Kasus Rempang, Muhammadiyah Nilai Pemerintah Gagal Laksanakan Konstitusi

Konflik di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.(foto: liputan6.com/ajang nurdin)

JAKARTA -- Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah merespons konflik di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Muhammadiyah menuding Pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) gagal melaksanakan mandat konstitusi dengan menggusur masyarakat yang telah berada di sana jauh sebelum Indonesia merdeka.  

 

Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) & Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah dalam keterangan tertulisnya menyebutkan bahwa masyarakat telah menempati pulau itu sejak 1834, jauh sebelum Indonesia merdeka pada 1945. Karena itu, Muhammadiyah mengkritik pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, yang menyatakan bahwa wilayah tersebut belum pernah digarap.

"Faktanya, masyarakat di sana telah ada sejak tahun 1834. Menko Polhukam nampak jelas posisinya membela kepentingan investor swasta dan menutup mata pada kepentingan publik, termasuk sejarah sosial budaya masyarakat setempat yang telah lama dan hidup di pulau tersebut," demikian keterangan tertulis yang diterima Gebrak.id, Rabu (13/9/2023).

PP Muhammadiyah pun menyinggung soal frasa dalam UUD 1945 yang menyatakan tujuan pendirian negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia ini menyebut penggusuran tersebut jelas menunjukkan Pemerintahan Presiden Jokowi gagal menjalankan mandat dari konstitusi tersebut.

"Selain itu, negara gagal menjalankan Pasal 33 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat," cetus PP Muhammadiyah.

Sebaliknya, PP Muhammadiyah menilai penggusuran paksa itu merupakan bentuk keberpihakan negara terhadap investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis.

Atas dasar itu, PP Muhammadiyah pun mendesak Presiden Jokowi dan Menteri Koordinator Bidang Perkonomian Airlangga Hartarto untuk mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco-City sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Muhammadiyah juga mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memerintahkan bawahannya untuk membebaskan masyarakat yang sempat ditahan pasca-bentrokan beberapa hari lalu.

PP Muhammadiyah juga meminta Kapolri dan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono untuk menarik seluruh pasukannya dari lokasi konflik. "Mengevaluasi penggunaan gas air mata dalam kekerasan yang terjadi pada tanggal 7 September 2023 di Pulau Rempang serta mencopot Kapolda Kepulauan Riau, Kapolres Barelang, dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam yang terbukti melakukan kekerasan pada masyarakat sipil," tulisnya.

PP Muhammadiyah juga meminta pemerintah untuk menjamin hak masyarakat Pulau Rempang untuk menempati wilayah yang selama ini digunakan untuk hidup. Muhammadiyah juga meminta pemerintah untuk mengedepankan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), menggunakan cara dialog yang damai, serta mengutamakan kelestarian lingkungan dan keadilan antargenerasi untuk menyelesaikan masalah ini.

Pemerintah juga diminta untuk melakukan pemulihan terhadap perempuan dan anak-anak yang menjadi korban aksi kekerasan pada Kamis pekan lalu.

Selanjutnya, PP Muhammadiyah juga mendesak Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk menyusun rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan jangka menengah (RPJM) yang penuh dengan partisipasi bermakna dari masyarakat. "Melibatkan pihak-pihak yang akan terdampak serta memastikan prinsip keadilan antar generasi," tulisnya.

Terakhir, PP Muhammadiyah juga mendesak DPR RI untuk mengevalusi peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan mandat konstitusi. Pasalnya, Muhammadiyah menilai peraturan tersebut akan menjadikan masyarakat sebagai korban dan melanggengkan krisis sosio-ekologis.

Rempang Eco-City merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek dengan luas sekitar 17.000 hektare itu rencananya akan menjadi menjadi kawasan ekonomi terintegrasi yang menghubungkan sektor industri, jasa dan komersial, residensial/permukiman, agro-pariwisata, dan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Proyek ini akan digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG). Perusahaan itu merupakan anak usaha Grup Artha Graha, kelompok usaha yang dibangun Tomy Winata.

 

(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.