Mengenang Peristiwa 9/11 Tahun 2001

Imam Shamsi Ali. (foto: muhammadiyah.or.id)


Oleh Imam Shamsi Ali *)

Pagi ini ritual rutin Pemerintah Kota New York dan Amerika Serikat (AS) kembali dilaksanakan. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya para pajabat AS, khususnya Kota New York hadir. Para tokoh masyarakat dan agama juga diundang, termasuk saya sendiri. Hanya saja, sejak tahun 2007 saya berhenti hadir.

Berhentinya saya hadir bukan karena tidak punya rasa solidaritas dengan mereka para korban atau yang dikorbankan dengan peristiwa ini. Bukan pula karena saya tidak cinta New York dan AS. Bagi saya, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

Indonesia dan Amerika keduanya adalah bumi Allah. Takdirnya saya dilahirkan di bumi Allah yang dinamai Indonesia. Siapa tahu takdir selanjutnya adalah diwafatkan di bumi Allah yang dinamai Amerika.

Alasan saya tidak lagi hadir di acara peringatan (memorial service) itu sederhana. Satu, karena memang dari awal saya tidak setuju dengan slogan Amerika “We forgive but never forget”. Bagi saya slogan ini seperti indah. Tapi menyiratkan “kebencian dan dendam” yang mendalam.

Paradoksikal dengan ajaran Islam “fa’fuu wa ishfahu” (maafkan dan lapangkan dada). Kata lapangkan dada dipahami sebagai “let it go” alias “move on”. AS dengan slogan “never forget” seolah tidak mau move on.

Alasan kedua, saya setuju bahwa peristiwa 9/11 itu sangat besar dan dahsyat bagi AS dan dunia. Peristiwa 9/11 telah mengubah banyak hal, khususnya tatanan hubungan antarmanusia, baik pada tataran kelompok (antaragama misalnya) bahkan mungkin pada tataran global (antarnegara). Berbagai isu internasional bahkan mendadak terdefenisikan dengan defenisi-defenisi yang kadang di luar nalar, bahkan merendahkan nalar manusia.

Tapi yang lebih penting bagi saya adalah adanya nuansa “playing victim” dan “perception building” yang terjadi dengan peringatan ini. Sehingga menghadirinya seolah ikut membenarkannya. Dengan peringatan 9/11 itu Amerika selalu ingin menampilkan diri sebagai korban kekerasan kelompok lain. Dan pastinya dengan peristiwa 9/11 ini kelompok Islamlah yang menjadi tertuduh sebagai pelaku.

Buntut peristiwa 9/11 memang dahsyat. Kita bisa membayangkan “the magnitude” (dahsyatnya) peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Dari Afghanistan, ke Irak, ke Suriah, hingga ke Libya.

Saya bukan membandingkan kejahatan dengan kejahatan. Bagi saya peristiwa 9/11 dengan korban hampir 3000 jiwa manusia adalah kejahatan. Tapi pernahkah kita sadar bahwa ratusan ribu korban di Afghanistan, Irak, Suriah, dan Libya juga kejahatan yang sebenarnya lebih dahsyat? Lalu kenapa hanya peristiwa 9/11 yang dikenang dengan segala rasa “haru dan sedih?”

Di sinilah saya kemudian terpikir jika ada sesuatu yang salah dengan peringatan ini. Akhirnya sejak tahun 2008 hingga kini undangan itu masih saya terima. Namun saya memutuskan untuk tidak menghadirinya.

Saya termasuk satu dari tokoh agama yang pertama kali menginjakkan kaki di Ground Zero. Bahkan satu dari 7 tokoh agama yang diundang mendampingi Presiden AS Bush berkunjung ke Ground Zero pertama kali. Tapi alam kesadaran saya dari tahun ke tahun tergelitik ternyata peringatan ini bisa jadi salah satu bentuk ketidakadilan dunia. Why America, and not Irak and others?

Kata orang Amerika “whatever” (apapun) peristiwa 9/11 telah terjadi dengan seribu teka-teki yang tak kunjung terjawab dalam dunia yang penuh keterbatasan, bahkan kepura-puraan. Seringkali saya ditanya tentang peristiwa ini. Fakta dan realitanya apa. Jawaban saya selalu “realitanya akan Anda dapatkan dengan kehebatan media dan “perception building” atau imej yang terbangun. Selebihnya “Allah wa intelijen Amerika” a’lam.

Bagi kami saat ini adalah banyak membuka mata, telinga, dan akal sehingga keindahan bunga-bunga yang bersemi dari batang dan dahan berbunga (9/11) dapat kami petik dan nikmati. Salah satunya adalah momentum dakwah yang terbuka luas tumbuh karena peristiwa Emergency call (91) itu. Betapa Islam terekspose luas, bahkan dengan tujuan jahat sekalipun, menjadikan keindahan bunga-bunga (dakwah) itu pada akhirnya tak akan lagi tersembunyikan. Wa lillahil hamd!

Manhattan City, Amerika Serikat, 11 September 2023 



*) Saksi mata peristiwa 9/11 di NYC.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.