Jelang Putusan MK Soal Batas Usia Minimal Cawapres, Dinasti Jokowi Bisa Jadi Sasaran Tembak
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan keluarga. (foto: setkab.go.id)
JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) RI akhirnya menjadwalkan sidang pembacaan putusan atas permohonan uji materi pasal syarat usia minimal calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) pada Senin (16/10/2023) pukul 10.00 WIB.
Jadwal sidang tersebut diketahui dari laman resmi MK. Tampak sidang pembacaan putusan akan dilakukan untuk tiga perkara sekaligus terkait gugatan batas usia minimal capres-cawapres.
Perkara pertama bernomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan petitum meminta batas usia minimal capres-cawapres diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun. PSI merupakan partai yang mengaku tegak lurus kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Kedua, perkara nomor 51/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Sekretaris Jenderal dan Ketua Umum Partai Garuda, yakni Yohanna Murtika dan Ahmad Ridha Sabhana. Partai Garuda meminta MK menetapkan batas usia capres dan cawapres 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.
Ketiga, perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 diajukan oleh sejumlah kepala daerah, yang dua di antaranya adalah Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa. Erman dan Pandu sama-sama politikus Partai Gerindra. Petitum mereka sama dengan petitum Partai Garuda.
Sebagai catatan, sidang pembacaan putusan tersebut dilaksanakan tepat tiga hari sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI membuka pendaftaran capres-cawapres Pilpres 2024. Jadwal pendaftaran adalah 19 Oktober hingga 25 Oktober 2024.
Sementara persidangan bergulir dalam beberapa bulan terakhir, di sejumlah daerah mulai bermunculan baliho yang mempromosikan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto. Gibran yang merupakan putra sulung Presiden RI Jokowi itu kini berusia 36 tahun. Putusan gugatan batas usia ini akan jadi penentu apakah Gibran bisa memenuhi syarat atau tidak menjadi cawapres.
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Zainuddin Paru menyoroti gugatan batas usia minimal capres-cawapres yang putusannya akan dibacakan oleh MK pada pekan depan. Ia menegaskan bahwa ketentuan batas usia bukan kewenangan MK.
"Batas usia capres-cawapres pada prinsipnya adalah open legal policy, yang menjadi kewenangan lembaga pembuat undang-undang, yakni DPR RI," kata Zainuddin lewat keterangan tertulisnya, Rabu (11/10/2023).
Selain itu, Zainuddin mengingatkan bahwa penentuan sosok capres-cawapres yang layak bukan soal usia semata. Penentuan capres-cawapres harus mengacu pada asas kepatutan dan kepentingan bangsa yang lebih besar. "Sosok cawapres bukan tentang pribadi orang, dinasti, dan kepentingan kelompok, oligarki, dan ataupun relawan," ujarnya.
Sebagai catatan, sejumlah kelompok relawan Presiden Jokowi mengusulkan agar Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto apabila putusan MK mengabulkan permohonan menurunkan syarat batas usia cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun. "Kita mengingatkan pada semua pihak agar menempatkan kepentingan negara dan bangsa lebih utama, di atas kepentingan pribadi dan golongan," kata Zainuddin.
Di sisi lain, Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), sebuah lembaga pemantau pemilu yang terakreditasi di Bawaslu RI, menilai putusan ini adalah ujian independensi sekaligus moralitas hakim MK. Jika MK menurunkan batas usia minimal dari 40 tahun menjadi 35 tahun, maka MK bisa dibilang terjebak dalam kepentingan politik dinasti Jokowi.
Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC) Ahmad Khoirul Umam merespons menguatnya wacana menyandingkan Prabowo Subianto dengan Gibran Rakabuming Raka jika MK mengabulkan gugatan Judicial Review (JR) atas batas umur cawapres.
Khoirul pun menilai jika wacana terjadi maka akan memberikan pengaruh besar bagi Prabowo maupun keluarga Jokowi. Untuk Prabowo, pencawapresan Gibran akan menciptakan narasi “politik dinasti” dari lawan politiknya.
"Ini akan menjadi amunisi yang sangat efektif untuk menghantam legitimasi dan kredibilitas politik Presiden Jokowi sekaligus menghancurkan mesin politik pencapresan Prabowo Subianto," ujar Khoirul dalam keterangannya, Selasa (10/10/2023).
Khoirul melanjutkan, hal ini karena putusan MK yang meloloskan Gibran ditambah deklarasi Prabowo-Gibran akan dianggap sebagai manifestasi nyata akan ambisi besar Jokowi yang haus kekuasaan. Hal ini juga dinilai sebagai kelanjutan atas operasi politik untuk mewujudkan presiden 3 periode, penundaan pemilu, hingga mengokohkan posisi anak-anaknya di percaturan politik kekuasaan nasional.
"Bahkan, narasi politik dinasti yang merujuk pada pasangan Prabowo-Gibran itu bisa dijadikan sebagai wacana penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), yang dikait-kaitkan dengan potensi intervensi kekuasaan presiden terhadap yurisdiksi MK," ujar Khoirul.
Dari sisi Jokowi juga, kondisi itu bisa membuka peluang rival politik melakukan impeachment atau pemakzulan terhadap kekuasaan Presiden Jokowi. Apalagi, jika PDIP tersulut, lalu berkoordinasi dengan partai-partai koalisi perubahan yang menjadi rival kekuasaan saat ini, maka terbuka peluang melakukan pemakzulan tersebut.
Tak hanya itu, lanjut Dosen Ilmu Politik & International Studies, Universitas Paramadina ini, pencawapresan Gibran bisa menciptakan “perang bubat” antara kubu Prabowo dengan PDIP yang merasa dikhianati dan dilangkahi oleh keluarga Jokowi. Hal ini akan berpengaruh pada posisi Gibran, Boby Nasution hingga Jokowi di PDIP. "Jika Gibran menjadi cawapres Prabowo, besar kemungkinan PDIP akan melakukan evaluasi total terhadap status relasi dan keanggotaan Gibran, Boby, dan juga Jokowi sendiri di PDIP," jelasnya.
Selanjutnya, di tataran Pilpres 2024, pasangan Prabowo-Gibran juga dinilai akan membuat seluruh musuh-musuh politik Jokowi bersatu, termasuk PDIP untuk melakukan perlawanan secara terbuka pada kekuasaan Jokowi dengan mengalahkan Prabowo-Gibran. Karenanya, Khoirul menyinggung pertemuan Puan Maharani dan Jusuf Kalla beberapa waktu lalu yang dinilai relevan sebagai koordinasi awal untuk membuka kemungkinan kerja sama politik di putaran kedua Pilpres 2024.
"Ini terjadi jika Jokowi dianggap betul-betul sudah “berulah” dan “lupa diri” dengan amanah kekuasaan yang ia pegang saat ini," ujar Khoirul menegaskan.
(dpy)
Post a Comment