Aktivis Kini Terjebak Pragmatisme, Hedonisme, dan Berebut Tulang-Tulang

MHR Shikka Songge. (Foto: Kahmi Nasional)

 

Oleh MHR Shikka Songge *)


Seringkali sejarah gemilang yang dicetak oleh suatu generasi sebelumnya, seiring waktu sengaja dlupakan oleh anak dan cucunya sendiri di kemudian hari. Sejarah heroisme yang sarat hikmah dan pesan peradaban, kadang sengaja dibelokkan arahnya, bahkan sengaja ditimbun sehingga generasi ke depan kehilangan jejak dan arah peradaban politik. Hal yang dikhawatirkan itu, sungguh nyata telah terjadi pada generasi sekarang.

Anak-anak aktivis pergerakan negeri ini, kini terjebak dalam pragmatisme, hedonisme, menjadi generasi penikmat, ribut berebut tulang-tulang, tetapi melupakan tugas utamanya untuk merawat dan menyelamatkan negeri ini dari ancaman Ä·epunahan. Negeri ini kian merintih lara, duka, dan tercederai karena banyaknya orang asing memetak tanah NKRI tanpa sopan santun pada pemilik kedaulatan bernegara.

Negara ini dulu diperjuangkan dengan bambu runcing, berlumur darah, nyawa hilang, kuli dan rodi, lalu berakhir dengan perjuangan diplomasi oleh para negarawan terdidik yang menjunjung tinggi kebebasan dan harkat martabat negeri. Bukan ambisi pribadi, tapi kini dibangun atas perjanjian hutang dengan kompensasi yang mahal, melampaui ambang batas rasional yang sudah pasti tanpa arah tujuan yang jelas.

Di tengah segala kemudahan yang diberikan negara secara cuma-cuma kepada para oligarch, banyak anak negeri menderita demi sekadar menyambung nyawa justru dengan bertaruh nyawa. Seperti nasib para penggali tambang liar, mereka pribumi yang tidak cukup modal dan persyaratan. Mereka terpaksa melakukan tindakan sporadis tanpa legalitas negara karena jika tidak, mereka akan merasakan suatu bentuk penindasan sosial ekonomi, kemiskinan yang mematikan, seperti halnya tikus mati di lumbung padi.

Salah siapa? Sementara di atas sana para oligarch menikmati dana segar dari tambang-tambang legal  yang menjadi kerajaan bisnis sebagai mesin uang yang menciptakan kekayaan, dan kekuasaan.

Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sejatinya menjadi kader ideologis Moh Natsir, Hatta, Agus Salim, Sahrir, Ki Bagus Hadikusuma, Wahid Hasyim (serta tokoh lainnya), yang seyogianya mengambil peran sebagai pelaku sejarah peradaban, menjadi tonggak ideologis yang menentukan kiblat berbangsa dan bernegara. Bukan sebaliknya, menjadi generasi penikmat tanpa cita-cita ideologis.

Sayang sekali anak-anak HMI maupun kader alumninya, hari ini, kehilangan jati diri sebagai kader pelopor mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial dan berkeadilan ekonomi.

Selain itu, anak-anak HMI dan alumni hari ini, kehilangan fungsi dan peran ideologis kekaderan, sehingga mereka hanya membawa perut dan otot, lalu bersekutu dengan rezim ini tanpa visi dan moralitas.

Mereka tidak lagi berdiri tegak memegang teguh idealisme, sosok aktivis pejuang denģan karakter dan kualitas intelektual yang berparadigma Islam. Melainkan mereka menjadi generasi tertindas, absurd, pemabuk, pembicaraan minus argumentasi dan logika kewarasan, menjilat tanpa punya perasaan malu, memuji tanpa kebenaran, meski mengabaikan kepantasan bernegara.

Generasi ini bagai limbah yang menebarkan oroma busuk, yang meracuni kecerdasan dan kewarasan publik. Generasi limbah, karena hanya memperjuangkan isi perut dan otot, tanpa moral dan idealisme di setiap ruang pengabdian. Generasi tanpa identitas, minus karakter, dan integritas, telah kembali hadir, mereka digerakkan oleh sebuah orkesta untuk meraih kekuasaan hanya dengan puja-puji, akal bulus, tanpa bobot kecerdasan, dan moral intelegensia.  

Sementara kita paham bahwa negeri ini dibangun oleh torehan para tokoh masyhur, cendekiawan, ilmuwan, filsuf, ideolog terkemuka, yang sangat berpengaruh dan memiliki jejak pergerakan yang kuat dalam sejarah bangsa ini.

Ciputat, 28 Agustus 2024



*) Guru Sekolah Kader HMI, Instruktur NDP Tingkat Nasional.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.