'Kutukan' Keberlimpahan Tambang Indonesia

Swary Utami Dewi. (Foto: Facebook Swary Utami Dewi)

Oleh Swary Utami Dewi *)

Kutukan sumber daya alam itu memang ada dan nyata. Paradoks antara keberlimpahan sumbar daya alam (SDA) Indonesia -- terutama sumber daya yang tidak terbarukan, seperti mineral -- versus kondisi keterpurukan dan berbagai kerugian lain akibat adanya keberlimpahan itu mencuat kembali.

Kutukan sumber daya alam sendiri merupakan tesis yang digaungkan oleh Richard Auty dalam bukunya Sustaining Development in Mineral Economies: the Resource Curse Thesis (1993). Auty memaparkan bagaimana negara-negara yang memiliki SDA yang berlimpah gagal memanfaatkan kekayaan alam untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dibandingkan negara-negara yang SDA-nya terbatas. Para ahli kemudian menggali lebih dalam isu ini untuk menelisik pengelolaan SDA di suatu tempat apakah menjadi berkah atau kutukan. Ini misalnya dilakukan oleh ekonom ternama, Jeffrey Sachs.

Di Indonesia, isu pengelolaan SDA bukan sesuatu yang baru. Banyak kritik terkait muncul, disertai berbagai upaya perbaikan oleh pemerintah yang sedang memegang amanah mengelola negara. Namun tak terelakkan, sering kali isu ini tenggelam tertutupi isu-isu baru yang muncul.

Sorotan terhadap kelola SDA mineral kini kembali mengemuka. Pemicunya, karena beberapa selebritas, yang sering menampilkan kekayaan super mewah di media sosial, diciduk insitusi penegakan hukum. Mereka terjerat kasus korupsi tambang timah, yang berpusat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Bukan main-main. Perkiraan kerugian negara, termasuk kerusakan lingkungan, diperkirakan sebesar Rp 271 triliun. Bisa jadi, inilah kasus korupsi terbesar yang (ketahuan) pernah terjadi di tanah air.

Bagaimana tentang tambang lainnya? Contoh yang sudah lama lekat di masyarakat adalah batubara. Di Kalimantan ada "haji-haji" terkenal yang kekayaannya juga bukan abal-abal. Nama para pengusaha batubara ini bisa dilacak di berbagai media, beserta tampilan harta mereka yang melimpah-ruah. Lalu ada pula contoh tambang lain, yang juga sedang naik daun, yakni nikel.

Itulah beberapa fenomena tambang, tepatnya tambang geologi di negeri ini. Adalah fakta bahwa Indonesia merupakan negeri yang kaya tambang. Bahkan sangat kaya. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun 2020, Indonesia menduduki peringkat ke-6 dunia untuk negara dengan kekayaan sumber daya geologi terbesar. 

Kekayaan sumber daya geologi tersebut mencakup berbagai jenis bahan galian, misalnya logam, non-logam, batuan dan batubara. Juga ada sumber daya energi besar yang dimiliki negeri ini seperti minyak bumi, gas alam, panas bumi dan uranium. Tak pelak, ini memang keberlimpahan.

Untuk timah, data World Population Review menunjukkan bahwa Indonesia merupakan penghasil timah terbesar kedua di dunia, setelah Cina. Selain itu, cadangan timah Indonesia juga yang terbesar kedua, sesudah Australia. Pada 2022, produksi Indonesia mencapai 74 ribu ton, sementara cadangan timah mencapai 800 ribu ton.

Untuk batubara, data dari Suara Pemerintah (2021) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan penghasil batubara terbesar ketiga di dunia, dengan produksi sebanyak 281,7 ton per tahun. Indonesia juga menempati peringkat kedua eksportir batubara di tingkat global. Batubara sendiri banyak ditemukan di Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.

Contoh ketiga adalah nikel. Nikel juga merupakan salah satu jenis tambang berharga di Indonesia. Menurut Databoks, pada 2023 Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Jumlahnya mencapai 21 juta metrik ton. Sedikitnya ada tujuh provinsi yang memiliki banyak tambang nikel berdasarkan jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP), yakni Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.

