Pengamat Politik UNAS Selamat Ginting: Netanyahu Cenderung Dukung Trump daripada Kamala Harris

Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, dan calon Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump (kanan). (Foto: politico.com/AP/sebastian scheiner)

 

JAKARTA -- Pengamat politik Universitas Nasional (UNAS) Jakarta Selamat Ginting melihat kecenderungan Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, lebih condong akan mendukung Donald Trump daripada Kamala Harris dalam pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS), November 2024 mendatang. Apalagi saat menjadi presiden, Trump mendukung Israel memindahkan ibu kota negaranya dari Tel Aviv ke Yerusalem.

"Netanyahu akan cenderung mendukung Trump daripada Kamala Harris dalam pilpres mendatang. Saat dunia mengutuk pemindahan ibu kota Israel pada Desember 2016 sebagai provokasi, Trump malah abaikan protes dunia. Bahkan Trump memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem pada pertengahan 2017," kata Selamat Ginting di Kampus UNAS, Jakarta, Rabu (24/7/2924).

Ginting melanjutkan, Kamala Harris sebagai perempuan akan lebih humanis dalam penyelesaian kasus di Timur Tengah. Bahkan cenderung tidak akan melanjutkan kebijakan Joe Biden yang terus memasok senjata dan amunisi kepada tentara Israel di Gaza, Palestina.

"Sebagai mantan jaksa agung di California, Kamala akan lebih menghormati hukum. Apalagi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan Mahkamah Internasional telah membuat keputusan keberadaan Israel di Gaza adalah ilegal. Kebengisan tentara Israel di Gaza adalah genosida yang harus dihentikan dan Netanyahu dianggap penjahat perang paling dicari dunia," ungkap Ginting.

Saat ini PM Netanyahu sedang berada di AS dan akan berpidato di depan Kongres AS. Dalam agendanya Netanyahu juga akan bertemu Presiden AS Joe Biden serta Donald Trump yang sedang berjuang untuk kembali menjadi presiden AS.

Menurut Ginting, Netanyahu memanfaatkan masa reses DPR Israel untuk mendapatkan dukungan dari AS, siapa pun yang akan menjadi presiden baru setelah Joe Biden mengundurkan diri dari kontestasi pilpres AS. Sehingga kunjungan Netanyahu ke AS saat ini akan dimanfaatkan dengan lobi politik untuk memengaruhi elite AS, terutama calon presiden mendatang agar dapat memberikan keuntungan bagi Israel dalam konstalasi global di Timur Tengah.

"Lobi politik dilakukan Netanyahu agar siapa pun Presiden AS mendatang tetap menjadi sekutu kuat Israel di tengah ancaman perang regional di Timur Tengah," ujar dosen tetap (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) FISIP UNAS itu.

Apalagi, kata Ginting, saat ini Israel harus berhadapan dengan tiga milisi Hamas di Palestina, Hizbullah di Libanon, dan Houthi di Yaman. Termasuk ancaman dari Iran akibat tindakan Israel yang menyerang konsulat Iran di Suriah.

Ginting mengungkapkan, saat ini Netanyahu berada di bawah tekanan yang semakin meningkat di dalam negeri. Termasuk dari publik Israel dan pimpinan militer untuk menyetujui kesepakatan gencatan senjata yang akan membebaskan beberapa dari perkiraan 116 sandera yang masih ditahan oleh Hamas dengan imbalan pembebasan tahanan Palestina di penjara Israel dan penghentian pertempuran.

Jadi, lanjut Ginting, kunjungan Netanyahu ke AS antara lain dilakukan untuk meredakan ketegangan di Israel utara dan Lebanon selatan. Tentara Israel sedang berperang dengan militan Hizbollah yang didukung Iran, dan mencegah perang regional. Termasuk dengan milisi Houthi di Yaman dan milisi Hamas di Palestina.

"Rakyat Israel saat ini sudah tidak tenang karena serangan balasan dari milisi Hamas, Hizbullah, dan Houthi sudah menyasar ke wilayah strategis Israel. Belum lagi kuatnya militer Iran akan menjadi ancaman serius bagi pemerintahan zionis Israel," pungkas Ginting.

 

(nnn)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.