PP Muhammadiyah Tuntut Anwar Usman Mundur dari Jabatan Hakim MK

Eks Ketua MK Anwar Usman. (foto: liputan6.com)


JAKARTA -- Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah meminta Anwar Usman mengundurkan diri dari posisi Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) usai putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK). Langkah ini diperlukan demi menjaga marwah kewibawaan MK.


Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah menilai Ketua MK Anwar Usman seharusnya diberhentikan tidak dengan hormat sebagai hakim konstitusi oleh MKMK. Alasannya, MKMK sudah menyatakan Anwar Usman melanggar kode etik hakim saat memutuskan gugatan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal capres-cawapres


Pemberhentian Anwar Usman dengan tidak hormat, menurut Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, bisa dilakukan mengacu ke Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.


Karena MKMK hanya memberhentikan Anwar Usman dari kursi Ketua MK, tapi tidak memecatnya sebagai hakim konstitusi, maka PP Muhammadiyah mendesak ipar Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) itu mundur.


"MHH PP Muhammadiyah menuntut kepada Anwar Usman untuk mengundurkan diri dari jabatan Hakim Mahkamah Konstitusi demi menjaga marwah, martabat dan kewibawaan Mahkamah Konstitusi serta mengembalikan kepercayaan publik kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia," kata Ketua MHH PP Muhammadiyah Trisno Raharjo, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (7/11/2023). 


MKMK sebelumnya memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK. Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat hakim konstitusi atas putusan gugatan batas usia capres-cawapres. 


Trisno menyayangkan putusan MKMK hanya menjatuhkan sanksi Anwar Usman pemberhentian dari Ketua MK. Anwar masih tetap menjadi hakim MK. 


Meski menyayangkan, PP Muhammadiyah memahami dan menghormati putusan MKMK yang hanya memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK. "MHH PP Muhammadiyah dapat memahami dan menghormati putusan MKMK yang memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK yang terbukti melanggar kode etik berat karena konflik kepentingan dalam perkara yang diperiksa dan diputuskan," jelas Trisno. 



(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.