Bukan HGU 190 Tahun, Investor Lebih Butuh Social Acceptance dalam Berbisnis di IKN
Peneliti Bisnis dan HAM Setara Institute, Nabhan Aiqani. (Foto: Istimewa) |
Oleh Nabhan Aiqani, Pebria Prakarsa Renta *)
Pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden No.75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai turunan atas revisi UU No.3/2022 tentang Ibu Kota Negara melalui penetapan UU No.21/2023 tentang Perubahan Atas UU No.3/2022 tentang Ibu Kota Negara. Perpres yang ditandatangani pada 11 Juli 2024 oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), mendapatkan sorotan perihal beleid Pasal 9 yang membuka peluang pemberian Hak Guna Usaha (HGU) hingga 190 tahun.
Kritik soal pemberian HGU hingga 190 tahun sebelumnya telah menjadi sorotan oleh masyarakat sipil yang dianggap bertentangan dengan semangat UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, bahkan melebihi hukum kolonial Agrarische Wet 1870 yang hanya memberi konsesi selama 75 tahun.
Pemberian HGU hingga 190 tahun dipandang tidak konstitusional dan tidak berpihak pada semangat reforma agraria dan hak atas tanah. Setara Institute memandang bahwa proses pemberian HGU dengan semangat untuk memikat investasi secara tidak sehat, berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM berkelanjutan. Apalagi integrasi prinsip bisnis dan HAM sama sekali tidak menjadi konsideran kebijakan-kebijakan terkait dengan IKN dan percepatan pembangunan IKN.
Sejauh pembacaan atas UU No.3/2022 tentang Ibu Kota Negara melalui penetapan UU No.21/2023 tentang Perubahan Atas UU No.3/ 2022 tentang Ibu Kota Negara, sama sekali tidak ditemukan klausul tentang pemenuhan aspek hak asasi manusia (HAM) oleh entitas bisnis dalam perjanjian investasi maupun perdagangan, di mana prinsip bisnis dan HAM saat ini telah menjadi rezim hukum internasional dan juga rezim pasar global. Ketiadaan adopsi prinsip ini menjadi salah satu hambatan bagai investor untuk terlibat dalam pembangunan IKN.
Prinsip bisnis dan HAM menekankan bahwa setiap kontrak investasi harus memastikan penghormatan perusahaan terhadap HAM. UN Working Group on Business and Human Rights merekomendasi kepada pemerintah untuk mempertimbangkan beberapa aspek meliputi penilaian dampak HAM sebelum menyelesaikan kontrak investasi, memasukkan klausul dalam kontrak investasi negara-perusahaan yang mengharuskan perusahaan menghormati HAM, dan menerapkan proses uji tuntas HAM (proses mengidentifikasi, mencegah, memitigasi, dan memperhitungkan cara perusahaan mengatasi dampak buruk HAM yang aktual dan potensial).
Belajar dari pengalaman Uni Eropa, melalui regulasi The 2012 ‘EU Strategic Framework and Action Plan on Human Rights and Democracy’ yang menekankan komitmen untuk memajukan perlindungan HAM dalam hubungan eksternal, termasuk kebijakan perdagangan, regulasi ini menyerukan tindakan untuk memasukkan HAM ke dalam penilaian dampak, terutama perjanjian perdagangan yang mempunyai dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang signifikan.
Dibanding dengan mengobral HGU, investor justru lebih membutuhkan kepastian prinsip HAM, keberlanjutan, dan antikorupsi dalam tata kelola investasi. Karena kepastian berbisnis bukan melulu pada aspek ketersediaan lahan, tetapi sangat ditentukan oleh aspek social acceptance atau penerimaan sosial yang mendukung operasionalisasi bisnis.
Jakarta, 17 Juli 2024
*) Peneliti Bisnis dan HAM Setara Institute
Post a Comment