Simak Webinar Nasional Terbaru Moya Institute, Pilpres: Di Tengah Kemelut Etika dan Hukum?
JAKARTA -- Tidak diragukan lagi bahwa perkembangan dan dinamika politik dalam negeri saat ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang tidak dalam kondisi yang baik-baik saja.
Dimulai dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan pada kisaran lima persen, di bawah target APBN, disertai dengan permasalahan lain yang krusial, yaitu kondisi demokrasi nasional yang "sakit".
Telah menjadi rahasia umum bahwa pelemahan demokrasi seolah dilakukan secara terencana oleh para elite politik yang berkuasa. Penilaian tersebut datang dari berbagai sumber yang kredibel, baik dari luar maupun dalam negeri.
Keprihatinan yang diutarakan para guru besar, profesor, dan dosen, lebih dari 40 universitas terkemuka di seluruh Nusantara bukan tanpa alasan dan merupakan indikator kuat bahwa Indonesia sedang terperangkap dalam demokrasi yang semu. Yang paling memprihatinkan adalah adanya intervensi Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dalam Pilpres, dengan memberikan dukungan terhadap pasangan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka.
Sebagai pengawal konstitusi dan undang-undang terkait dengan penyelenggaraan pilpres-pemilu, intervensi tersebut berpotensi merusak tatanan demokrasi Indonesia.
Sikap Presiden Joko Widodo juga menimbulkan kekhawatiran bahwa hasil pilpres/pemilu, walaupun secara legal formal dianggap sah, tidak dapat dimungkiri akan memunculkan pemerintahan baru yang memiliki kredibilitas rendah.
Survei Kompas awal tahun 2024 menegaskan adanya kebutuhan mendesak akan etika politik yang kuat. Sebagian besar warga negara (96%) menuntut agar etika diprioritaskan, sebuah refleksi yang mendalam atas nilai-nilai demokrasi.
Pernyataan Presiden Jokowi yang membolehkan presiden dan menteri untuk berkampanye — dengan syarat tidak menggunakan aset negara — dipandang bertentangan dengan etika dan undang-undang pemilu, terutama asas keadilan sehingga mengundang gelombang perlawanan yang signifikan.
Penerapan etika yang rendah juga tercermin dalam proses pencalonan wakil presiden Gibran Rakabuming Raka (anak Presiden Jokowi) serta pendaftaran pasangan Prabowo-Gibran di KPU, terbukti dengan pencopotan Ketua MK Anwar Usman (paman Gibran) dan Ketua KPU, yang dijatuhi hukuman peringatan keras karena menerima pendaftaran pasangan Prabowo-Gibran, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR.
Filsuf politik dunia, seperti John Rawls, telah lama menyoroti pentingnya netralitas dan etika penyelenggara negara dalam pengambilan keputusan publik. Argumentasi Rawls sangat relevan dengan perkembangan dan dinamika politik dalam negeri Indonesia saat ini.
Untuk membahas dugaan praktik-praktik yang bertentangan dengan prinsip "good governance", etika, dan undang-undang tersebut, Moya Institute bersama Nusantara 2045 kembali menginisiasi sebuah diskusi publik dalam bentuk webinar nasional dengan tema: "Demokrasi Indonesia: Terbajak oleh Etika dan Hukum?", pada Jumat, 9 Februari 2024, pukul 16.00-18.00 WIB.
Webinar Nasional ini akan menghadirkan sejumlah tokoh yang kompeten, yaitu:
Narasumber:
Prof Dubes Ikrar Nusa Bhakti (Mantan Dubes RI untuk Tunisia/Ilmuwan Politik);
Johan O Silalahi (Direktur Negarawan Center);
KH Marsudi Syuhud (Wakil Ketua Umum MUI)
Penanggap:
Sirojudin Abbas Ph.D. (Direktur Eksekutif SMRC)
Pemantik:
Hery Sucipto (Direktur Eksekutif Moya Institute)
Moderator:
Kenia Gusnaeni
Link Zoom: https://s.id/21Bvx
Link YouTube: https://s.id/21BvB
Post a Comment