Gubernur DKI akan Ditunjuk Langsung Presiden, Sejumlah Elemen Sebut Itu Kemunduran Demokrasi dan Mencederai Reformasi
JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) yang resmi menjadi usul DPR RI mengatur jabatan gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan presiden dengan mempertimbangkan usul DPRD, Senin (4/12/2023). Mekanisme ini jadi sorotan karena dianggap sebagai bentuk kemunduran demokrasi.
Terkait RUU DKJ, hampir semua fraksi di DPR RI memberikan persetujuan menjadi inisiatif DPR. Fraksi PKS menjadi satu-satunya yang menolak, sedangkan Fraksi PDIP hanya memberikan catatan.
Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah 'Castro' menilai RUU DKJ menjadi salah satu fakta yang semakin menguatkan apa yang dinamakan autocratic legalism.
"Itu upaya menyandera produk legislasi untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan tertentu," ujar Castro pada Rabu (6/12/2023), dikutip dari CNN.
Castro berpendapat penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden mudah dibaca publik sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan. Ia mencontohkan soal 'cawe-cawe' Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dalam majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
"Itu tidak bisa dibantah. Cawe-cawe presiden terhadap anaknya, meskipun tidak secara langsung, menggambarkan bagaimana hasrat melanggengkan kekuasaannya. Kalau presiden seorang negarawan, harusnya dia menahan pencalonan anaknya setidaknya hingga kekuasaannya selesai," kata Castro.
Castro yang merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman itu menyatakan, RUU DKJ merupakan kemunduran demokrasi yang luar biasa. Ia pun menilai RUU DKJ tidak memenuhi syarat terbentuknya undang-undang karena bukan untuk kepentingan rakyat.
"Bagi kami orang hukum, RUU ini dibuat semata-mata berdasarkan kacamata politik, yang miskin argumentasi hukum. Bahkan model penunjukan ini bertentangan dengan konsep pemilihan sebagaimana diatur dalam rezim UU Pemerintahan Daerah," kata Castro menjelaskan. "Ini kan kemunduran yang luar biasa. Demokrasi didesak mundur oleh kepentingan segelintir orang, kepentingan para oligarki."
Castro menambahkan, publik harus secara masif mengkritik ketentuan yang dibuat seolah-olah untuk melanggengkan kekuasaan tersebut. Ia bahkan menyerukan pembangkangan sipil jika protes publik tak dihiraukan DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang. "Terlebih jika kecurangan terus dipertontonkan oleh kekuasaan," tegasnya.
Ketua Umum Badan Musyawarah (Bamus) Betawi, Riano P Ahmad, menolak ketentuan di draf RUU DKJ yang mengatur gubernur dan wakil gubernur Jakarta ditunjuk dan diangkat presiden. Aturan tersebut dianggap tidak sesuai dengan demokrasi.
"Terkait gubernur dan wakil gubernur ditunjuk presiden ini, saya kira tidak sesuai dengan semangat demokrasi kita ya. Karena kalau gubernur dan wakilnya ditunjuk kok kita jadi balik lagi ke zaman dulu ya," kata Riano, Rabu (6/12/2023).
Riano menjelaskan, jika gubernur ditunjuk presiden, berarti mencederai demokrasi dan hak pilih warga DKI sendiri. Hak politik warga DKI dikebiri dengan gubernur dan wakil gubernurnya ditunjuk presiden. "Kita harus mundur ke belakang sedangkan ke depan ini kan DKI tetap menjadi barometer," jelas dia.
Sekarang ini saja, lanjut Riano, pemilihan ketua RT dan RW di DKI Jakarta diserahkan ke masyarakat untuk memilih bukan ditunjuk. Ia berharap usulan tersebut dibatalkan. "Itu membuat sesuatu hal yang janggal ya. Saya dari Bamus Betawi menolak, jangan kita mundur, mengkebiri, mencederai demokrasi yang sudah berjalan baik dengan kepala daerahnya ditunjuk."
Direktur Eksekutif Algoritma sekaligus dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana berpendapat klausul itu mengingkari semangat desentralisasi yang diusung pada saat reformasi 1998.
Adit menilai belakangan ini pemerintah pusat memang lebih menonjolkan konsep sentralisasi ketimbang desentralisasi dalam mengelola hubungan pusat dengan daerah. Ia mengatakan bahkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada beberapa titik telah berwenang mengevaluasi peraturan daerah serta kebijakan terkait anggaran di daerah.
"Makanya tadi, saya bilang tadi ada framing yang sepertinya sudah dibahas pemerintah pusat untuk menarik kembali makna desentralisasi," jelas Adit.
Adit mengaku pernah dilibatkan dalam suatu kajian di Kemendagri ihwal evaluasi pelaksanaan pilkada. Hasilnya, masyarakat tak masalah dengan pilkada langsung, meskipun ada kepala daerah yang terjerat korupsi. "Tapi perspektif mereka (pemerintah) pilkada itu mau ditarik ke pusat. Jadi, dipilih oleh DPRD. Dikembalikan ke zaman Orde Baru, asimetris sekali."
(dpy)
Post a Comment