"Quo Vadis Ulil?" Menelusuri Pandangan Ulil Abshar Abdalla Mengenai Lingkungan
Budhy Munawar-Rachman. (Foto: nurcholishmadjidstudies.id) |
Oleh Budhy Munawar-Rachman *)
Ulil Abshar Abdalla, sahabat saya, seorang intelektual dan aktivis terkenal di Indonesia, seringkali memberikan pandangan yang kontroversial namun mendalam mengenai berbagai isu sosial dan politik. Saya adalah pengikut Ulil, sejak ia menjadi suara terdepan melanjutkan pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam hal Islam Progresif.
Salah satu topik yang menarik perhatian banyak orang akhir-akhir ini adalah pandangannya mengenai lingkungan, terutama terkait dengan isu tambang dan sumber daya alam. Dalam sebuah postingan di media sosial (Facebook, 29/6/2024), Ulil mengungkapkan pandangannya yang berbeda dengan mayoritas aktivis lingkungan yang menurutnya cenderung alarmis.
Saya tertarik ikut menanggapi dan akan menelusuri pandangan Ulil secara mendalam, mengeksplorasi konsep “reasonable environmentalism” yang diusungnya, serta membandingkannya dengan ideologi lingkungan lainnya.
Ulil memulai dengan menyatakan bahwa dirinya enggan untuk berkomentar mengenai isu tambang. Namun, karena adanya serangan terhadap PBNU dari berbagai pihak, khususnya dari kalangan kiri, ia merasa perlu untuk angkat bicara. Ia menegaskan bahwa pandangannya mengenai sumber daya alam telah konsisten sejak dulu. Menurutnya, sikap alarmis terhadap isu lingkungan hanya akan menimbulkan ketakutan yang tidak berdasar. “Sikap alarmis” ini kata kunci yang akan kita dalami.
Ulil menolak pandangan mayoritas aktivis lingkungan yang menggunakan narasi menakut-nakuti. Ia menyebut pendekatan ini sebagai su'udz dzann atau berpikir negatif yang dalam konteks agama Islam tidaklah dianjurkan. Sebaliknya, Ulil lebih memilih pendekatan yang disebutnya sebagai “reasonable environmentalism” atau lingkungan yang masuk akal.
“Reasonable environmentalism” yang diusung Ulil menekankan pada pendekatan yang objektif dan masuk akal terhadap isu lingkungan. Menurutnya, tidak perlu ada narasi alarmis yang menakut-nakuti masyarakat mengenai perubahan iklim, pemanasan global, atau penggunaan batu bara. Sebaliknya, ia menekankan pada pentingnya melihat masalah ini secara wajar dan dengan kepala dingin. Dalam poin ini saya sejak puluhan tahun lalu, selalu mengagumi Ulil yang selalu tenang dan kritis dalam menanggapi kritik.
Ulil mengutip Bjorn Lomborg, seorang aktivis lingkungan dari Denmark, sebagai referensi utama pandangannya. Buku Lomborg yang berjudul “False Alarm” dianggapnya sebagai bacaan wajib bagi para aktivis lingkungan untuk menghindari sikap paranoid terhadap isu lingkungan. Menurut Lomborg dan ini dijadikan dasar argumen Ulil, penting untuk menyikapi isu lingkungan dengan data yang akurat dan analisis yang objektif, bukan berdasarkan ketakutan yang tidak berdasar.
Ulil mengkritik ideologi lingkungan yang cenderung alarmis dan paranoid. Ia juga mengkritik mazhab ekofeminisme yang bertolak dari gagasan “deep ecology” yang dikemukakan oleh Arne Naess. Menurutnya, ideologi ini terlalu ekstrem dan tidak sesuai dengan pendekatan yang rasional dan objektif.
Sebagai pengikut Deep Ecology, saya sangat menyayangkan Ulil tidak menjelaskan lebih mendalam apa maksudnya. Dalam pengamatan saya Deep Ecology, atau filsafat semacamnya, telah mewarnai berbagai pandangan agama tentang ekologi, termasuk dalam Islam, yang menjadikan agama mampu membawa suara kenabian dalam kritik terhadap ekonomi pembangunan yang merusak lingkungan.
Ulil memperkenalkan konsep “fikih lingkungan” sebagai pendekatan yang lebih sesuai dengan ajaran Islam dan pandangan yang masuk akal. Fikih lingkungan menekankan pada keseimbangan antara eksploitasi sumber daya alam dan konservasi lingkungan. Menurutnya, menajiskan batu bara atau sumber daya alam lainnya tidak sesuai dengan ajaran Islam yang mengajarkan keseimbangan dan keberlanjutan. Tentu ini Islam menurut Ulil. Islam menurut Al-Mizan, sebuah dokumen terbaru ekologi Islam, lain lagi penafsirannya.
