Hari Kebangkitan Nasional, Harinya Kaum 'Toxic'

MHR. Shikka Songge. (Foto: kahminasional.com)


Oleh MHR. Shikka Songge *)

Peringatan satu seperempat abad Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh pada 20 Mei 2024 diperingati hanya dengan narasi kosong. Hari yang sejatinya menjadi momentum penting bagi perjalanan bangsa, realitasnya hanyalah sebuah peringatan tanpa makna hakiki dari makna kebangkitan itu sendiri.

Sebab kita memperingati hari kebangkitan nasional kali ini tanpa dasar Pancasila sebagai azas pijak, dan tanpa konstitusi yang bernafaskan Pancasila. Akhirnya kitapun tidak tahu akan ke mana para pemimpin membawa negeri ini, setelah hilangnya persenyawaan antara Pancasila dan UUD 1945.

Pada hari kebangkitan kita menyaksikan berbagai tragedi busuk di negeri ini yang sungguh memilukan. Kita dihadapkan pada realitas kenegaraan dan kebangsaan yang paradoks.

Lembaga Negara seperti KPU, MK, DPR, KPK, Kepolisian RI, dan berbagai lembaga negara lainnya tidak lagi bekerja untuk mewujudkan tujuan bernegara, yaitu mewujudkan kesejahteraan yang merata dan mencerdaskan rakyat, melainkan bertekuk lutut menjadi alat pemilik modal mengendalikan arah perjalanan negara.

Tak terbantahkan, negara di bawah kendali para oligari! Secara empiris (kasat mata) partai politik tidak lagi berperan untuk melakukan edukasi politik kebangsaan yang ber-integrity dan ber-identity. Namun parpol melakukan skandal buruk, yakni bersekongkol dan berkolusi dengan para oligar, pemilik modal lalu menodai demokrasi, mengkadali hak politik rakyat, serta mencurangi pemilu dengan berbagai aksi kotor yang meninggalkan bekas noda hitam.

Pemilu 2024 melahirkan pemimpin yang memiliki cacat moral, cacat mental, dan cacat intelektual, tanpa integrity bagi bangsa dan negara. Pemimpin produk persekongkolan mesin kekuasaan tidak membawa kebanggaan, dignity, legacy apalagi keberkahan bagi bangsa. Para pemimpin parpol juga bersekutu untuk melegalkan kekuasaan kapitalisme yang mengatur tata kelola bernegara.

Mereka justru mengiyakan perpindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Paser Penajam, Kalimantan Timur. Padahal Jakarta adalah sejatinya ibu kandung dari semua peristiwa besar yang melekatkan Indonesia Raya berjaya di jagatraya angkasa.

Di Jakarta, lahirnya Gerakan Kebangkitan Indonesia 1908, Sumpah Pemuda 1928, deklarasi Indonesia merdeka (Proklamasi) 18 Agustus 1945, merah putih berkibar, lagu Indonesia dikumandangkan, tempat penandatanganan teks asli Pancasila, Naskah Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh 22 Juni 1945.

Perpindahan itu secara ekonomi, hanyalah kebutuhan syahwat kaum kapitalis untuk memperkaya diri agar secara khusus mengolah sumber daya alam (SDA) dalam perut di Pulau Berneo. Sedangkan secara ideologis, perpindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta adalah sesungguhnya untuk memutus mata rantai sejarah Indonesia dengan gerakan dan peran politik umat Islam dalam pembentukan berdirinya Indonesia sebagai negara merdeka.

Bahkan secara aklamasi mereka mendiamkan, alias dengan sadar menggelar karpet merah bagi kaum kapitalis para investor menguasai tanah, bumi, air, hutan, laut, dan pasir untuk dikeruk dan rampok, kemudian menggusur rakyat dari tempat yang sudah dihuni sejak berabad-abad.

Mereka juga membiarkan Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan tanpa manfaat bagi rakyat kecuali utang dan beban bagi rakyat. Mereka grusah-grusuh untuk mengimpor kebutuhan pokok, tapi dengan jahat membiarkan produksi pertanian dalam negeri telantar, tidak diurus, hingga para petani menjadi miskin. Mereka membiarkan Pantai Indah Kapuk (PIK), pemukiman para cukong berduit menjadi salah satu PSN dan menyeroboti tanah rakyat dengan leluasa.

Mereka membiarkan para sardadu berpakaian seragam lengkap dengan senjata yang dibeli dengan uang rakyat, mengawal perampokan tanah rakyat. Harta benda rakyat direbut paksa oleh penguasa asing dan aseng tanpa bisa melakukan perlawanan.

Semua tambang seperti emas, nikel, timah, besi, batu bara, sawit, pasir dikelola oleh predator asing di balik bendera-bendera perusahaan kakap, sementara rakyat hanya menjadi kuli kasar. Ironisnya hasil tambang yang megah berlimpah itu tidak memberi manfaat ekonomis bagi rakyat.

Pada saat yang sama UKT (uang kuliah tunggal) dan biaya kuliah lainnya, biaya kesehatan, serta biaya kehidupan sosial terus merangkak naik, sementara para orang tua tak punya uang untuk memenuhi itu semua. Pertanyaan di mana letak kebangkitan nasional itu, sedangkan yang menikmati hanyalah segelintir orang di tengah penderitaan rakyat yang telah berjasa besar menghantarkan mereka ke puncak kekuasaan dan kekayaan?

Sungguh kontrakdiktif karena peristiwa 20 Mei 1908 sebagai langkah sejarah terpenting menuju bangsa yang merdeka dari para penjajah, berdaulat, dan bermartabat.

Kini, satu seperempat abad berlalu, peristiwa bersejarah yang sangat penting bagi bangsa Indonesia itu seharusnya menjadi tonggak peringatan bagi segenap bangsa Indonesia, bukan harinya milik kaum 'toxic', yakni pengkhianat, mereka bagai virus yang menyebarkan racun berbahaya yang merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Mereka meruntuhkan kedaulatan negara, menginjak injak kehormatan ibu pertiwi, dan menghancurkan martabat rakyatnya sendiri.

Adakah yang bisa menyangkal? Di mana akal sehatmu dan hati nuranimu wahai pimpinan partai politik, anggota parlemen Indonesia, petinggi negara, penyelenggara roda pemerintahan?



Ciputat, 22 Mei 2024

*) Aktivis, Peneliti Politik dan Sosial Keagamaan CIDES, Wasekjen Bidang Kaderisasi MN KAHMI 2022-2027, Instruktur Nasional NDP HMI.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.