubahan sebagian struktur formal kenegaraan dan belum menyentuh segi-segi fundamental bernegara. Pandangan kritis tokoh dan aktivis yang biasa dipanggil Romo Benny ini, melampaui para tokoh agama pada umumnya.
Sekalipun tergolong junior di forum kecil tidak lebih 22 orang, yang dihadiri Abdurrahman Wahid, Azyumardi Azra, Hendardi, Rocky Gerung, dan pendiri Setara Institute lainnya termasuk saya, pandangan Benny menjadi salah satu peneguh pilihan Setara Institute menjadikan agenda penguatan pluralisme dan pemajuan HAM sebagai pilar gerakan dan pemikiran organisasi yang kami dirikan di 19 tahun silam.
Kini Benny Susetyo telah mangkat dan dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa. Duka mendalam kami rasakan.
Selama 15 tahun Benny Susetyo terus menjadi Sekretaris Dewan Nasional organisasi yang didirikannya, dengan menemani para peneliti dan aktivis di Setara Institute dan mewarnai berbagai gerakan sosial yang dinamis, baik dalam soal ancaman nyata atas ideologi Pancasila, ancaman pluralisme dan HAM, pelemahan KPK hingga demokrasi yang dirusak oleh rezim yang justru lahir dari berkah demokrasi.
Pergaulan yang luas dan luwes, menjadikan Romo Benny bisa diterima di banyak kalangan dan terus mengobarkan aneka gerakan sosial, meski lebih dari delapan tahun terakhir dirinya dipercaya menjadi Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
BPIP sebelumnya UKP PIP dibentuk salah satunya merupakan hasil pergulatan Romo Benny, Setara Institute, dan Ketua MPR almarhum Taufik Kiemas, yang mengomunikasi ke berbagai pihak memastikan rekomendasi riset Setara Institute-MPR RI di 2011 untuk melakukan rejuvenasi Pancasila melalui gerakan kebudayaan dan dialektika yang terus hidup, bisa diwujudkan saat PDIP dan Jokowi memenangi kontestasi di 2014. Makanya kami sering bercanda dengan menyebut Romo Benny sebagai duta Setara di BPIP.
Kami bersaksi Benny Susetyo adalah orang baik. Soal kegigihan dan dedikasinya yang tanpa batas diakui banyak pihak. Benny sering berganti baju saat ingin menyampaikan pikiran dan kegelisahan.
Kadang menyebut diri sebagai wakil BPIP, kadang pendiri Setara Institute, rohaniawan dan budayawan. Predikat-predikat itu menandakan bahwa Benny bisa berganti peran, tetapi idealismenya untuk kemanusian, pluralisme, dan HAM serta demokrasi tidak berubah. Makanya Hendardi, Coki Naipospos, Rocky Gerung, dan kolega di Setara Institute, sering menyebutnya sebagai Romo Forkot. Forkot merujuk pada Forum Kota, gerakan mahasiswa 98 yang salah satu tokohnya Adian Napitupulu dan terdepan dalam menyampaikan kritik jelang dan sesudah reformasi.
Pertemuan 27 Agustus 2024 lalu ternyata pertemuan terakhir saya dan Benny Susetyo. Dan saat itu, dalam forum diskusi pakar, Benny mengingatkan soal kemerosotan etika bernegara, korupsi, dan vetokrasi republik. Pembudayaan ideologi Pancasila dan disiplin dengan prinsip negara hukum demokratis atau demokrasi konstitusional harus tetap menjadi pemandu untuk mewujudkan Indonesia emas 2045.
Selamat jalan Pak Benny Susetyo, istirahat dalam tenang dan damai. Setara Institute dan banyak kawan tokoh dan aktivis serta komunitas korban dan marjinal yang dibela, berduka mendalam dan merasa kehilangan.
Jakarta, 6 Oktober 2024
*) Ketua Badan Pengurus Setara Institute
Post a Comment