Pilihan Serasa tanpa Pilihan
Ahmadie Thaha. (Foto: Istimewa)
Oleh Ahmadie Thaha *)
Pilkada datang lagi. Tapi kali ini ada yang berbeda. Bukan perang slogan atau debat visi-misi antara dua kubu yang sengit, melainkan...satu pasangan calon melawan kotak kosong.
Iya, kotak kosong! Ada 40-an daerah di Pilkada 2024 yang bernasib demikian. Entah ini dinamika demokrasi atau lelucon takdir, tapi yang jelas, fenomena ini selalu bikin dahi kita mengernyit sambil bertanya, "Apakah kita benar-benar punya pilihan?"
Bayangkan, datang ke TPS dengan semangat ingin memilih pemimpin yang akan membawa perubahan, tapi cuma disodorkan dua opsi: satu calon yang sudah kelihatan menang sebelum pertarungan dimulai, atau...kotak kosong. Serius, rasanya seperti mau pesan makanan tapi pilihan menunya hanya satu. Ya sudah, terpaksa pesan, meski mungkin rasanya nggak sesuai ekspektasi.
Fenomena ini bukan baru. Beberapa daerah sudah pernah merasakannya, dan hasilnya selalu jadi bahan obrolan warga di warung kopi. “Kotak kosong bisa menang nggak sih?” Jadi meme sosial media? Sudah pasti. Kita lihat bagaimana kampanye yang awalnya berapi-api tiba-tiba terasa hambar karena lawan politik yang biasanya hadir untuk adu argumen, kali ini cuma berupa kekosongan.
Lucunya, kotak kosong ini seolah punya penggemar sendiri. Di beberapa daerah, ada yang serius mengkampanyekan kotak kosong, seakan-akan kotak kosong ini benar-benar calon alternatif. Slogan-slogan nyeleneh muncul: "Pilih kotak kosong, karena kita butuh yang kosong-kosong aja," atau, "Kotak kosong, solusi tanpa janji."
Namun, di balik semua candaan dan sindiran itu, ada realita yang harus kita hadapi. Satu pasangan calon melawan kotak kosong menunjukkan masalah mendasar dalam sistem politik kita.
Kenapa bisa hanya ada satu calon? Apakah tidak ada orang lain yang berani maju? Atau mungkin, sistem ini sudah terlalu mahal dan rumit untuk diikuti? Pada akhirnya, rakyat yang dihadapkan pada pilihan semu: memilih satu-satunya calon yang tersedia, atau memberikan suara ke kekosongan.
Dan jangan salah, kotak kosong itu bukan sekadar formalitas. Kalau kotak kosong menang, itu artinya pilkada harus diulang. Calon yang sebelumnya merasa sudah di ambang kemenangan, harus kembali ke garis start. Tapi apa yang terjadi setelah itu? Ya, biasanya calon yang sama akan maju lagi, dan kotak kosong... yah, tetap kosong.
Ketika kita bicara soal kampanye, ada yang lebih lucu lagi. Bagaimana tim sukses harus berjuang sekuat tenaga untuk melawan... ya, ketiadaan. Tanpa lawan nyata di lapangan, kampanye jadi terasa seperti ajang promosi satu arah. Iklan, baliho, dan slogan masih tetap menghiasi jalanan, seolah-olah ada pertarungan sengit. Tapi siapa yang mereka lawan? Kotak kosong yang tak bisa bicara, tak bisa protes, dan tak bisa membela diri.
Pada akhirnya, pilkada lawan kotak kosong ini lebih mirip kompetisi lari di mana satu-satunya peserta cuma butuh berjalan pelan-pelan untuk menang. Sementara rakyat yang jadi penonton, cuma bisa berharap, siapa pun yang akhirnya terpilih, tetap bisa membawa perubahan yang dijanjikan—meskipun jalannya tanpa hambatan.
Siapa yang pantas disalahkan? Mungkin sistem, mungkin proses politik yang terlalu kompleks, atau mungkin juga kita yang terlalu cepat menyerah dengan keadaan. Namun, yang pasti, kotak kosong bukanlah pahlawan yang kita butuhkan, tapi dia ada di sana, menunggu, sebagai simbol dari harapan yang kadang terasa kosong.
Jadi, saat datang ke TPS nanti, apakah kita akan memilih calon yang ada atau kotak kosong? Yah, pada akhirnya, pilihan itu tetap ada di tangan kita, meskipun pilihan yang terasa seperti tanpa pilihan.
14 September 2024
*) jurnalis, penulis
Post a Comment