Ormas Kelola Tambang, Berkah atau Musibah?

Usaha pertambangan. (Foto: Pixabay)

JAKARTA -- Organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan kini bisa berpartisipasi dalam pengelolaan tambang. Ormas dinilai pemerintah berhak atas Izin Usaha Pertambangan (IUP) karena berkontribusi pada kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Beleid pemberian izin ormas keagamaan dapat mengelola tambang tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang merupakan revisi dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 mengenai Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Dalam PP baru ini, ada penambahan Pasal 83A di antara Pasal 83 dan 84 yang mengatur tentang penawaran wilayah izin usaha pertambangan khusus atau WIUPK.

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, WIUPK diberikan pada badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan, baik itu koperasi atau perseroan terbatas (PT) yang dimiliki oleh ormas keagamaan. Persyaratan untuk mendapatkan WIUPK juga sangat ketat. "Jadi yang mendapatkan badan usahanya, bukan ormasnya," kata dia belum lama ini.

Ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), bergerak cepat dengan mengajukan permohonan izin pengelolaan tambang sebagai tindak lanjut dari PP Nomor 25 Tahun 2024. Ormas keagamaan tersebut juga sudah membentuk perusahaan yang akan khusus mengelola usaha tambang dari pemerintah.

Muhammadiyah, Ormas Islam terbesar kedua di RI, mengikuti jejak NU, menerima izin tambang yang akan diberikan Pemerintah RI. Keputusan yang sebelumnya menjadi polemik panjang ini diambil Muhammadiyah setelah melakukan rapat konsolidasi nasional PP Muhammadiyah pada Minggu (28/7/2024) di Yogyakarta.

Sementara, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengaku masih mengkaji kemungkinan untuk turut mengelola usaha pertambangan dari pemerintah. Ketua Umum MUI Anwar Iskandar menjelaskan, pihaknya sedang mengkaji apakah MUI masuk kategori ormas keagamaan dan berhak mendapatkan izin usaha tambang.

“Masih mau kita lihat dulu, apakah MUI itu ormas bukan, itu ya. Karena MUI itu kan konfederasi,” ujar Anwar, Kamis (25/7/2024).

Anwar lantas membandingkan status MUI dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Menurut dia, PBNU dan PP Muhammadiyah sudah bisa langsung mengajukan konsesi tambang karena memang berstatus ormas keagamaan. “Kalau NU kan ormas, Muhammadiyah ormas. Nah MUI ini kumpulan dari ormas-ormas ini. Maka definisinya ini kena atau enggak MUI itu,” jelas dia.

Namun demikian, penawaran pengelolaan tambang itu agaknya tak disambut baik oleh ormas keagamaan lain. Alih-alih mengajukan diri, sederet ormas keagamaan justru menolak izin tambang tersebut.

Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menyatakan penolakannya dalam keterlibatan izin tambang yang ditawarkan oleh pemerintah. Selanjutnya, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) turut menyatakan penolakannya terhadap izin usaha pertambangan.

Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) juga menegaskan, pihaknya tidak akan terlibat dalam izin tambang yang dari pemerintah. Begitu pula dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI)

Rawan Blunder

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli menilai, PP No. 25 Tahun 2024 yang merupakan revisi dari PP 96 Tahun 2021 memberikan prioritas kepada ormas untuk memiliki IUP Tambang hasil relinguishment dari PKP2B.

"Kami melihat hal ini bertentangan dengan UU No 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menyatakan bahwa relinguishment PKP2B akan diprioritaskan untuk dilelang kepada BUMN dan BUMD," kata Rizal seperti dikutip dari mediaindonesia, akhir pekan lalu.

Setelah BUMN dan BUMD, kata Rizal, baru akan dilelang kepada swasta jika BUMN dan BUMD tidak berminat.

Menurut Rizal, ormas termasuk dalam golongan swasta yang harus memenuhi semua persyaratan. Tidak bisa langsung diberikan kepada ormas tanpa lelang. Dalam proses lelang ini, negara memiliki hak berupa PNBP dari KDI atau Kompensasi Data dan Informasi. "Jika tidak dilelang, tentu ada potensi kerugian negara dalam proses ini. Selain itu, ada potensi polemik dan kemungkinan akan diajukan judicial review oleh masyarakat terkait PP ini," cetusnya.

Senada, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menganggap keputusan memberikan IUP kepada ormas keagamaan adalah tidak tepat dan blunder.

Menurut Fahmy, ormas keagamaan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi komoditas pertambangan. Selain itu, dana yang diperlukan untuk investasi pertambangan juga tidak sedikit. "Saya perkirakan ormas mendapatkan IUP ini hanya akan berperan sebagai makelar atau broker yang akan dijual kepada pengusaha tambang lainnya saja," tukasnya.

Adapun, anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, tidak sependapat dengan niat pemerintah untuk membagi-bagikan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada ormas keagamaan, terutama jika diberikan secara prioritas tanpa melalui proses lelang. Baginya, hal ini jelas melanggar UU Minerba.

Mulyanto berpendapat daripada membagi-bagikan izin tambang, lebih masuk akal dan realistis jika pemerintah melakukan pembagian keuntungan (profit sharing) kepada ormas. "Menyusun badan usaha milik ormas, memberikan prioritas IUPK, lalu mencarikan kontraktor untuk pengusahaan tambang bagi ormas adalah campur tangan yang terlalu berlebihan, memaksakan diri, dan berisiko tinggi. Kami khawatir ini bisa menjadi 'jebakan batman' bagi ormas," ujar dia mengingatkan.

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Zaki Mubarok mengatakan, akan terus ada pro dan kontra pasca-izin tambang diberikan kepada ormas keagamaan.

Pro dan kontra juga akan terjadi dikalangan internal sendiri di mana sebagian dari pemuda-pemuda ormas ini masuk serta aktif di lembaga non-pemerintah di bidang lingkungan. "Memang terjadi pro dan kontra, tidak sedikit lapisan muda dari NU dan Muhammadiyah."

Oleh karena itu, lanjut Zaki, ormas terkait berkewajiban untuk melakukan dialog dengan elemen-elemen masyarakat sipil. Hal itu supaya pengelolaan tambang bisa akuntabel. Ia menegaskan, adapun hasil dialog itu nantinya harus mengedepankan pengelolaan akuntabel, tidak eksploitatif, jangan hanya mencari untung terlebih jangan sampai mengorbankan ekosistem setempat.

Lebih lanjut Zaki berharap masyarakat sipil perlu terus bersuara dan bersikap kritis terhadap semua kebijakan pemerintah. Apalagi ditemukan indikasi penyalahgunaan contohnya jika proyek izin tambang ini tidak berjalan dengan baik. Ia menyayangkan, selama dua periode kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo suara masyarakat sipil tidak cukup didengar.


(nnn)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.