Kasus Bullying di Sekolah, Abdul Mu'ti: Itu Persoalan Kompleks tak Bisa Digeneralisasi

Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti. (Foto: muhammadiyah.or.id)

JAKARTA -- Kekerasan dan perundungan (bullying) masih saja terjadi di satuan pendidikan atau sekolah sepanjang 2024. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat jumlah kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan atau sekolah selama 2024 sejak Januari hingga Juli 2024 mencapai 15 kasus.

Kasus terbaru, seorang siswa SMA swasta di wilayah Simprug, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, diduga menjadi korban perundungan oleh kawan-kawannya. Ia mengaku dianiaya dan mengalami pelecehan seksual pada 30 Januari dan 31 Januari 2024.

Terkait dengan banyaknya kejadian tindak kekerasan yang menimpa peserta didik di satuan pendidikan, Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menyatakan hal ini persoalan yang kompleks, bisa berdiri sendiri-sendiri dan tidak bisa digeneralisasi.

Oleh karena itu, menurut Guru Besar Bidang Pendidikan Islam UIN Jakarta ini, solusi atas persoalan tersebut tidak bisa digeneralisasi. Melihat dari sisi psikologi, ujar dia, kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan erat kaitannya dengan power relation (relasi kuasa), yaitu melibatkan dua pihak yang memiliki dua kekuatan berbeda.

“Sebagian besar kekerasan itu dilakukan oleh mereka yang memiliki power (powerfull), memiliki otoritas kepada mereka yang memang yang dianggap lebih lemah (power less), mereka yang dhaif atau mereka yang lemah,” kata Mu’ti, dalam keterangan tertulisnya pada gebrak.id, Kamis (19/9/2024).

Menurut Mu'ti, kasus bullying yang terjadi di lembaga pendidikan terjadi akibat adanya relasi kuasa yang timpang. Kelompok perempuan yang kerap dianggap lemah sering menjadi bahan bullying, termasuk anak-anak dengan kebutuhan tertentu juga menjadi sasaran para pelaku bullying.

Selain itu, lanjut Mu'ti, faktor lain yang menjadi pemicu tindakan bullying juga bisa disebabkan nilai prestasi akademik. Menurutnya, anak-anak atau peserta didik yang memiliki nilai akademik rendah atau di bawah rata-rata menjadi sasaran empuk pelaku bullying. Pada jenis atau faktor ini pelaku bullying lebih sering dilakukan oleh teman sebaya atau sesama peserta didik.

“Sebagian lagi disebabkan oleh faktor visi atau pandangan tentang pendidikan. Karena memang kadang-kadang sebagian dari kekerasan itu dilakukan sebagai bentuk hukuman atau punishment atas kesalahan yang dilakukan oleh peserta didik,” jelas Mu’ti.

Seringkali, sambung Mu'ti, kejadian punishment dianut oleh mereka yang memiliki pandangan bahwa dalam mencapai tujuan pada diri anak itu ada hadiah dan hukuman (reward and punishment). Dan hukuman yang diberikan tersebut dalam bentuk fisik, atau corporal punishment. “Seringkali hukuman itu diberikan sebagai bentuk penegakan peraturan,” kata dia menandaskan.


(eye)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.