Sirojudin Abbas: Politik Dinasti Menghambat Ekonomi Inklusif Indonesia

Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas. (Foto: saifulmujani.com)

JAKARTA -- Model politik eksklusif, contohnya yang dilakukan melalui politik dinasti, dapat menghambat pencapaian tujuan pembangunan ekonomi nasional.

Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas mengatakan, penurunan kualitas demokrasi saat ini diperlihatkan melalui menguatnya nepotisme yang terlihat dari keterlibatan keluarga Presiden Jokowi di berbagai posisi penting pemerintahan.

“Sistem politik yang eksklusif ini tidak memberi ruang untuk kepercayaan dan kompetisi yang terbuka serta adil bagi semua warga negara,” ujar Sirojudin dalam webinar nasional yang diselenggarakan oleh Moya Institute dengan tema “Demokrasi Indonesia: Terjerembab ke Dalam Dinasti Politik”, pada Jumat, (26/1/2024).

Menurut Sirojudin, yang dominan saat ini adalah ekonomi ekstraktif yang dikelola oleh klien atau kroni politik. Sebagai contoh, meskipun Presiden Jokowi menekankan pentingnya industrialisasi, kebijakan impor beras yang besar-besaran dianggap sebagai indikator kegagalan pemerintah dalam mengembangkan sektor pertanian.

"Kritik ini semakin diperkuat oleh kenyataan bahwa output ekonomi Indonesia yang dijual ke luar negeri lebih banyak berasal dari industri ekstraktif dengan para pemain yang terbatas, ketimbang dari industri yang melibatkan sumber daya manusia secara masif," jelas Sirojudin.

Direktur Negarawan Center Johan Silalahi mengatakan bahwa kritik terhadap praktik politik dinasti oleh Jokowi dan keluarganya, serta koalisinya dengan Ketum Gerindra Prabowo, mengkhawatirkan masa depan demokrasi dan ekonomi Indonesia. Hal ini memunculkan risiko besar terhadap integritas politik dan keadilan sosial di Indonesia.

Menurut Johan, bergabungnya Prabowo ke dalam pemerintahan pada awalnya dianggap untuk kepentingan persatuan bangsa. Namun, koalisi tersebut kini justru dipandang sebagai strategi untuk memperkuat kekuasaan politik. "Liputan dari Majalah Tempo menyoroti keterlibatan langsung Presiden Jokowi dan keluarganya dalam skandal yang melibatkan Ketua MK, menunjukkan ada kepentingan besar di balik aksi ini," ujar dia.

Merujuk pada pandangan mengenai negara gagal yang digambarkan oleh ekonom Daron Acemoglu dan ilmuwan politik James A. Robinson, Johan mengatakan bahwa demokrasi adalah indikator untuk menjadi negara maju. Ini karena keterbukaan dalam negara demokrasi mencakup keterbukaan dalam bidang ekonomi.

Amburadulnya Pemerintahan Jokowi pada periode kedua, menurut Johan, merupakan ancaman bagi perekonomian.

"Dalam pandangan mengenai negara gagal, semakin otoriter pemerintahan, maka akan semakin miskin dan suram masa depan negara itu. Indonesia sudah lampu kuning. Makanya situasi kita sedang tidak baik-baik saja. Demokrasi sudah terancam, dipicu oleh skandal MK," ujar Johan.

Menutup paparannya, Johan meminta para pemilih untuk memilih capres-cawapres yang punya jejak rekam "governance", yang baik yang secara obyektif terpantau ada di Paslon 3 Ganjar-Mahfud, mengingat Paslon 2 Prabowo-Gibran penuh dengan catatan kelam masa lalu dan rekrutmennya juga cacat etik. Pilihan yang tepat akan menjamin masa depan demokrasi dan ekonomi Indonesia yang lebih cerah.

 

(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.