MA Batalkan PKPU No 9/2020 Soal Batas Usia Cagub-Cawagub, Prof Gayus: Itu Solusi Hukum Adil
Mantan Hakim Agung Prof Gayus Lumbun. (Foto: istimewa)
JAKARTA -- Mantan Hakim Agung RI Prof Gayus Lumbuun kembali mengingatkan bahwa putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan PKPU No 9/2020 tentang Batasan Usia Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) adalah solusi hukum terhadap upaya menghadirkan keadilan dalam masyarakat yang tak tertampung dalam hukum atau perundang-undangan tertulis saat ini. Meski, sebagian masyarakat menilai keputusan itu sebagai putusan yang progresif, di sisi lain ada pula yang menganggap sebagai putusan yang destruktif.
“Saya berharap kita semua berada pada satu pemikiran sama bahwa baik putusan MK maupun putusan MA merupakan solusi hukum terhadap upaya menghadirkan keadilan dalam masyarakat yang tak tertampung dalam hukum atau peraturan perundang-undangan yang tertulis saat ini, yang harus menunggu perubahan atau revisi peraturannya,” ujar Prof Gayus dalam keterangan tertulisnya, Rabu (5/6/2024).
Menurut Prof Gayus, salah satu ciri pokok kekurangan dari hukum tertulis yaitu tertinggal dari dinamika kehidupan masyarakat. Bahkan ada yang berpendapat, dua hukum tertulis itu pada dasarnya sudah tertinggal dari kebutuhan masyarakat sejak pada hari ditetapkan atau diundangkannya.
Karena itu, lanjut Prof Gayus, kehadiran sistem Judicial Review baik terhadap undang-undang (UU) yang ada pada MK dan Judicial Review terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU yang menjadi kewenangan MA, merupakan solusi konstitusional terhadap kelemahan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dalam menghadapi dinamika kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
“Tujuannya adalah tidak lain hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada tak jadi penghalang dalam menciptakan keadilan saat ini dan ditunda di kemudian hari setelah atau menunggu proses revisi oleh pemerintah dan DPR yang biasanya menunggu waktu yang lama,” tegas mantan anggota Komisi III DPR RI tersebut.
Prof Gayus menilai, putusan MA di mana dalam pasal perubahan tertulis “Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon”, merupakan putusan yang progresif. Argumentasinya tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa peraturan KPU menempatkan persyaratan usia sebagai bagian dari persyaratan seseorang mendaftar sebagai calon.
“Persyaratan waktu pendaftaran sebagai calon 'mempersempit' atau menutup peluang dan kesempatan 'bagi penduduk' atau warga negara untuk terlibat atau berpartisipasi. Membatasi warga untuk terlibat dalam hak menjadi indikator dari regulasi yang kurang berkarakter demokratis. Konstitusi mesyaratkan usia dalam jabatan, bukan sebagai calon,” jelas Prof Gayus.
Prof Gayus mencontohkan untuk syarat usia yang diatur dalam UUD 1945 sebagaimana tercermin pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden sebagai jabatan, dan bukan mengatur perihal syarat calon presiden maupun syarat calon wakil presiden. Dalam konteks persyaratan cagub dan cawagub, maka persyaratan ketika pelantikan lebih mendekati norma yang diatur dalam konstitusi, serta lebih membuka ruang dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada warga negara sehingga bersifat demokratis, komprehensif, dan responsif.
Selain itu, lanjut Prof Gayus, progresif juga bermakna belajar dari kesalahan, melakukan evaluasi diri dan bangkit dari kegagalan.
Sedang mereka yang menganggap bahwa putusan MA bersifat destruktif seperti halnya disampaikan Mahfud MD, menurut Prof Gayus, lebih didasarkan pada suatu asumsi bahwa aturan tersebut hanya menguntungkan individu atau orang tertentu. Hal ini akan semakin kuat kalau dibaca secara politik praktis, kecurigaan untuk meloloskan orang tertentu, apalagi terhadap lawan politik, maka penilaian tersebut menjadi sangat subyektif dan konservatif.
“Pemikiran Bapak Mahfud MD yang mengatakan bahwa putusan MA tersebut sebagai hal yang destruktif adalah upaya yang menyesatkan publik sebagai kehendaknya sendiri yang berbeda dengan sifat progresifnya putusan MA,” kata Prof Gayus menegaskan.
Pengertian destruktif dapat diartikan pula sebagai sifat perilaku yang cenderung mengganggu kelancaran proses, tidak berfaedah mengarah kepada dasar pikiran negatif dan kepada suatu konflik atau pertentangan. Bagi Prof Gayus, putusan MA ini memberikan kesempatan lebih luas khususnya kaum muda yang layak untuk menjadi pemimpin daerah yang terkendala usia dengan batasan pada saat pendaftaran dan penetapan atau dilantik.
Adapun UU No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota pada Pasal 7 huruf e tidak mencantumkan batas sejak pendaftaran/penetapan ataupun dihitung sejak pelantikan, namun KPU RI melalui PKPU No 9/2020 Pasal 4 huruf d menetapkan batas usia calon sejak penetapan.
Menurut pandangan Prof Gayus, pemikiran tentang melawan sifat progresif adalah suatu sifat konservatif yang selalu mengkritik saingan untuk membuat alasan didasarkan kepada apa yang mereka anggap benar dan diinginkan yang ditopang oleh kumpulan sentimen dan tidak disertai dengan dogma ideologis.
“Jadi sekali lagi, putusan MA putusan yang komprehensif dan progresif untuk bangkit dari kegagalan, seperti kebebasan berdemokrasi yang baik sebagai kedaulatan rakyat dengan tak menyalahgunakannya sebagai alat berpolitik untuk kepentingan sesaat dengan perimbangan konsep nomokrasi, yaitu dengan mengatasinya melalui kedaulatan norma atau kedaulatan hukum yang dilakukan melalui Judicial Review demi kepentingan masyarakat banyak,” ujar Prof Gayus menegaskan.
(nnn)
Post a Comment