Kemenkes Berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan dan Fornas untuk Sediakan Pengobatan Kanker

Ketua HIFDI dr Zaenal Abidin MHKes saat memberikan sambutan dalam Diskusi "Akses Pengobatan Kanker di JKN; Menciptakan Birokrasi yang Berpihak pada Pemenuhan Hak Pasien" yang digelar oleh Himpunan Fasyankes Dokter Indonesia (HIFDI) di Gedung IDI, Jakarta, Jumat (16/8/2024). (Foto: republika.co.id)

JAKARTA -- Ketua Himpunan Fasyankes Dokter Indonesia (HIFDI) dr Zaenal Abidin MHKes mengatakan, kanker memang telah menjadi salah satu prioritas pemerintah dan harapannya melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pun pasien kanker bisa mengakses pengobatan.

"Namun, masih sering ditemui kendala pasien sulit mengakses obat yang dibutuhkan. Bahkan sekali pun obat itu sudah ada dalam Fornas dan tercantum dalam katalog, namun tetap juga sulit diakses oleh pasien," ujar Zaenal dalam Diskusi "Akses Pengobatan Kanker di JKN; Menciptakan Birokrasi yang Berpihak pada Pemenuhan Hak Pasien" yang digelar oleh HIFDI di Gedung Kantor IDI, Jakarta, Jumat (16/8/2024).

Menurut Zaenal, boleh jadi ke depan kasus kanker di Indonesia makin meningkat seiring dengan lemahnya pencegahan di sektor hulu. Obesitas, terutama obesitas pada anak, yang sering dianggap sebagai biang atau pintu masuk dari berbagai macam penyakit katastropik termasuk kanker, cenderung terabaikan. Terabaikan karena kealfaan dalam hal regulasi.

"Karena itu, HIFDI mengundang ahli, pengambil kebijakan, praktisi kesehatan, media, dan pemerhati kesehatan membicara masalah kanker dan pengobatannya," kata Zaenal.

Adapun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI memastikan akses pengobatan kanker dalam program JKN dengan mengupayakan ketahanan industri farmasi melalui pemantauan logistik dengan sistem digitalisasi.

Direktur Pengelolaan dan Pelayanan Kefarmasian Kemenkes RI Dr Agusdini Banun Saptaningsih mengatakan, Kemenkes selalu berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan serta Komite Formularium Nasional (Fornas) untuk menyediakan pengobatan kanker. Ia menyebut bahwa rencana kebutuhan obat nasional harus dapat dipenuhi oleh industri domestik.

"Nah dengan adanya sistem digitalisasi yang terkait dengan logistik di Indonesia, jadi kita bisa memonitor jumlah produksinya berapa dan sebagainya sesuai dengan rencana kebutuhan obat," ujar Agusdini.

Menurut Agusdini, industri farmasi seringkali mengalami kesulitan dalam pengadaan obat, seperti izin edar yang habis dan bahan baku yang sulit diakses karena konflik global, seperti antara Ukraina dan Rusia serta masalah di Timur Tengah. "Oleh karena itu, perlunya ketahanan industri farmasi nasional," cetusnya.

Agusdini melanjutkan, Fornas berperan penting dalam pengadaan obat kanker tersebut karena terintegrasi pada sistem tata kelola obat, serta berperan dalam pemilihan atau seleksi obat yang efektif secara biaya. Setiap tahunnya, lanjut dia, para pihak itu menyusun rencana kebutuhan obat seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia, kemudian menghitung biaya untuk dapat memberikan industri farmasi dana yang dibutuhkan dalam memproduksi obat-obat tersebut.

Indonesia, sambung Agusdini, berhasil membuat kurang lebih 62 bahan baku obat dan vaksin, sebuah pencapaian yang dinilai dapat mengurangi impor bahan baku. "Memang tidak bisa menurunkan yang 95 persen, tapi sedikit-sedikit kita akan turun menjadi 75 persen dalam tahap importasi bahan baku obat," cetusnya.

Agusdini menjelaskan, penyediaan obat merupakan bagian dari transformasi kesehatan. Terkait obat, lanjut dia, terdapat tiga hal yang perlu dipastikan oleh pemerintah, yakni ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauannya.

Menurut Agusdini, Kemenkes memiliki etalase konsolidasi, di mana tenaga kesehatan di fasyankes dapat membeli obat tanpa menawar harga lagi karena harganya sudah sama, bahkan lebih rendah, dengan klaim harga obat BPJS.

Agusdini menambahkan, di dalam Fornas, terdapat 33 kelas terapi, dan pengobatan untuk kanker termasuk dalam kelas terapi ke-8, yakni jenis antineoplastik dan imunomodulator, dengan simbol Ca di belakang nama obat.


(nnn)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.