Dugaan Jokowi Minta KPK Hentikan Kasus Korupsi e-KTP, Pukat UGM: Itu Masuk Kategori Perintangan Penyidikan

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman. (Foto: tvonenews.com)
 

JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, mengatakan bahwa tidak ada satupun pihak yang dapat meminta penegak hukum untuk menghentikan pengusutan suatu tindak pidana. Ia menilai, upaya semacam ini masuk dalam bentuk menghalangi penyidikan atau obstruction of justice.

Hal ini disampaikan Zaenur menanggapi pernyataan eks Ketua KPK Agus Rahardjo yang pernah dipanggil Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan pengusutan dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP). Kasus ini menyeret nama Ketua DPR RI yang saat itu dijabat oleh Setya Novanto.

“Tidak ada satupun pihak ataupun pejabat yang berwenang untuk meminta penghentian perkara. Jika ada pihak yang meminta penghentian perkara bahkan diikuti dengan tindakan, perbuatan yang dapat mengganggu jalannya penyidikan itu bisa masuk kategori obstruction of justice sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor atau biasa disebut sebagai merintangi penyidikan,” kata Zaenur kepada awak media, Sabtu (2/12/2023), dikutip dari Antara.

Selain itu, Zaenur menilai, permintaan Jokowi tak lazim. Sebab, Jokowi mengintervensi KPK yang kala itu masih bersifat independen karena undang-undangnya belum direvisi.

UU KPK Nomor 30 Tahun 2012 menyebut komisi antirasuah sebagai lembaga independen. Namun, setelah direvisi menjadi UU KPK Nomor 19 Tahun 2019, KPK masuk di bawah rumpun eksekutif. “Jadi itu merupakan bentuk intervensi. Ketika kekuasaan mengintervensi KPK, maka itu juga merupakan bentuk satu penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden,” jelas Zaenur.

Menurut Zaenur, kondisi ini merupakan bukti karut marutnya upaya pemberantasan korupsi di era Presiden Jokowi. Apalagi, lanjut pengamat hukum dari UGM, ini ada dugaan revisi UU KPK terjadi karena Agus Rahardjo menolak perintah presiden.

“Hasilnya kita petik situasi Indonesia yang semakin korupsi, semakin korup. Tahun 2022 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia itu 34. Sama persis dengan 2014 ketika pertama kali Presiden Jokowi menjabat. Artinya selama sembilan tahun akhirnya ujung-ujungnya nol prestasi pemberantasan korupsi oleh Presiden Jokowi,” ungkap Zaenur.

Sebelumnya, Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo menyebut, revisi UU KPK tidak terlepas dari keputusannya yang menolak permintaan Presiden Jokowi untuk menghentikan kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto. Saat itu, Setnov diketahui merupakan Ketua Umum Partai Golkar yang menjadi parpol pendukung Pemerintahan Jokowi dan Ketua DPR RI.

 

(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.