Punya Posisi Tawar Tinggi, Aksi Nyata Indonesia Selesaikan Perang Israel-Palestina Ditunggu Dunia
Warga Gaza, Palestina, di tengah konflik dengan Israel/ilustrasi. (Foto: pixabay) |
JAKARTA -- Mantan Dubes RI untuk Ukraina, Yuddy Chrisnandi, menyatakan, aksi nyata Indonesia dalam menyelesaikan perang Israel dan Palestina sedang ditunggu dunia. Hal ini dikarenakan negara-negara Islam,yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) tidak memiliki daya tawar sebesar Indonesia.
"Negara-negara OKI seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab itu tak memiliki daya tawar sebesar Indonesia dalam menyuarakan kepentingan umat Islam," ujar Yuddy dalam Webinar Nasional Moya Institute bertajuk "Konflik Palestina-Israel: Peluang Penyelesaian" pada Jumat (17/11/2023).
Politisi Partai Golkar itu melanjutkan, bila seluruh umat Islam di negara-negara Arab dikumpulkan menjadi satu, tetap belum bisa menyamai jumlah umat Islam di Indonesia. Portofolio itulah yang membuat peran Indonesia dinantikan dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina, dibandingkan negara-negara Arab yang tidak jelas sikapnya.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti memandang konflik Israel-Palestina dari beberapa dimensi.
Dimensi pertama adalah dimensi teologi. Abdul Mu'ti menyatakan konflik ini disebabkan oleh klaim teologis kaum zionis yang memandang tanah Palestina itu sebagai tanah nenek moyangnya.
Namun, lanjut Mu'ti, dimensi kedua yakni politik juga kental dalam perang Israel-Palestina. Karena itu, Muhammadiyah menilai solusi politik lebih cocok untuk menyelesaikan perang tersebut.
"Dan two-state solution atau solusi dua negara adalah solusi yang paling logis bagi penyelesaian konflik kedua bangsa karena memang menurut bangsa Israel juga punya hak tinggal di wilayah itu, hanya saja selama ini mereka melakukan okupasi terhadap tanah Palestina yang dinilai sebagai penjajahan," ungkap Mu'ti.
Sementara itu, Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani Prof Dr Hikmahanto Juwana menyatakan, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu sudah memenuhi syarat sebagai penjahat perang atas tindakannya menyerang Gaza, Palestina. Tapi yang menjadi persoalan adalah Israel bukan negara anggota terhadap Statuta Roma (1998) yang memungkinkan dia diadili oleh International Criminal Court (ICC).
Tapi, lanjut Hikmahanto, bisa juga melalui mekanisme lain, yakni resolusi Dewan Keamanan (DK-PBB). DK-PBB sebenarnya bisa mengeluarkan resolusi yang memandatkan ICC untuk mengadili para pemimpin Israel. "Tapi, nantinya pasti AS akan memveto hal itu di DK-PBB, jadi badan dunia itu sudah seperti 'macan ompong' sebetulnya," tegasnya.
Kemudian, Pemerhati Isu-isu Strategis dan Global, Prof Imron Cotan, berpendapat ada perbedaan mendasar antara orang Yahudi dengan gerakan zionisme. Orang Yahudi itu secara umum baik karena ada persamaan kaidah keagamaan dengan Islam.
Sedangkan zionisme adalah gerakan politik yang menginginkan terbentuknya negara Yahudi di tanah Palestina, menolak berdirinya negara Palestina. Dan sekarang kaum zionis ini berkuasa di Pemerintahan Israel melalui kelompok ekstrem kanan pimpinan Benjamin Netanyahu.
"Karena itu tak heran bila beberapa waktu lalu salah satu Menteri Israel, Amihay Eliyahu menyatakan bahwa sebaiknya bom nuklir dijatuhkan di Gaza. Padahal korban di pihak Palestina sudah mencapai 12.000, separuh di antaranya bayi dan anak-anak," jelas Imron.
Pernyataan Eliyahu tersebut, lanjut Imron, sangat disesalkan berbagai kalangan karena pasca bom Hiroshima dan Nagasaki, dunia berpedoman pada tabu nuklir (nuclear taboo) yang berpandangan bahwa walau negara-negara tertentu diperbolehkan memiliki senjata nuklir. "Tetapi secara moral tak diperkenankan menggunakannya."
Dalam konteks perlawanan, kekuatan Palestina berhak mengambil langkah-langkah untuk membebaskan diri dari penjajahan Israel. Namun, yang digaungkan negara-negara besar, khususnya Amerika Serikat (AS), hanyalah hak Israel untuk membela diri pasca-serangan Hamas, 7 Oktober 2023 lalu. "Mereka melupakan kenyataan bahwa bangsa Palestina sudah tertindas selama 75 tahun (Nakba, 1948)."
Adapun Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, mengutarakan keprihatinan dan kemarahan mendalam melihat tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza. Apalagi, lebih dari 50 persen korban serangan Israel adalah bayi dan anak-anak. Dan ini merupakan jumlah korban terbesar sejak Intifadah tahun 2000.
"Karena itu, Moya Institute berinisiatif menggelar webinar ini untuk menganalisis perkembangan yang terjadi, membaca kemungkinan potensi penyelesaian, termasuk mengkaji kemungkinan langkah-langkah yang bisa diambil Indonesia untuk berperan lebih aktif dalam upaya menciptakan perdamaian antara Palestina-Israel," ujar Hery menegaskan.
(dpy)
Post a Comment