Dalam konteks fikih lingkungan, Ulil menekankan pentingnya memahami hukum-hukum alam dan bagaimana manusia dapat berinteraksi dengan alam secara harmonis. Ia mengkritik pandangan yang menolak sepenuhnya penggunaan sumber daya alam seperti batu bara, karena menurutnya, sumber daya ini tetap memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Ulil juga menekankan bahwa konservasi lingkungan tidak harus bertentangan dengan eksploitasi sumber daya alam. Sebaliknya, ia mengusulkan adanya regulasi dan pengelolaan yang baik agar eksploitasi ini dapat dilakukan secara berkelanjutan. Dalam pandangannya, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk mencapai keseimbangan ini, tanpa terjebak dalam narasi alarmis yang justru merugikan.
Ulil menegaskan bahwa pendekatan alarmis terhadap isu lingkungan hanya akan menimbulkan ketakutan yang tidak berdasar dan menghambat pembangunan. Ia mengkritik aktivis lingkungan yang seringkali menggunakan data yang dilebih-lebihkan untuk menakut-nakuti masyarakat. Menurutnya, hal ini tidak hanya tidak produktif, tetapi juga dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap gerakan lingkungan itu sendiri.
Sebagai contoh, Ulil mengkritik narasi yang menyebut bahwa penggunaan batu bara akan menyebabkan bencana ekologis yang tidak terelakkan. Ia menekankan bahwa dengan pengelolaan yang baik, dampak negatif dari penggunaan batu bara dapat diminimalkan. Ia juga menekankan pentingnya inovasi teknologi dalam mengurangi dampak lingkungan dari industri tambang.
Ulil juga mengkritik pandangan yang menolak sepenuhnya pembangunan infrastruktur yang dianggap merusak lingkungan. Menurutnya, pembangunan tetap diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi harus dilakukan dengan mempertimbangkan dampak lingkungan. Ia mengusulkan pendekatan yang lebih seimbang, di mana pembangunan dan konservasi lingkungan dapat berjalan beriringan.
Ulil mengakui bahwa pandangannya mengenai lingkungan seringkali berbeda dengan mayoritas aktivis lingkungan. Namun, ia menekankan pentingnya diskusi dan polemik gagasan dalam menyikapi isu besar seperti lingkungan. Ia merasa bahwa melalui diskusi yang konstruktif, masyarakat dapat menemukan solusi yang lebih baik dan lebih seimbang dalam mengelola sumber daya alam dan melindungi lingkungan.
Ulil juga mengapresiasi tanggapan dari berbagai pihak terhadap pandangannya. Ia merasa bahwa polemik ini penting untuk memperkaya wacana dan menemukan titik temu yang lebih baik. Menurutnya, perlu tetap membuka diri terhadap kritik dan masukan agar dapat mengembangkan pandangan yang lebih komprehensif dan objektif.
Pandangan Ulil mengenai lingkungan menawarkan perspektif yang berbeda dari mayoritas aktivis lingkungan. Dengan mengusung konsep “reasonable environmentalism” dan “fikih lingkungan”, Ulil menekankan pada pendekatan yang lebih objektif, rasional, dan tidak alarmis dalam menyikapi isu lingkungan. Ia menekankan pentingnya regulasi dan pengelolaan yang baik dalam eksploitasi sumber daya alam, serta inovasi teknologi untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Ulil juga mengkritik ideologi lingkungan yang terlalu ekstrem dan paranoid, serta menekankan pentingnya diskusi dan polemik gagasan dalam menemukan solusi yang lebih baik. Melalui pendekatan yang seimbang dan masuk akal, Ulil berharap dapat memberikan kontribusi positif dalam melindungi lingkungan sekaligus mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Dengan demikian, "Quo Vadis Ulil?" dapat dijawab dengan keyakinan bahwa Ulil tetap konsisten pada pandangannya yang rasional dan objektif, sambil terus mendorong diskusi yang konstruktif mengenai isu-isu lingkungan.
Kritik terhadap Ulil
Sebagai pembelajar ekologi integral dan isu agama dan ekologi, ada beberapa kritik yang saya akan ajukan terhadap pandangan Ulil mengenai isu lingkungan di atas. Meskipun pendekatannya yang disebut "reasonable environmentalism" memiliki beberapa poin yang valid, ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan secara lebih kritis, yang ini menurut saya, kurang diperhatikan Ulil.
