Jokowi tak Jelas Dukung Ganjar, SMRC: Publik Sebut Itu tak Pantas, Menyimpang dari Pakem Politik
Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Prof Saiful Mujani. (Foto: wikipedia) |
JAKARTA -- Survei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan mayoritas publik atau 47 persen publik menilai kurang atau tak pantas perlakuan Joko Widodo (Jokowi) sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang telah diusung menjadi walikota, gubernur, dan presiden, namun sekarang tidak jelas memberi dukungan pada Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres) dari PDIP. Publik yang menyatakan sikap Jokowi itu pantas hanya 30 persen dan tidak menjawab 23 persen.
Hasil survei ini dipresentasikan Prof Saiful Mujani dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Meninggalkan PDIP di Mata Publik” yang disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV pada Kamis (23/11/2023). Survei SMRC dilakukan pada 29 Oktober hingga 5 November 2023.
Menurut Prof Saiful, sebagian perilaku politik tidak hanya berkaitan dengan boleh dan tidak boleh. Namun juga terkait dengan patut dan tidak patut atau pantas atau tidak pantas dan wajar atau tidak wajar. Biasanya politikus menghitung tentang kepantasan tersebut. "Karena itu, apakah suatu tindakan itu pantas atau tidak pantas menjadi sesuatu yang penting diketahui oleh politisi," ujar Prof Saiful.
Prof Saiful menyampaikan bahwa Jokowi adalah seorang politikus yang berkarier dari bawah sampai ke puncak jabatan politik. Jabatan politik melalui pemilihan rakyat (elected official) yang paling rendah adalah bupati atau walikota. Dan jabatan tertinggi adalah presiden. Jokowi masuk sebagai elected official dari posisi terendah (walikota) sampai yang tertinggi (presiden) yang didukung oleh PDIP.
“Karena itu, dari ujung ke ujung, Jokowi adalah PDI Perjuangan banget,” jelas Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta tersebut.
Kebetulan dalam rentang waktu yang panjang itu, lanjut Prof Saiful, pemimpin PDIP adalah Megawati Soekarnoputri. Saiful melihat perilaku dan sikap Megawati tidak banyak yang berubah dalam menyikapi pelbagai isu.
Menurut Prof Saiful, perilaku Jokowi sebagai kader PDIP yang tidak punya sikap yang definitif terhadap calon presiden dari partainya sendiri adalah sesuatu yang unik.
“Bahkan semakin hari semakin banyak yang yakin bahwa Jokowi tidak mendukung Ganjar, kader partainya sendiri, sebaliknya, justru dia terlihat lebih mendukung lawan atau kompetitornya selama dua kali pemilihan presiden. Itu unik. Di dunia, mungkin hal seperti itu hanya terjadi di Indonesia. Setidaknya saya belum tahu ada fenomena seperti ini terjadi di tempat lain,” kata Prof Saiful.
Prof Saiful mengatakan bahwa langkah politik Jokowi mendukung Prabowo Subianto, bukan mendukung Ganjar yang diputuskan oleh partainya menjadi calon presiden, itu seperti Obama mendukung Donald Trump di ujung kekuasaannya. Menurut dia, itu sebuah langkah politik yang tak terbayangkan bagi masyarakat politik di Amerika Serikat. Namun di Indonesia hal itu terjadi.
“Tidak kebayang bagaimana seorang Obama yang sudah dua periode menjadi presiden, kemudian partainya memutuskan calon presiden berikutnya adalah Hillary Clinton. Namun Obama tidak mendukung Hillary, malah mendukung Donald Trump. Itu tak terbayang dalam politik Amerika. Namun di Indonesia hal seperti itu terjadi,” kata Prof Saiful.
Lebih jauh Prof Saiful menyatakan walaupun Jokowi tidak pernah menyatakan secara langsung pilihan politiknya. Namun ia merestui anak kandungnya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden (cawapres) untuk Prabowo yang merupakan lawan dari calon presiden yang diusung oleh PDIP.
“Kalau mau bicara positif, itu unik. Kalau mau pakai istilah yang lebih kritis, hal itu menyimpang dari pakem-pakem perilaku politik elite,” jelas Prof Saiful.
Di Indonesia, lanjut Saiful, pindah politik itu biasa, namun tidak dalam kasus seperti yang terjadi pada Jokowi, di mana pelakunya sedang berada di puncak kekuasaan seorang presiden. Ia menyatakan sejauh ini belum ada jawaban yang meyakinkan kenapa hal tersebut terjadi.
Hal yang sama terjadi pada kasus Gibran Rakabuming Raka. Gibran menjadi Wali Kota Solo melalui dukungan PDIP melalui proses yang istimewa.
Prof Saiful menceritakan bahwa sebelum Gibran maju, PDIP Solo sudah memiliki nama lain untuk menjadi calon wali kota. Namun Jokowi datang meminta agar PDIP memajukan Gibran. Melalui hak prerogatif Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, Gibran akhirnya diputuskan menjadi calon walikota.
Ini, menurut Prof Saiful, menunjukkan PDIP memberi keistimewaan pada Gibran. Namun kemudian Gibran maju sebagai cawapres Prabowo dan tidak membantu calon presiden yang ditetapkan partainya sendiri.
(dpy)
Post a Comment