Simak Webinar Nasional Moya Institute Terbaru, Demokrasi Indonesia: Terjerembab dalam Dinasti Politik?
JAKARTA -- Politik dinasti telah menjadi isu yang mendominasi diskursus publik saat ini dan dinarasikan akan merusak demokrasi yang telah direbut dengan tetesan darah dan air mata oleh Generasi Reformasi pada tahun 1998 silam.
Praktik untuk mempertahankan kekuasaan dalam lingkaran keluarga atau kerabat dekat untuk menguasai kehidupan berbangsa dan bernegara memang berpotensi besar menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan demokrasi dan stabilitas politik Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Indonesia Emas 2045 berpotensi berubah menjadi Indonesia Cemas 2045, ketika NKRI akan mencapai usia 100 tahun.
Tudingan tersebut memang bukan tanpa alasan. Tidak hanya publik dalam negeri, dunia internasional juga mendeteksi munculnya dinasti politik tersebut, yang mengancam perkembangan demokrasi di Indonesia. Manuver di Mahkamah Konstitusi (MK), yang memungkinkan putra sulung Presiden RI Joko Widodo, Gibran Rakabumi Raka, menjadi calon wakil presiden, mendampingi Prabowo Subianto, dipandang para pakar sebagai indikator kuatnya.
Indikator kuat lainnya adalah menjadikan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia, dalam hitungan hari. Banyak kalangan mempertanyakan apakah jika mereka bukan putra-putra presiden, hal tersebut dapat terjadi?
Salah satu dampak utama dari politik dinasti adalah ketidaksesuaian rekrutmen politik dengan prinsip meritokrasi. Kekuasaan diperoleh sebagai warisan semata, tanpa melalui ujian kontestasi politik yang sehat, di mana seluruh anak bangsa mendapatkan dan memiliki kesempatan yang sama untuk memimpin bangsa ini, terutama ketika dunia sedang diadang oleh sejumlah tantangan berat, seperti kelaparan, kelangkaan bahan bakar, kerusakan lingkungan, dan perang di teater Eropa dan Timur Tengah.
Anehnya, kecenderungan Indonesia terjerembab ke dalam perangkap dinasti politik tersebut tidak mendapatkan resistensi baik dari parlemen maupun dari kalangan partai politik yang seakan turut komplisit untuk menentukan bahwa Indonesia memang hanya boleh dipimpin oleh individu-individu yang memiliki "pedigree".
Sehingga terbuka peluang besar bagi individu-individu, terutama dari kalangan Generasi Z dan Milenial, yang memiliki integritas, komitmen, dedikasi, dan kemampuan untuk memimpin negara dan bangsa Indonesia, tersisih tanpa kompetisi yang sehat yang seharusnya terjadi di dalam demokrasi di seluruh dunia.
Demokrasi, suatu pemerintahan yang berasal dari, untuk, dan oleh rakyat, hanya akan menjadi fatamorgana jika kungkungan dinasti politik tersebut tidak dicegah. Pilpres, Pileg, dan Pilkada merupakan sarana yang tepat untuk menyuarakan keprihatinan atas dinasti politik tersebut, agar prinsip "Vox Populi, Vox Dei" dapat ditegakkan di Indonesia.
Jika munculnya dinasti politik tersebut tidak tercegah, dapat dipastikan akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, yang pada gilirannya dapat memicu "social unrest" seperti yang terjadi pada tahun 1998.
Untuk membahas isu sensitif tersebut, Moya Institute kembali akan menggelar webinar nasional, bertajuk "Demokrasi Indonesia: Terjerembab ke Dalam Politik Dinasti?", Jumat, 26 Januari 2024, pukul 16.00 sampai 18.00 WIB.
Webinar nasional akan menghadirkan sejumlah narasumber terkemuka, yaitu:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat (Cendekiawan Muslim);
2. Ray Rangkuti (Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia);
3. Johan Silalahi (Direktur Negarawan Center)
Penanggap:
Sirojudin Abbas PhD (Peneliti Senior SMRC)
Pemantik Diskusi:
Hery Sucipto (Direktur Eksekutif Moya Institute)
Moderator:
Agita Mahlika (Presenter TVOne)
Silakan bergabung melalui:
Zoom: https://s.id/20WWn
YouTube: https://s.id/20WWq
Post a Comment