Ulil menekankan pentingnya menghindari narasi alarmis. Menurut saya pendekatan ini bisa terlalu meremehkan risiko nyata yang dihadapi oleh lingkungan. Isu seperti perubahan iklim, penurunan keanekaragaman hayati, dan polusi, yang sudah sering disampaikan para ahli, menurut saya memerlukan perhatian serius dan tindakan segera. Pandangan yang terlalu "reasonable" mungkin mengabaikan “urgensi” yang diperlukan untuk menangani masalah-masalah ini.
Sementara Ulil mengkritik penggunaan data yang dilebih-lebihkan oleh aktivis lingkungan, Ulil kelihatan kurang mengakui bahwa sebagian besar ilmuwan dan pakar lingkungan menggunakan data dan model yang ketat untuk memperkirakan dampak perubahan iklim dan aktivitas manusia terhadap lingkungan. Kritik terhadap pendekatan alarmis harus didasarkan pada bukti ilmiah yang solid, bukan hanya persepsi subjektif tentang ketakutan yang dibayangkan Ulil. Bukti ilmiah yang solid ini tidak dijelaskan oleh Ulil.
Ulil membela penggunaan batu bara dan menentang pandangan yang menajiskan sumber daya ini. Namun, banyak bukti ilmiah yang diabaikan Ulil, yang menunjukkan bahwa batu bara adalah salah satu penyumbang terbesar emisi karbon dioksida yang menyebabkan pemanasan global. Mengabaikan atau meremehkan kontribusi negatif batu bara terhadap perubahan iklim bisa berbahaya dan tidak sesuai dengan upaya global untuk beralih ke energi terbarukan. Sudah banyak studi dan advokasi tentang ini.
Konsep "fikih lingkungan" yang diusulkan Ulil menekankan pada pendekatan yang lebih selaras dengan ajaran Islam. Meskipun ini bisa menjadi alat yang berguna dalam beberapa konteks budaya, seperti Islam, kita perlu memastikan bahwa pandangan religius ini tidak mengabaikan atau mengurangi pentingnya bukti ilmiah dan pendekatan berbasis data dalam pengelolaan lingkungan.
Fikih dewasa ini harus berbasiskan data. Sayangnya data yang dipakai Ulil adalah data dari para ahli yang menentang gawatnya krisis iklim, yang sejalan dengan kepentingan-kepentingan industri, perdagangan, dan paham kemajuan, yang telah menyebabkan rusaknya lingkungan sejak masa revolusi industri.
Ulil mengakui pentingnya inovasi teknologi dalam mengurangi dampak lingkungan dari industri tambang. Namun, Ulil harusnya lebih menekankan pada transisi yang lebih cepat ke teknologi bersih dan energi terbarukan. Ketergantungan pada batu bara dan sumber daya tak terbarukan lainnya harus dikurangi secara signifikan untuk mencapai target iklim global dan menjaga kelestarian lingkungan.
Selanjutnya juga perlu diberi catatan untuk kesimpulan Ulil tentang para aktivis lingkungan. Meskipun ada beberapa aktivis yang mungkin menggunakan narasi alarmis, banyak di antaranya didasarkan pada penelitian dan bukti yang kuat. Menggeneralisasi semua aktivis sebagai alarmis bisa mengabaikan kontribusi penting yang mereka berikan dalam meningkatkan kesadaran dan mendesak tindakan terhadap isu-isu lingkungan yang mendesak.
Ulil cenderung fokus pada aspek-aspek tertentu seperti penggunaan batu bara dan pandangan alarmis. Namun, isu lingkungan adalah masalah yang kompleks dan multidimensi yang membutuhkan pendekatan holistik, mencakup konservasi keanekaragaman hayati, perlindungan ekosistem, pengelolaan air, dan pengurangan polusi, di samping isu-isu perubahan iklim dan energi.
Kesimpulan
Pandangan Ulil mengenai lingkungan menambahkan perspektif yang berbeda dalam diskusi lingkungan, tetapi pendekatannya yang terlalu menghindari alarmisme dan terlalu menekankan pada narasi "reasonable environmentalism" menurut saya, telah mengabaikan urgensi beberapa isu lingkungan yang mendesak. Memang kita harus bijaksana dan seimbang antara memperingatkan tentang risiko nyata dan tetap rasional serta berbasis data dalam mencari solusi.
Kritik saya terhadap Ulil, dimaksudkan untuk memperkaya diskusi dan mencari jalan terbaik dalam menjaga dan melestarikan lingkungan bagi generasi mendatang. Pandangan Ulil meskipun dimaksudkan untuk mendorong pendekatan yang lebih rasional dan tidak alarmis terhadap isu lingkungan, menurut saya, berpotensi menimbulkan kemudaratan bagi generasi mendatang.
