Constitutional Evil dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Hendardi. (foto: antara) |
Oleh Hendardi *)
Seminar Moya Institute, Selasa, 17 Oktober 2023 kali ini bertajuk MK: Benteng Konstitusi? Jika merujuk pada desain ketatanegaraan Indonesia, maka premis bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) adalah benteng konstitusi memang benar adanya karena MK diberi mandat untuk menjalankan peran peradilan politik. Artinya, MK memberikan judgement contitusional atas berbagai tindakan-tindakan politik seperti tindakan membentuk UU, tindakan penghitungan hasil pemilu, dan lain-lain sebagaimana kewenangan-kewenangan MK.
Namun, setelah berjalan 20 tahun, performa MK semakin menjauh dari desain awalnya, di mana MK diperintahkan oleh UUD 1945 untuk menegakkan keadilan konstitusional. MK telah menjelma menjadi lembaga superbody yang nyaris tidak bisa dikontrol. Satu-satunya lembaga negara yang tidak memiliki desain check and balance adalah MK karena MK sudah terbiasa melanggar berbagai prinsip-prinsip peradilan konstitusi. Setiap kali DPR dan Presiden RI mengubah UU MK, di mana UU tersebut membatasi secara teknis kewenangan-kewenangan MK, maka MK akan membatalkannya.
Putusan MK yang baru saja dirilis, terkait dengan syarat pencalonan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) adalah akumulasi penyimpangan-penyimpangan yang selama ini dilakukan oleh MK dalam menguji berbagai peraturan perundang-undangan. Beberapa penyimpangan yang mencolok dapat disebutkan adalah: (1) kebiasaan MK membentuk norma baru (ultra vires), sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan MK; (2) rendahnya integritas MK untuk menjaga conflict of interest dalam memeriksa perkara, bagaimana mungkin MK mengadili UU MK yang mengatur dirinya sendiri.
Ini bertentangan dengan asas nemo iudex in causa sua, yang artinya seseorang tidak boleh menjadi hakim dalam suatu perkara jika mereka memiliki kepentingan dalam perkara tersebut; (3) kebiasan MK melakukan ultra petita atau memutus perkara melebihi apa yang diminta atau dimohonkan; dan (4) menjadikan kegaduhan di luar sidang sebagai pertimbangan dalam memutus perkara. MK telah berubah dari court of norm yang pedoman utamanya adalah konstitusi menjadi court of justice, seperti peradilan biasa yang menjadikan aspek-aspek di luar sidang dijadikan pertimbangan dalam memutus perkara.
Dengan berbagai catatan di atas, maka sebagaimana saya sampaikan, MK benar-benar sedang mempromosikan constitutional evil atau kejahatan konstitusional. Yang lebih soft dapat juga diartikan dengan keburukan konstitusional.
Mengapa demikian? Ini karena pada intinya MK tidak lagi menegakkan konstitusi tetapi mengakomodasi aspirasi politik dari aktor-aktor politik. Bukannya menjadi wasit yang adil dan pengatur irama politik, justru MK yang membuka diri untuk dipolitisasi dengan mengakomodasi kehendak-kehendak politik, utamanya yang datang dari aktor penguasa.
Oleh karena itu, di atas masalah elektoralisme apakah Gibran Rakabuming akan maju atau tidak, itu bukan urusan saya. Yang utama hari ini adalah bahwa Mahkamah Konstitusi jatuh ke titik integritas terendah dalam 20 tahun terakhir. Bahkan baru pertama kali hakim MK menyampaikan ketidaksetujuannya secara terbuka dan tajam, sebagaimana ditujukan oleh Saldi Isra. Saldi dan rekannya, yang tidak sependapat dengan 5 hakim yang mengabulkan permohonan uji materiil, secara tegas dan berkali-kali mengatakan putusan MK irasional, di luar nalar, dan bahkan berubah setelah Anwar Usman, adik ipar Presiden RI Jokowi (bapak Gibran) mengorkestrasi putusan.
Sejak awal saya sudah mengingatkan bahwa pilihan MK melanjutkan sidang dengan memeriksa pokok perkara bukanlah langkah tepat dan konsisten dengan tugas MK. MK hanya boleh melanjutkan persidangan jika yang diperiksa adalah mengandung isu konstitusional. Sementara, ihwal usia calon pejabat dalam proses pengisian jabatan publik, sejak lama dikategorikan bukan isu konstitusional oleh MK, sebagaimana dalam putusan putusan No. 37/PUU-VIII/2010 terkait usia pimpinan KPK, putusan 49/PUU-IX/2011 terkait syarat usia calon hakim konstitusi, No. 15/PUU-XV/2017 terkait usia calon kepala daerah, dan putusan No. 58/PUU-XVII/2019 dan putusan No. 112/PUU-XX/2022 terkait syarat usia pimpinan KPK yang tetap dinyatakan sebagai bukan isu konstitusional kecuali terkait dengan masa jabatan pimpinan KPK, yang dikabulkan.
