Lindungi Perempuan dan Anak, Kowani Desak Pemerintah Segera Sahkan Aturan Komprehensif Pengendalian Zat Adiktif

Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo, M. Pd (dua kanan), dalam konferensi pers Kowani bersama Komnas Pengendalian Tembakau dengan tema ‘Memastikan Perlindungan Perempuan dan Anak Terjaga Kesehatannya dan Kesejahteraannya’, Senin (18/12/2023). (Foto: kowani)

JAKARTA -- Rokok masih menjadi salah satu komoditas primadona yang konsumsi masyarakat miskin di Indonesia. Kementerian Kesehatan RI mencatat rokok menjadi komoditas pengeluaran terbesar keluarga di Indonesia, lebih tinggi daripada pengeluaran untuk konsumsi protein, seperti telur dan ayam, tahu dan tempe yang lebih dibutuhkan keluarga. Artinya, perempuan dan anak yang menjadi korban konsumsi rokok di tengah keluarga.

Hasil Proyeksi Penduduk Indonesia Tahun 2018 oleh BPS, 30,1 persen populasi penduduk di Indonesia adalah anak dengan jumlah 70,49 juta jiwa. Dari jumlah tersebut 37 persen atau 25,9 juta anak di antaranya merokok.

Berdasarkan hasil survei Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang dirilis Kementerian Kesehatan pada Juni 2022, selama 10 tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang. Pada 2021 lalu, jumlah perokok sekitar 60,3 juta jiwa, kemudian bertambah memjadi 69,1 juta jiwa pada 2022.

Anak-anak yang tinggal dengan orang tua yang tidak merokok akan tumbuh 1,5 kg lebih berat dari 0,34 gram dan lebih tinggi daripada mereka yang tinggal dengan orang tua perokok kronis.

"Ini menunjukkan bahwa perokok aktif atau kronis cenderung memiliki probabilitas anak-anak pendek atau kerdil," ujar Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo, M. Pd, dalam konferensi pers Kowani bersama Komnas Pengendalian Tembakau dengan tema ‘Memastikan Perlindungan Perempuan dan Anak Terjaga Kesehatannya dan Kesejahteraannya’, Senin (18/12/2023).

Menurut Giwo, perlindungan terhadap perempuan dan anak dari zat adiktif menjadi fokus utama, terutama dalam rangkaian acara bersama Komnas Pengendalian Tembakau. Dalam konteks ini, Kowani mengacu pada deklarasi “Suara Ibu Bangsa Selamatkan Indonesia dari Hegemoni Zat Adiktif” yang dilakukan pada Juni 2023.

Menyoroti masalah konsumsi rokok di Indonesia, lanjut Giwo, Kowani mencatat bahwa rokok masih menjadi komoditas primadona di kalangan masyarakat miskin. Dengan statistik yang mencengangkan, Kowani menekankan urgensi pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan dengan aturan Pengamanan Zat Adiktif. Pemerintah juga diingatkan tentang pentingnya merespons bonus demografi generasi emas tahun 2045 dengan memperjuangkan hak kesehatan anak dan perempuan.

Program kerja unggulan Kowani, lanjut Giwo, mencakup gerakan antiproduk zat adiktif tembakau, percepatan penurunan stunting, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak, gerakan berwakaf, dan penolakan LGBT di Indonesia.

Dalam konteks internasional, Kowani aktif di berbagai forum dan memiliki kerja sama dengan lembaga internasional seperti International Women of Council, ACWO, dan UN PBB. Selain itu, Kowani menjalin kerja sama dengan Rusia, Italia, dan Global Peace Women.

Di sisi lain, mengenai kebijakan, pemerintah juga baru saja mengesahkan UU No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan sebagai pengganti UU No.36 Tahun 2009. Namun, Giwo menyayangkan yang menjadi catatan substansi UU No 17 Tahun 2023 tidak mengatur secara komprehensif terkait dengan pengendalian zat adiktif yang mana seharusnya UU tersebut bisa menjawab problematika masalah konsumsi zat adiktif yang sangat masif di Indonesia.

"Sayangnya, UU tersebut belum memenuhi keinginan masyarakat yang mengharapkan wajah kesehatan Indonesia makin baik ke depan dan terbebas dari konsumsi zat adiktif," jelas Giwo.

Dan hingga saat ini, lanjut Giwo, proses pembahasan aturan turunannya, yaitu Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan yang salah satunya memuat aturan Pengamanan Zat Adiktif belum juga rampung dibahas dan disahkan menjadi peraturan. Hal ini mencuat dugaan terkait adanya upaya pihak-pihak yang ingin menghambat proses berjalannya pembahasan peraturan ini. Bahkan ada intervensi dari pihak industri yang ingin pengendalian zat adiktif dikeluarkan dari aturan tersebut.

"Jika itu benar terjadi, maka komitmen pemerintah terhadap kesehatan di Indonesia khususnya upaya pengendalian tembakau patut dipertanyakan. Kowani menekankan perlunya kolaborasi lintassektor dan masyarakat untuk menjaga kesehatan perempuan dan anak, terutama dalam menghadapi masifnya konsumsi zat adiktif. Dalam rangka mencapai Indonesia sehat dan terbebas dari konsumsi zat adiktif, Kowani mendesak pemerintah segera mengesahkan aturan yang komprehensif," kata Giwo menegaskan.

Fuad Baradja dari Komisi Nasional Pengendalian Tembakau menyoroti pentingnya perlindungan terhadap perempuan dan anak dari bahaya tembakau. Keterlibatan lembaga pemerintah dan non-pemerintah dianggap vital dalam menjaga harkat dan martabat wanita Indonesia serta melindungi anak-anak dari dampak negatif zat adiktif.


(dkd)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.