TPDI dan Perekat Nusantara: Pernyataan Aiman Harus Jadi Koreksi Polri Berbenah Diri pada Pemilu 2024

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus. (foto: tvonenews.com)
 

JAKARTA -- Para advokat yang tergabung dalam Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Perekat Nusantara menyampaikan protes kepada Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo atas tindakan penyidik Polda Metro Jaya yang melakukan pemanggilan terhadap politikus Partai Perindo sekaligus jubir TPN Ganjar Pranowo, Aiman Witjaksono, untuk menghadap pada Jumat (1/12/2023) guna. Aiman dipanggol penyidik untuk mengklarifikasi pernyataannya soal oknum Polri tak netral dalam Pemilu 2024.

Menurut TPDI dan Perekat Nusantara dalam keterangan tertulisnya yang diterima tim redaksi gebrak.id, Jumat (1/12/2023), pernyataan Aiman harus dimaknai Kapolri dan Kapolda Metro Jaya sebagai bagian dari hak masyarakat menyampaikan koreksi, seruan, dan peringatan kepada Polri dalam rangka "Peran Serta Masyarakat" dalam penegakan hukum dan ketertiban umum terlebih-lebih karena UU Polri melarang Polri terlibat dalam politik praktis.

"Harus dicatat bahwa beberapa pimpinan Polri adalah orang-orang dekat atau disebut sebagai kroni Presiden Joko Widodo (Jokowi) sehingga menyangkut netralitas Polri dalam Pemilu 2024, publik layak meragukan netralitasnya, apalagi karena Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi adalah Cawapres 2024 yang ikut dicawe-cawe oleh Presiden Jokowi," ujar Koordinator TPDI dan Perekat Nusantara, Petrus Selestinus.

Menuruy Petrus, selama ini sudah banyak pernyataan masyarakat sekedar mengingatkan maupun menilai bahkan menuduh bahwa Polri "tidak netral" dalam Pemilu 2024 karena putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi Cawapres 2024. "Bahkan pada pemilu sebelumnya Polri dituding tidak netral, dan itu merupakan sebuah realitas sosial yang positif karena pimpinan Polri pun menerima sebagai kontrol publik dari masyarakat," jelas dia.

Oleh karena itu, lanjut Petrus, pemanggilan Polda Metro Jaya terhadap Aiman Wicaksono, terlepas dari apakah Aiman adalah Jubir TPN Ganjar Pranowo atau Politisi Partai Perindo, hal itu merupakan tindakan kepolisian yang tidak beralasan hukum, terlalu dicari-cari bahkan mengarah kepada perilaku yang intimidatif dan bertujuan menakuti masyarakat yang ingin berperan serta dalam menciptakan pemilu damai.

Menurut Petrus, pada Pilpres kali ini Polri bersikap beda dan aneh soal netralitas. Padahal pernyataan seorang Aiman Witjaksono sebagai sesuatu yang positif dan harus diterima sebagai kritik dan masukan. Apalagi UU Polri sendiri sudah menegaskan bahwa Pori tidak boleh berpolitik praktis. "Itu artinya Aiman Witjaksono mengingatkan Polri agar menjaga netralitas dalam Pemilu 2024 sesuai perintah UU."

Petrus menambahkan, jika Polri bersikap salah tingkah, tampak grogi dan gagap menghadapi komentar Aiman terkait adanya oknum Polri tidak netral dalam Pemilu 2024, berarti Polri telah terjebak dalam cawe-cawe Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi, yang menjadi cawapres.

Untuk itu, sambung Petrus, advokat-advokat TPDI dan Perekat Nusantara menyampaikan protes keras dan meminta agar Kapolri menghentikan langkah Polda Metro Jaya memproses penyelidikan terhadap Aiman Witjaksono.

"Lebih baik Kapolri melakukan pembenahan ke dalam, jadikan pernyataan Aiman Witjaksono sebagai masukan untuk Polri berbenah diri," tegas Petrus. Kapolri harus bertanggung jawab, jika ada anak buahnya tidak bisa menjaga netralitas, jangan biarkan oknum Polri merusak profesionalisme Polri hanya karena Polri ingin loyal kepada Presiden Jokowi tetapi keblabas sampai ikut cawe-cawe dukung Gibran."

Tak hanya itu, menurut Petrus, penyampaian Surat Panggilan Polda Metro Jaya dilakukan tengah malam sehingga sangat tidak lazim karena mengganggu kenyamanan orang di tengah malam. Padahal di dalam Pasal 5 dan/atau Pasal 7 KUHAP, Polri dituntut dalam penyelidikan atau penyidikan karena kewajibannya berwenang melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

"Artinya tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukan tindakan jabatan; tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup jabatannya; atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; dan menghormati HAM," kata Petrus menjelaskan.


(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.