Langkah Jokowi Timbulkan Risiko Hasil Pilpres 2024 tak Diterima Rakyat
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas. (Foto: saifulmujani.com)
JAKARTA -- Pelemahan demokrasi seolah dilakukan secara terencana oleh para elite politik yang berkuasa, khususnya oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Penilaian tersebut datang dari berbagai sumber yang kredibel, baik dari luar maupun dalam negeri.
"Saya sepakat saat ini ada problem etika di negara kita secara khusus di Pemilu 2024, terutama sejak adanya putusan MK yang meloloskan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres untuk capres Prabowo Subianto," ujar Direktur Eksekutif SMRC, Sirojudin Abbas Ph.D, dalam Webinar Nasional Moya Instutute dan Nusantara 2045 dengan tema "Pilpres Indonesia: Di Tengah Kemelut Etika dan Hukum?", Jumat (9/2/2024).
Melihat kondisi demokrasi Indonesia saat ini, Sirojudin menjadi ingat kalimat filsuf Albert Camus (1913-1960). Camus mengatakan, seseorang tanpa etika itu sama saja seperti melepaskan binatang buas ke dunia.
"Kita lihat kini keputusan penguasa tak mengindahkan etika, seperti lepas binatang buas. Saya sangat khawatir, pelanggaran etik MK, lalu putusan KPU, lalu ini disetujui presiden, maka kita sebetulnya sedang melepaskan binatang buas untuk memangsa bangsa sendiri," jelas Sirojudin.
Sirojudin menambahkan jika itu dilakukan, maka yang terjadi adalah kekacauan, kebinasaan, dan kerusakan luar biasa. "Oleh karena itu, kalau kita belajar dari Camus, kita bisa prediksi risiko paling buruk, itu memunculkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan rakyat, tentu saja presiden bisa keluarkan dekrit bahwa pemilu itu sah, tapi bagaimana mungkin Jokowi dan MK nanti memuaskan masyarakat yang dari awal sudah melihat kecurangan dan pelanggaran etika yang dilakukan berturut turut?"
Menurut Sirojudin, ada risiko hasil pemilu tidak diterima masyarakat dalam waktu atau tempo yang sulit diprediksi. "Itulah wujud binatang buas yang merusak tatanan kehidupan msyarakat kini," tegas dia.
Secara sosial, lanjut Sirojudin, problem ini masih ada di tataran elite. Gerakan guru besar di universitas-universitas akhir-akhir ini menjadi bukti semacam ada konsensus di kaum terdidik atau cendekiawan bahwa Indonesia dalam bahaya karena Jokowi melanggar konstitusi dengan mengusung putranya sebagai cawapres.
"Tapi struktur masyarakat kita mayoritas pendidikan bawah sehingga isu-isu etika belum bisa mencapai pemahaman dan awareness publik secara luas," jelas Sirojudin.
Sirojudin menambahkan, masyarakat terbuai kebaikan Presiden Jokowi lewat bansos, mayoritas masyarakat pun masih puas dengan kinerja Jokowi, sehingga belum sampai pada awareness tinggi soal problem etika.
Jika kalangan menengah berusaha keras, lanjut Sirojudin, masyarakat luas akan turut. Karena itu tugas cendekiawan menyeruakan keras dan rutin tanpa bosan agar masyarakat tahu ada problem lebih luas. "Jika kritik tercapai, saya yakin masyarakat akan bangkit mengoreksi dan melakukan perubahan, itu yang kita pelajari dalam perubahan seperti tahun 1965 atau 1998. Gelombang perubahan bisa terjadi, tapi terpenting cendekiawan melihat ada masalah demokrasi di Indonesia," jelas dia.
Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, menyatakan, pelaksanaan pemilu yang jurdil dan luber bakal menyelamatkan demokrasi Indonesia. "Ormas, cendekiawan, dan mahasiswa juga sudah turun, kita berharap penyelenggaraan pemilu lancar, meski ada hiruk pikuk," jelasnya.
Menurut Hery, keprihatinan dan kegalauan mengetuk nurani civitas akademika yang turun bergerak dengan gerakan moral. Lebih dari 100 kampus menyampaikan maklumat, menyerukan agar Presiden Jokowi bersikap netral karena disinyalir mendukung paslon tertentu.
Keprihatinan yang diutarakan para guru besar, profesor, dan dosen, lebih dari 40 universitas terkemuka di seluruh Nusantara bukan tanpa alasan dan merupakan indikator kuat bahwa Indonesia sedang terperangkap dalam demokrasi yang semu. "Yang paling memprihatinkan adalah adanya intervensi Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dalam Pilpres, dengan kesan memberikan dukungan terhadap pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka," jelas dia.
Sebagai pengawal konstitusi dan undang-undang terkait dengan penyelenggaraan pilpres-pemilu, sambung Hery, intervensi tersebut berpotensi merusak tatanan demokrasi Indonesia.
"Sikap Presiden Joko Widodo juga menimbulkan kekhawatiran bahwa hasil pilpres/pemilu, walaupun secara legal formal dianggap sah, tidak dapat dimungkiri akan memunculkan pemerintahan baru yang memiliki kredibilitas rendah. Percayalah suara rakyat adalah suara tuhan, ditentukan nanti pada 14 Februari," tegas Hery.
Di kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum MUI, KH Marsudi Syuhud, mengatakan, pegangan berbangsa dan bernegara adalah hukum, jika tidak, maka akan kocar-kacir semrawut. "Yang buat kocar kacir hukum dipisahkan dari ahklak," jelasnya.
Marsudi menggarisbawahi, mengingatkan pemimpin menjadi kewajiban seorang Muslim, sedangkan pemimpin berkewajiban mendengarkan kritikan rakyat. "Di sisi lain masyarakat jangan ditakut-takutin saat sampaikan kritik."
"Contoh Sayyidina Umar, setelah dipilih jadi pemimpinan beliau pidato dia buka ruang untuk dikritik. Beliau menyampaikan 'wahai manusia sungguh aku ini telah didaulat sebagai pemimpin, tapi aku bukan manusia terbaik, jika aku berbuat buruk tak sesuai aturan, etika, UU, maka luruskan aku, kejujuran adalah amanah, dusta adalah pengkhianatan'. Ini hal hal sangat fundamental," kata Marsudi menegaskan.
Menurut Marsudi, sudah disepakati bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam Islam, berbangsa dan bernegara bisa berjalan jika empat hal bisa dipastikan. Pertama, negara, bangsa, dan pemerintahan ini diatur dengan cara musyawarah. Kedua, harus menjunjung kemaslahatan pribadi atau individu. "Pemerintah harus bisa menyatukan dua kemaslahatan, umum dan individu-individu, individu harus dikasih ruang saat memilih pemimpin."
Ketiga, memilih presiden atau pemimpin hukumnya wajib. "Ini masalah fardiyah, ini masalah pemerintahan, negara harus hadir, kalo jadi presiden tujuannya harus untuk kemaslahatan," cetus Marsudi.
Kempat, bagaimana bangsa Indonesia yang berbeda-beda mampu bersama-sama tolong menolong dan gotong royong agar memastikan pemilu berjalan dengan baik. "Jangan sampai kita menyerahkan atau tidak mau ikut-ikutan soal pilih pemimpin. Kita harus awasi, meyakini pemilu ini berjalan dengan baik, itu bukan hanya kewajiban umat Islam tapi seluruh warga Indonesia," katanya menegaskan.
(eye)
Post a Comment