Tanggapi Pernyataan Prabowo, Selamat Ginting: Demokrasi Asli Indonesia Sumbernya Semangat Kolektivisme
Presiden RI Terpilih Hasil Pilpres 2024 Prabowo Subianto. (Foto: setkab.go.id)
JAKARTA -- Pengamat politik Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting, mengatakan, demokrasi asli Indonesia sumbernya adalah semangat kolektivisme (kebersamaan). Sehingga pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mendapatkan mufakat, bukan pertentangan antara penguasa dengan oposisi atau penentang pemerintah yang berkuasa.
“Demokrasi Indonesia itu berbeda dengan demokrasi model Barat yang indiviualistis mengabaikan kebersamaan dan gotong royong,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu di Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Ginting menanggapi polemik dari pernyataan presiden terpilih hasil pilpres 2024 Prabowo Subianto. Prabowo meminta agar pihak yang tidak ingin diajak kerja sama, tidak mengganggu kerja-kerja pemerintahannya.
Prabowo akan mengajak semua pihak untuk bekerja sama di pemerintahannya. Hal itu diungkapkannya dalam acara Workshop Bimtek Anggota Legislatif tingkat Nasional dan Rakornas Pemenangan Pilkada Serentak 2024.
Prabowo menyebutkan tidak akan memaksa pihak yang tidak ingin diajak bekerja sama. “Indonesia tidak bisa dibendung. Kecuali elite Indonesia tidak bisa atau tidak mau kerja sama. Kuncinya itu,” kata Prabowo di Jakarta, baru-baru ini.
Menurut Ginting, sifat demokratis yang menjadi ciri kebersamaan yang diinginkan para pendiri bangsa Indonesia implementasinya dalam wujud saling bekerja sama, tolong menolong, saling bantu, gotong royong, dan sejenisnya. Bukan berjalan sendiri-sendiri atau perseorangan yang mengabaikan untuk saling bantu menyelesaikan masalah bangsa dan negara.
Sehingga, lanjut Ginting, demokrasi di Indonesia mengabaikan oposisi seperti demokrasi model Barat. Sekaligus mengedepankan harmoni untuk bersama-sama memelihara kohesi sosial agar tercapai kerukunan bangsa. Memang terasa aneh bagi kalangan yang mengacu pada demokrasi Barat.
“Oposisi atau beda pendapat dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat. Itu yang diinginkan para pendiri bangsa Indonesia ketika merumuskan demokrasi yang ideal untuk Indonesia yang multikultural, multiagama, multigolongan, dan banyak multi lainnya,” ujar Ginting.
Ginting mengemukakan, kebersamaan dalam membangun negara tetap harus menghormati perbedaan. Tetapi harus ada yang mengingatkan jika pemerintah keliru. Namun, mesti dilakukan dengan kritik yang tidak harus sampai melukai, bahkan sampai menimbulkan disintegrasi bangsa.
“Jadi itulah demokrasi ala Indonesia yang bersemangat kohesivisme dalam kekeluargaan yang penuh harmoni persatuan bangsa dan negara. Bukan demokrasi one person one vote model Barat,” pungkas Ginting.
(nnn)
Post a Comment