Dengan deret putusan tersebut, semestinya sejak sidang pendahuluan, MK sudah bisa memutuskan bahwa uji materi batas usia minimal capres dan cawapres bukanlah isu konstitusional dan oleh karenanya sejak awal harus dinyatakan tidak diterima. Proses dismissal dalam sidang pendahuluan sebenarnya didesain untuk menyaring perkara-perkara mana yang masuk dalam kewenangan MK dan menegaskan ada tidaknya isu konstitusional dalam sebuah norma.
Selain bukan isu konstitusional, batas usia dalam pengisian jabatan publik jelas merupakan opened legal policy atau kebijakan hukum terbuka, yang oleh karenanya bukan kewenangan MK untuk mengaturnya. Presiden dan DPR sebagai law maker adalah institusi yang berwenang menetapkan batasan usia tersebut.
Hal lain yang juga fundamental adalah bahwa sejak berdiri, MK telah mempertegas batasan tafsir diskriminasi yang seringkali dijadikan argumen dan dalil pengujian konstitusionalitas norma. Banyak salah kaprah penggunaan dalil diskriminasi yang sebenarnya adalah bentuk perlakuan berbeda dalam kondisi yang berbeda. Dalam riset 10 Tahun Kinerja Mahkamah Konstitusi, Setara Institute (2013), mencatat bahwa MK telah berkontribusi memberikan batasan pemaknaan terhadap konsep diskriminasi dan nondiskriminasi.
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa perlakuan berbeda dengan diskriminasi adalah berbeda. Perlakuan berbeda dalam mengisi posisi jabatan-jabatan tertentu misalnya, dapat dibenarkan dengan menakar relevansi fungsi kelembagaan tersebut. Perlakuan berbeda atau pembedaan dapat dibenarkan sepanjang tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik serta tidak dilakukan secara sewenang-wenang dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang.
Namun semua keberatan dan catatan akademik yang disampaikan di atas, semuanya disimpangi, khususnya oleh 5 hakim Konstitusi, yang secara memalukan mengabulkan kehendak rezim.
Sebagai penutup, saya menegaskan bahwa apapun alasannya, MK telah melampaui batas kewenangannya. MK telah mengambil alih peran DPR dan Presiden, dua institusi yang mempunyai kewenangan legislasi, karena dengan putusan menerima dan mengubah bunyi Pasal tersebut, artinya MK menjalankan positive legislator.
MK juga sesuka hati menafsir ketentuan opened legal policy sesuai selera penguasa. MK yang mengklaim sebagai the sole interpreter of the constitution atau satu-satunya lembaga penafsir konstitusi, nyatanya telah memimpin penyimpangan kehidupan berkonstitusi dan mempromosikan keburukan atau kejahatan konstitusional (constitutional evil).
Di luar soal kontestasi Pilpres 2024, Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya menjadi pembeda antara rezim Orde Baru dan rezim demokrasi konstitusional pasca Orde Baru, saat ini hampir tidak ada bedanya, karena dengan bangga para hakim itu mempromosikan apa yang disebut judisialisasi politik otoritarianisme. Jika dahulu otoritarianisme diperagakan secara langsung, maka saat ini otoritarianisme dipermak melalui badan peradilan menjadi seolah-seolah demokratis padahal yang dituju adalah kehendak berkuasa dengan segala cara.
Jika dengan putusan ini Gibran Rakabuming melenggang ke bursa Pilpres 2024, tidak perlu analisis rumit untuk mengatakan bahwa putusan MK memang ditujukan untuk mempermudah anak Presiden Jokowi melanjutkan kepemimpinan bapaknya dan meneguhkan dinasti Jokowi dalam perpolitikan Indonesia. Tidak ada presiden yang sesibuk Jokowi dalam mempersiapkan penggantinya kecuali Jokowi. Hal ini terjadi bukan hanya karena nafsu kuasa Jokowi, tetapi juga kecemasan akan masa depan dirinya yang landing dari
kursi kepresidenan dengan warisan kebijakan yang buruk di banyak sektor.
Dalam kaitan dengan Pemilu 2024, pekerjaan yang harus diagendakan adalah membendung perkawinan anasir-anasir antidemokratik dalam Pilpres 2024 menguasai panggung republik. Jika Prabowo dan Gibran menyatu, maka perkawinan anasir Prabowo yang memiliki rekam jejak buruk dalam militer, termasuk diberhentikan tidak hormat oleh SBY, Agum Gumelar dkk, tetapi sekarang mendukung Prabowo, berkawin dengan unsur dinasti politik Jokowi yang memperoleh kursi kepresidenan instan melalui PDI Perjuangan di 2014 dan kemungkinan akan meninggalkan rumah dan ibu yang mengasuhnya, maka itulah sesungguhnya musuh baru demokrasi.
Dalam jangka panjang, pekerjaan mendasar menata desain ketatanegaraan, khususnya terkait dengan Mahkamah Konstitusi, harus menjadi agenda amandemen UUD 1945, jika pada periode mendatang akan diagendakan.
Jakarta, 17 Oktober 2023
*) Ketua Dewan Nasional Setara Institute
Post a Comment