Skandal Moral Jokowi untuk Menangkan Prabowo-Gibran Diungkap Jelang Pilpres 2024

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). (Foto: setkab.go.id)

JAKARTA -- Perkembangan dan dinamika politik dalam negeri, secara khusus menjelang Pemilu 2024, sedang dihantui problem etika dan moral. Pelemahan demokrasi terkesan dilakukan secara terencana terutama oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

"Pelanggaran hukum dan konsititusi Presiden Jokowi itu tak terhitung jumlahnya. Ini krisis etika dan moral, dimulai dari puncak tertinggi, dimulai dari Jokowi yang meloloskan anaknya jadi cawapres lewat MK. Akibatnya, seperti guru kencing berdiri, murid kencing berlari, akan brutal lagi muridnya. Jokowi beri contoh buruk, pasti di bawahnya akan meniru bahkan lebih buruk lagi," ujar Direktur Negarawan Center, Johan O Silalahi, dalam Webinar Nasional Moya Instutute dan Nusantara 2045 dengan tema "Pilpres Indonesia: Di Tengah Kemelut Etika dan Hukum?", Jumat (9/2/2024).

Johan lantas memberikan contoh terbaru skandal moral yang mengarah ke Jokowi lewat podcast CNN yang menampilkan kesaksian Andi Widjajanto yang ditayangkan Jumat (9/2/2024). Andi adalah mantan Gubernur Lemhannas. Ia dikenal sebagai "orang Jokowi" sejak lama.

Andi pernah menjadi Deputi Tim Transisi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JK) setelah Pilpres 2014. Andi juga pernah menjabat Sekretaris Kabinet.

"Andi dkk dipanggil Jokowi yang menyatakan, pertama, declare pasangan Prabowo-Gibran akan memenangkan Pilpres 2024 tanggal 14 Februari 2024. Jokowi panggil Andi dua hari sebelum deklarasi Prabowo-Gibran," jelas Johan.

Kedua, lanjut Johan, kepada Andi dkk, Jokowi menyatakan bahwa Partai PSI akan lolos ke DPR RI. "Ini presiden apa ahli nujum, berarti Jokowi sudah bersiap melakukan kecurangan, partai kecil partai baru bisa lolos ke DPR, apalagi kini bujet iklannya terbesar di bawah PDIP."

Ketiga, sambung Johan, Jokowi menyatakan pada Andi bahwa suara PDIP akan turun di DPR. "Ini Jokowi sudah seperti ahli nujum bukan negarawan," cetusnya.

Ditambah lagi, kata Johan, Jokowi pernah sesumbar. "Jika kalian bisa mengalahkan saya, kalian hebat, kata Jokowi. Bagaimmana Jokowi yang dikasih amanah UU akan bisa menghasilkan pilpres yang jurdil," tegas dia.
 
Menurut Johan, boleh dibilang ini saat ini sudah kemunduran total dari sisi kenegarawan, krisis moral, dan etika.

Johan khawatir krisis ini terbawa terus hingga Pilpres 2024. Apalagi KPU RI bertanggung jawab langsung pada presiden.

"KPU hanya pelaksana, ini yang harus kita sorot, salah satu fenomena kemunduran moral, dulu kita ingat di periode pertama sering digaungkan di tingkat elite, dalam bernegara ini semua bisa diubah, kecuali kitab suci agama," ujar Johan menjelaskan. "Jadi apapun bisa ditabrak, seperti pepatah guru kencing berdiri maka aparatur negara, semua kencing berlari, ini dilema di tengah krisis etika, moral, dan hukum di Indonesia."

Johan menggarisbawahi DKPP sebelumnya sudah memberi sanksi seluruh komisioner KPU melakukan kesalahan fatal karena menerima pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto dan itu harus ditarik lagi pada Jokowi.

Dalam kesempatan yang sama, mantan Dubes RI untuk Tunisia sekaligus ilmuwan politik, Prof Dubes Ikrar Nusa Bhakti, menyatakan, demokrasi di Indonesia memang sedang sakit karena pemilu tidak akan ada persoalan andai Presiden Jokowi tak mengajukan putranya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi cawapres.

"Sebetulnya tak menjadi masalah kalau mantan presiden, tapi kalau presiden berkuasa mengajukan anaknya yang tak penuhi syarat untuk maju, itulah yang menjadi problem besar. Akhirnya presiden tabrak konstitusi dan aturan hukum agar anaknya jadi cawapres," jelas Ikrar.

Menurut Ikrar, contoh kasus Gibran berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, MK tak punya otoritas mengubah pasal dalam UU Pemilu karena yang diajukan tuntutan tersebut pada intinya sama perubahan pasal batas usia capres-cawapres untuk meloloskan Gibran. "Kenapa tuntutan sebelumnya ditolak tapi tuntutan No 90 diterima, itulah awal kekisruhan politik di Indonesia," tegas dia.

Ikrar lantas mempertanyakan apakah Pilpres 2024 sah atau tidak karena nantinya itu masih menjadi persoalan. Apalagi persoalan etika ini diajukan oleh mereka-mereka yang tahu hukum tata negara, melanggar etika dan hukum, namun MKMK hanya memberi sanksi pelanggaran berat etis. "Padahal itu otomatis melanggar hukum karena ini terkait dasar putusan itu sendiri," jelasnya.

Ikrar menambahkan, begitu keputusan MK keluar 13 Oktober 2024 seharusnya KPU mengubah apa yang disebut PKPU. Namun ternyata KPU hanya membuat surat ederan putusan MK yang harus diikuti.

"Padahal bila ada persoalan genting, seharusnya DPR datang dan melaksanakan sidang karena masa reses bukan alasan, apa yang dilakukan presiden dan menteri, bansos, intimidasi civitas akademika, suruh bilang presiden bagus, seolah guru besar itu robot untuk menjalankan skenario etikad yang kurang baik untuk negeri ini," jelas Ikrar. "Mengapa Pak Jokowi diingatkan almamaternya, UGM, dan lalu kampus-kampus lain karena ia seharusnya tak mengajukan anaknya ketika masih menjadi presiden, apalagi setiap langkah Jokowi seakan untuk memenangkan anaknya."

(eye)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.