Menyoal Daulat Pangan Presiden Prabowo Subianto
Oleh Tulus Abadi *)
Heroik dan penuh semangat, bahkan berapi-api. Itulah pidato Presiden Prabowo Subianto, pasca pelantikan oleh MPR RI, Minggu, 20 Oktober 2024. Spirit yang heroik itu, sejatinya bukan hanya soal gaya, tetapi juga dalam menyitir isu atau poin substansi yang disampaikan, salah satunya adalah soal kedaulatan pangan.
Bahkan, mantan Danjen Kopassus ini seperti memberikan garansi, bahwa dalam waktu 4-5 tahun ke depan Indonesia akan swasembada pangan. Artinya, selama masa pemerintahannya, Indonesia akan mencapai kedaulatan pangan. Mirip dengan janji Presiden Joko Widodo pada saat awal kepemimpinannya.
Target daulat pangan tentu layak kita apresiasi. Pangan adalah essensial commodity untuk hidup matinya rakyat Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana strategi yang akan digunakan untuk mencapai kedaulatan pangan tersebut?Jika ditelisik saat beliau menjabat sebagai Menteri Pertahanan, atau saat kampanye capres kemarin, sepertinya jurus food estate akan menjadi andalan untuk mencapai kedaulatan pangan, seperti yang dilakukan di Provinsi Kalimantan Timur.
Tetapi, ironisnya lahan hutan tropis telah digunduli untuk food estate itu, tetapi bahan pangan yang dihasilkan belum memadai. Hal serupa juga akan dilakukan wilayah Merauke-Papua, lahan hutan tropis seluas 1,2 hektare dibabat habis untuk dijadikan food estate jilid kedua. Seorang crazy rich ternama dari Kalimantan Selatan diberikan mandat untuk membuka lahan hutan, dengan 2.000 ekskavator yang diborongnya dari China.
Pembukaan lahan (mencetak sawah baru) memang diperlukan, mengingat lahan yang ada, seperti sawah dan ladang tidak mencukupi, malah makin menyusut, termakan proyek infrastruktur, pemukiman dan bahkan untuk lahan pertanian tembakau. Bahkan, penyusutan lahan produktif secara total dalam satu dekade terakhir mencapai lebih dari 600 ribu hektar.
Lebih tragis lagi jika aksi deforestrasi itu digunakan untuk pertanian tembakau (produk adiktif). Pembukaan lahan, dengan menggerus lahan hutan, adalah kontra produktif, karena akan menghasilkan emisi karbon yang dahsyat. Dan hal ini tidak sejalan dengan komitmen global pemerintah Indonesia, untuk mewujudkan NZE, Nett Zero Emission.
Semakin luas lahan hutan yang digunduli, semakin besar produksi emisi karbon. Selain itu penggundulan lahan hutan berpotensi menangguk bencana alam, seperti banjir bandang dan tanah longsor. Lagi pula belum ada jaminan terkait keberhasilannya.
Daripada menggunduli lahan hutan tropis, ada beberapa jurus ampuh yang bisa dilakukan Prabowo untuk mewujudkan janjinya itu, antara lain: pemberdayaan petani, pemberdayaan tanaman pangan lokal, dan atau konversi lahan pertanian.
Saat ini eksistensi petani makin terancam, dan derajad menjadi menjadi terdegradasi. Sungguh tidak menguntungkan dan prospektif menjadi petani, untuk petani apapun. Problematik yang secara klasikal diderita petani adalah sulit mendapatkan bibit unggul, kalau pun ada harganya selangit.
Berikutnya, sulit mendapatkan pupuk subsidi, dan lagi lagi, kalau pun ada pupuk, harganya tak terjangkau. Plus yang makin membuat petani nangis darah adalah saat memasuki panen raya, harga produk di pasaran malah anjlok. Banyak petani yang membuang produknya saat panen, karena harganya jatuh ke titik nadir. Apalagi saat panen raya justru di pasaran digrojok produk impor.
Pemberdayaan petani juga sangat penting untuk meningkatkan gengsi sebagai petani. Saat ini mayoritas generasi milenial apalagi generasi Z, malas jadi petani. Profesi petani selain tak punya masa depan yang jelas, dianggap profesi yang tidak berkelas. Oleh karena itu, harus ada upaya, antara lain pemberian insentif, kemudahan mendapatkan pupuk, bibit, dan harga pasar yang kompetitif. Bandingkan dengan petani di negara negara maju, yang amat sejahtera, dan menjadi profesi bergengsi.
Kalau generasi milenial dan generasi Z ogah jadi petani, lalu siapa yang akan memasok bahan pangan bagi rakyat? Mau melanggengkan kebijakan instan: impor bahan pangan? Dengan memberdayakan petani, maka akan menungkatkan produksi bahan pangan secara signifikan.
Sejalan dengan itu, pangan lokal juga mendesak untuk diberdayakan, dan junlahnya sangat melimpah. Ironisnya hal ini tak pernah dikembangkan, agar bisa menjadi back up beras. Contohnya talas Bogor, buah sukun, edamame, dan lain-lain. Talas Bogor begitu tinggi kandungan gizi dan kalorinya, rasanya pun lezat. Talas Bogor jangan hanya dijadikan bolus aja, itu pun masih dicampur dengan gandum (impor). Dan tanaman pangan lokal lain yang endemik Indonesia. Perut orang Indonesia harus dilatih dengan bahan pangan non beras.
Dan jurus ketiga adalah konversi lahan pertanian, misalnya konversi lahan pertanian tembakau, yang jumlahnya mencapai kisaran 224 hektar di seluruh Indonesia. Pertanian tembakau perlahan harus dikonversi menjadi pertanian non tembakau, khususnya pertanian bahan pangan. Sungguh paradoks jika lahan pangan makin menipis, tetapi justru lahan pertanian tembakau malah makin eksis, dan produksi rokok pun makin bejibun, mencapai 315 miliar batang (2023).
Lagi pula nasib dan kesejahteraan petani tembakau juga tak membaik, tak sejahtera, tak berdaya, karena harga dan pasar tembakau dihegemoni oleh tengkulak dan industri rokok. Maka, konversi pertanian tembakau menjadi lahan pertanian bahan pangan menjadi solusi yang sangat fair; baik untuk memasok kebutuhan bahan pangan, juga untuk memberdayaan petani. Dengan konversi ke pertanian bahan pangan, nasib petani lebih sejahtera, dan tidak tersandera oleh tengkulak dan oligarki industri rokok, yang sangat hegemonik.
Sudah terlalu lama, kita tersandera dengan bahan pangan impor dari Eropa, Amerika, Argentina, dan negara lain. Sudah lama pula kita tersandera oleh dugaan adanya mafia impor bahan pangan, yang gemar memburu rente. Oleh sebab itu, upaya untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan patut didukung penuh.
Namun upaya yang dilakukan harus sinergis dan terintegrasi, meliputi pemberdayaan petani, pemberbedayaan bahan pangan lokal, plus konversi lahan pertanian tembakau menjadi pertanian tanaman pangan. Pembukaan lahan (deforestasi) adalah jurus yang berisiko tinggi, dan bahkan kontra produktif dari sisi lingkungan global. Dan bertentangan pula dengan kebijakan pemerintah yang berkomitmen untuk mewujudkan Nett Zero Emission hingga 2060.
*) Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik.
Post a Comment