Dari Putusan DKPP, Gibran Layak Didiskualifikasi dari Pilpres 2024
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Perekat Nusantara, Petrus Selestinus. (foto: tvonenews.com)
JAKARTA -- Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) No. 135-136-137-141-PKE-DKPP/XII/2023, tanggal 5 Februari 2024 yang amarnya menyatakan teradu Hasyim Asy'ari (Ketua KPU RI), Yulianto Sudrajat, Agus Mellaz, Betty Epsillon Idroos, Persadaan Harahap, Idham Holik dan Mochammad Afifuddin, (semuanya anggota KPU), terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, berimplikasi hukum kepada tidak sah dan/atau batal demi hukum status Pencapresan Prabowo Subianto (PS)-Gibran Rakabuming Raka (GRR) dalam Pilpres 2024.
Alasan Majelis DKPP dalam putusannya itu adalah karena berdasarkan penilaian atas fakta dalam persidangan yang diperoleh dari keterangan para pengadu, saksi, pihak terkait, keterangan ahli, bukti-bukti dokumen dan jawaban teradu Hasyim Asy'ari (Ketua KPU), Yulianto Sudrajat, Agus Mellaz, Betty Epsillon Idroos, Persadaan Harahap, Idham Holik dan Mochammad Afifuddin, (anggota KPU), maka DKPP menyatakan Hasyim Asy'ari dkk terbukti melakukan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.
Karena itu, DKPP dalam pertimbangan dan kesimpulannya memutuskan dengan Putusan DKPP yaitu menjatuhkan sanksi adminsitratif berupa peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy'ari, sedangkan Komisoner KPU lainnya dijatuhkan sanksi adminsitratif berupa peringatan keras.
Keputusan Progesif
Dengan Putusan DKPP No. 135-136-137-141-PKE-DKPP/XII/2023, menurut Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) & Perekat Nusantara, Petrus Selestinus, Senin (5/2/2024), secara moral legitimasi KPU telah mengalami kehancuran di mata publik dan untuk mengembalikan legitimasinya itu, maka KPU tidak punya pilihan lain selain harus berjiwa besar "mendeclare" sebuah Keputusan Progresif berupa:
Pertama, mendiskualifikasi pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto (PS)-Gibran Rakabuming Raka (GRR) sebagai Peserta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024.
Kedua, memerintahkan Partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) mengajukan calon pengganti capres-cawapres atau Pemilihan Presiden 2024 tanpa Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka karena berbagai pelanggaran etik, hukum, dan konstitusi termasuk merujuk kepada Putusan No.99/PUU-XXI/2023, tanggal 16/10/2023 dan Putusan MKMK No. 2/MKMK/L/ ARLTP/10/2023, tanggal 7/11/2023.
Ketiga, menunda penyelenggaran pemilu dalam waktu 2 x 14 hari terhitung sejak tanggal 14/2/2024 agar Partai KIM mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden pengganti, akibat diskualifikasi terhadap capres PS dan cawapres GRR.
Tidak Layak Cawapres
Menurut Petrus, pendiskualifikasian oleh KPU RI karena putusan DKPP menempatkan GRR menjadi cawapres yang dalam memperoleh tiket cawapres dari KPU melalui perbuatan melanggar hukum dan melanggar etika sehingga tidak layak, tidak pantas, dan tidak sepatutnya menjadi Cawapres 2024 mendampingi Prabowo Subianto.
Alasan hukumnya sangat kuat karena Keputusan KPU menetapkan GRR sebagai cawapres bertentangan dengan Etika dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, yang menurut UU No 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan sebagai Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pejabat Pemerintah karena melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan.
Putusan DKPP ini harus dikawal pelaksanaannya agar bermanfaat bagi perbaikan terhadap prinsip demokrasi, kedaulatan rakyat, dan konstitusi yang dilanggar sejak nepotisme dibangun Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) serta dengan memperhatikan opini publik yang berkembang terutama suara para civitas akademica lintas perguruan tinggi negeri dan swasta sebagai representasi para intelektual, cendekiawan, dan ilmuwan Indonesia yang netral dan prihatin akibat daya rusak yang ditimbulkan oleh dinasti politik dan nepotisme yang merusak partai politik, demokrasi, kedaulatan rakyat, dan konstitusi.
Kawal Putusan DKPP
Oleh karena itu, lanjut Petrus, Putusan DKPP No.135-136-137 dan No. 141--PKE-DKPP/XII/ 2023, tanggal 5/2/2024 dimaksud, harus dikawal pelaksanannya oleh rakyat, karena KPU RI patut diduga berada dalam cengkraman dan kendali Kekuasaan Dinasti Politik dan Nepotisme Jokowi, sehingga berhasil mengubah orientasi politik Komisoner KPU bahkan seluruh ASN menuju sikap politik monoloyalitas pada kepentingan Dinasti Politik dan Nepotisme Jokowi.
Per hari hari ini, sambung Petrus, kekuatan civitas akademica lintas kampus semakin hari berkembang dan bertambah terus, sebagai kekuatan representasi kaum cendekiawan, intelektual, dan ilmuwan seluruh Indonesia yang dalam posisi netral semakin mengkristal mendesak Pemerintah Cq. Presiden Jokowi mengakhiri aksi dinasti politik dan nepotisme dan kembali ke jalan yang benar.
"Ini adalah kekuatan riil yang bergerak atas dasar rasa tanggung jawab moral, etika, dan hukum demi menyelamatkan Indonesia dari bahaya laten Dinasti Politik dan Nepotisme Jokowi yang saat ini berkembang dan berdaya rusak tinggi," kata Petrus menegaskan.
(eye)
Post a Comment