Percepatan Deklarasi Gibran, Strategi Perang Melawan PDIP

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Menhan RI sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra dan Capres 2024, Prabowo Subianto (kiri). (foto: setkab.go.id)

Oleh Selamat Ginting *)

 

Percepatan deklarasi Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal calon presiden (cawapres) Koalisi Indonesia Maju (KIM), bagian dari stategi perang politik melawan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Percepatan deklarasi Gibran sebagai cawapres Minggu (23/10/2023) malam, ibaratnya menggunakan pertempuran untuk mencapai tujuan kemenangan perang, yakni Pilpres 2024.


Pertempuran politik ini dipimpin calon presiden (capres) dan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto melalui serangan penetrasi menembus garis pertahanan lawan dengan cepat dan dadakan. Hasilnya berhasil mengambil Gibran, putra sulung Presiden RI Jokowi sebagai cawapres bagi Prabowo. 


Padahal Gibran belum resmi keluar dari PDIP. Itu sama saja Gibran telah lompat pagar dari PDIP setelah dideklarasikan pertama kali oleh Partai Golkar. Golkar mengambil momentum itu sebelum diambil partai lain.


Termasuk, Prabowo menggunakan serangan perembesan dengan menerobos lubang-lubang pertahanan PDIP, seperti relawan pendukung Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019. Mereka kemudian bergabung menjadi pendukung capres Prabowo.


Pepet Jokowi


Penetrasi politik yang dilakukan Prabowo, misalnya memengaruhi salah satu kekuatan utama PDIP dalam diri keluarga Presiden Jokowi. Efek Jokowi yang luar biasa dalam dua kali pilpres serta tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerjanya hingga 70-80 persen, tidak dijaga dengan baik oleh PDIP.


Kesempatan itu diambil Prabowo untuk menambah kekuatan politiknya dalam Pilpres 2024 ini. Prabowo terus melakukan strategi memepet Jokowi dan keluarganya, baik melalui simbol semikotika politik maupun komunikasi politik yang intensif.


Selama ini Jawa Tengah titik lemah Prabowo dalam Pilpres 2014 dan 2019. Sebaliknya Jawa Tengah merupakan kandang banteng. Itulah ceruk politik yang akan diambilnya untuk menghadapi dominasi PDIP di Jawa Tengah. 


Di luar itu, memang ada hubungan yang kurang harmonis antara Jokowi dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Kondisi ini dibaca dengan baik oleh Prabowo dan dikapitalisasi menjadi suara dukungan politik. 


Ibaratnya, seperti memisahkan ikan dari airnya, sehingga ikan keluar dari kolamnya. Jokowi dan keluarganya berhasil dikeluarkan dari kolam PDIP. Diawali masuknya putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pengarep ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Padahal hubungan politik PDIP dengan PSI tidak bagus. Prabowo memanfaatkannya dengan melakukan komunikasi politik dengan merangkul PSI dengan cara mengunjungi kantor PSI. 


Setelah itu, Prabowo berkali-kali melamar Gibran untuk bersedia menjadi cawapres bagi dirinya. Tembok pertahanan keluarga Jokowi pun bobol. Itu namanya strategi operasi serangan ke jantung pertahanan lawan.


Incar Relawan Jokowi


Selain itu, penetrasi politik juga dilakukan dengan mengincar kekuatan-kekuatan politik pendukung Jokowi. Belasan relawan pendukung Jokowi, seperti Projo (Pro-Jokowi), Joman (Jokowi Mania), dan lain-lain keluar dari barisan PDIP. Mereka berbalik arah tidak mendukung capres dari PDIP Ganjar Panowo, sebaliknya mendukung capres Prabowo.


Untuk melawan kekuatan politik besar seperti PDIP diperlukan strategi non-konvensional yang di luar perkiraan lawan politik. Itulah yang dilakukan Prabowo sebagai pensiunan militer untuk mengalahkan PDIP dalam Pilpres 2024.


Penetrasi politik juga mengincar sejumlah tokoh yang dapat menggoyang pertahanan lawan. Misalnya membujuk kader PDIP Budiman Sujatmiko serta politikus senior Effendi Simbolon untuk melakukan manuver politik menyeberang atau mendukung Prabowo. 


Memang Effendi Simbolon membantah, tapi bisa jadi itulah strategi, teknik, dan taktik pertempuran politik yang lolos dari perhatian PDIP. Seperti operasi intelijen, tentu saja tidak akan pernah mengakui serangan penetrasi ke kandang musuh.

 

Jakarta, 23 Oktober 2023


*) Analis politik dan militer sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas Jakarta


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.