Pandangan Ulil yang cenderung menghindari narasi alarmis juga berisiko meremehkan urgensi krisis lingkungan yang dihadapi dunia saat ini. Isu seperti perubahan iklim, penurunan keanekaragaman hayati, dan polusi menurut saya, tidak dapat dipandang sepele. Mengurangi perhatian terhadap risiko-risiko ini dapat menghambat tindakan yang diperlukan untuk mencegah dampak buruk yang lebih besar di masa depan.
Ulil membela penggunaan batu bara dengan menyebutnya bukan sesuatu yang najis menurut ajaran Islam. Sayangnya cara berpikir fikih Ulil ini tidak disinkronkan dengan bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa batu bara adalah salah satu sumber utama emisi karbon dioksida yang menyebabkan pemanasan global. Jika kita terus bergantung pada batu bara dan mengabaikan dampaknya, generasi mendatang akan mewarisi Bumi yang jauh lebih hangat dan tidak stabil secara iklim, yang dapat menimbulkan bencana ekologis dan sosial, seperti kita sudah mulai rasakan sekarang ini.
Sikap Ulil yang mendorong “reasonable environmentalism” mungkin mengarah pada tindakan yang terlalu lambat dan tidak cukup signifikan untuk mengatasi masalah lingkungan yang mendesak. Perubahan iklim membutuhkan aksi cepat dan radikal untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Setiap penundaan atau pengurangan skala tindakan hanya akan memperburuk situasi, membebankan generasi mendatang dengan konsekuensi yang lebih berat.
Pendekatan yang terlalu “permisif” terhadap eksploitasi sumber daya alam, ini kesan saya atas sikap Ulil, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang dapat menyebabkan degradasi lingkungan yang lebih parah. Hutan, lahan basah, dan ekosistem lainnya sangat penting untuk keseimbangan alam dan kesejahteraan manusia. Jika pendekatan ini diterapkan secara luas, kita mungkin menghadapi kehilangan sumber daya alam yang tak tergantikan, dalam waktu tidak terlalu lama lagi, yang akan merugikan generasi mendatang baik secara ekologis maupun ekonomis.
Keanekaragaman hayati merupakan fondasi dari ekosistem yang sehat dan berfungsi. Pendekatan Ulil yang tidak alarmis mungkin gagal untuk menangani ancaman besar terhadap keanekaragaman hayati, seperti deforestasi, habitat loss, dan perburuan liar. Kehilangan spesies dan ekosistem akan mengurangi kemampuan alam untuk memberikan layanan ekosistem yang penting, seperti penyerbukan tanaman, pembersihan air, dan pengaturan iklim, yang akan berdampak langsung pada kualitas hidup manusia di masa depan.
Satu hal yang tidak diantisipasi oleh Ulil dalam tulisannya bahwa krisis lingkungan juga cenderung memperburuk ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Dampak perubahan iklim dan degradasi lingkungan paling dirasakan oleh komunitas yang paling rentan, seperti perempuan dan anak, dan mereka yang miskin.
Pendekatan yang tidak cukup progresif dalam menangani isu-isu ini bisa lebih memperburuk ketidakadilan sosial dan ekonomi, meninggalkan generasi mendatang dengan tantangan yang lebih besar untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial. Soal-soal yang biasa disebut “isu keadilan sosial” yang ini adalah konsern penting fikih, tapi tidak dimasukkan dalam argumen Ulil.
Kritik Ulil terhadap narasi alarmis mungkin mengabaikan peran penting dari edukasi dan peningkatan kesadaran tentang isu-isu lingkungan. Kesadaran publik yang tinggi mengenai urgensi krisis lingkungan sangat penting untuk mendorong tindakan kolektif dan kebijakan yang efektif. Meredam narasi ini dapat mengurangi motivasi untuk bertindak, yang pada akhirnya merugikan upaya mitigasi dan adaptasi.
Akhirnya, menurut saya, pandangan Ulil mengenai isu lingkungan, jika diterapkan secara luas, berisiko memberikan kemudaratan signifikan pada generasi mendatang. Pendekatan yang terlalu meremehkan urgensi dan skala masalah lingkungan dapat menghambat tindakan yang diperlukan untuk melindungi Bumi, rumah kita bersama, yang sedang “sekarat”.
Generasi mendatang berhak atas lingkungan yang sehat dan berkelanjutan, dan tanggung jawab kita saat ini adalah memastikan bahwa tindakan yang kita ambil selaras dengan pencapaian tujuan tersebut. Oleh karena itu, penting untuk mengadopsi pendekatan yang lebih proaktif, berbasis ilmu pengetahuan, dan responsif terhadap ancaman lingkungan yang nyata dan mendesak. Wallahu a’lam.
1 Juli 2024
*) Pembelajar Laudato Si’ dan Al-Mizan, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Post a Comment