Sejatinya, dengan kekayaan tambang Indonesia yang luar biasa tersebut rakyat Indonesia sudah pasti hidup gemah ripah loh jinawi. Bagaimana faktanya? Apakah sudah banyak yang bisa menikmati kekayaan seperti para selebritis dan para haji batubara tadi? Perbandingannya bisa dilihat dari kondisi masyarakat yang berada di wilayah tambang-tambang tersebut.

Untuk timah, Kompas (1 April 2024) menulis bahwa korupsi tambang timah sebesar Rp 271 triliun tersebut adalah "puncak gunung es" dari praktik pertambangan timah, yang tidak memberikan manfaat untuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dituliskan pula bahwa praktik culas membuat "si emas putih" itu hanya memperkaya segelintir pihak dan meninggalkan kerusakan lingkungan serta fenomena anak putus sekolah. Meski ada data yang menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di wilayah ini relatif jauh lebih baik dibandingkan wilayah lain di Indonesia, ternyata fenomena kemiskinan masih banyak ditemui.

Batubara juga senada. Sebagai contoh, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada 2019 menyebutkan bahwa wilayah tambang batubara yang luas ternyata tak menjamin rendahnya tingkat kemiskinan dan pengangguran masyarakat sekitar. Bagaimana halnya nikel? Telah disebutkan bahwa ada tujuh provinsi yang memiliki banyak tambang nikel di Indonesia. Databoks menyebutkan bahwa hampir seluruh provinsi di pusat-pusat tambang nikel itu mengalami peningkatan persentase kemiskinan sepanjang September 2022 hingga Maret 2023. Hanya Papua dan Papua Barat yang sedikit (bukan drastis) mengalami penurunan tingkat kemiskinan pada periode tersebut.

Bagaimana bukan ironi yang menyesakkan dada. Jelas faktanya Indonesia kaya akan tambang. Jelas pula ada para "crazy-crazy" yang menjadi super kaya karena ekstraksi mineral-mineral ini. Tapi nyatanya, kemiskinan masih menjadi fenomena umum di wilayah-wilayah tambang. Hasil riset JATAM, misalnya, menunjuk pada 2019 sebanyak 80 persen dari seluruh wilayah tambang di Indonesia rentan mengalami kerawanan pangan. Kemiskinan pun terjadi di wilayah-wilayah itu.

Data dari World Inequality Report 2022 menunjukkan bahwa dalam dua dekade terakhir kesenjangan ekonomi di Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan. Laporan itu menyebutkan, dalam kurun waktu 2001-2021 sebanyak 50 persen penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5 persen kekayaan rumah tangga nasional (total household wealth). Selain itu juga disebutkan bahwa, "Sejak tahun 1999 tingkat kekayaan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan signifikan. Namun, pertumbuhan ini meninggalkan ketimpangan kekayaan yang hampir tidak berubah."  Bisa jadi salah kelola tambang berperan besar dalam menciptakan kesenjangan tersebut.

Selain itu, ada persoalan-persoalan lain yang tak kalah serius yang muncul karena kelola tambang yang ugal-ugalan, yakni korupsi, kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Berbagai ironi atau anomali ini memang menjadi bukti adanya "kutukan" dari keberlimpahan SDA di Indonesia. Alih-alih jadi anugerah, tambang negeri ini tampaknya lebih banyak jadi "penuai badai" karena salah kelola dan berbagai praktik buruk lainnya.

Lantas bagaimana? Apakah Indonesia tetap akan seperti ini? Apa.yang harus dilakukan? Apakah hilirisasi tambang bisa menjadi kunci penyelesaian masalah ini? Bagaimana membenahi tata kelola, yang berdampak efektif pada pemutusan praktik korupsi dan menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran seluruh rakyat -- dan bukan segelintir "crazy-crazy" saja? Juga, bagaimana memastikan agar pengelolaan tambang tidak menimbulkan dan meninggalkan konflik sosial serta kerusakan lingkungan pada negeri ini? Berani dan mampukah para pemimpin negeri melakukan berbagai terobosan tersebut? Pendek kata, mampukah kita mengubah keberlimpahan tambang dari kutukan menjadi anugerah?

5 April 2024

*) Penggiat Perkumpulan Penulis Nasional, Satu Pena, dan sekaligus Wakil Sekjen Satu Pena

 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.