Jokowi dan Rocky: Antara Etika dan Pidana
Dr. Abdul Aziz, M.Ag (foto: istimewa)
Oleh Dr. Abdul Aziz, M.Ag. *)
Etika adalah sumber hukum dalam kehidupan individu dan sosial. Tanpa etika, kehidupan menjadi centang perenang.
Di era global warming sekarang ini, etika menjadi kunci untuk menyelamatkan bumi. Relasi antara manusia dan ekosistem alam, misalnya, akan terbangun harmonis jika etika mengemuka dalam kehidupan. Pemberlakuan hukum perdata dan pidana dalam konteks hubungan manusia dan alam, tidak cukup memadai untuk menyelamatkan planet bumi.
Dalam perspektif inilah kaum environmentalis dalam kampanyenya, lebih mengusung slogan etika ketimbang hukum pidana. Ini karena etika jauh menembus kesadaran manusia "in nature" ketimbang kesadaran manusia "in law".
Barangkali, itulah sebabnya Allah memberikan pelajaran kepada Musa ketika Sang Kalamullah diperintah Tuhan menghadap Fir'aun. Allah meminta Musa agar berkata lemah lembut kepada Fir'aun agar Sang Raja Mesir itu terketuk hatinya untuk bertaubat (lihat Surat Thaha ayat 44).
Bayangkan, betapa Allah menyuruh Musa untuk mengedepankan etika berbicara kepada Fir'aun. Padahal Fir'aun jelas-jelas menentang Tuhan dan mengaku dirinya lebih berkuasa dari Allah. Dalam konteks inilah, manusia mendapat pelajaran bahwa etika harus didahulukan dalam mempertimbangkan suatu ucapan dan tindakan.
Rocky Gerung, yang dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI), seharusnya mengambil pelajaran dari peristiwa yang diceritakan kitab suci tadi. Sebelum mengeluarkan umpatan "bajingan tolol dan bajingan pengecut" kepada Presiden RI Jokowi. Rocky seharusnya mempertimbangkan situasi dan kondisinya. Apakah kata-kata tersebut pantas dikemukakan untuk mengritik Presiden Jokowi?
Sangat mungkin Rocky sudah mempertimbangkan ujaran kebenciannya karena Presiden Jokowi tidak akan melaporkan Rocky kepada polisi. Rocky niscaya paham betul bahwa ujaran toxic-nya kepada Jokowi adalah delik aduan. Artinya, jika Jokowi tidak melaporkan kasusnya langsung ke polisi, Rocky aman-aman saja. Laporan relawan Jokowi pun jika kasusnya berbasis delik aduan, tidak akan diterima polisi.
Tentu saja, Jokowi -- seperti biasanya -- tidak ambil pusing atas kasus Rocky tadi. Istana pun -- seperti dinyatakan Menkopolhukam Prof. Mahfud MD -- tidak akan mengadukan Rocky kepada Bareskrim Polri. Bagi Jokowi masalah penghinaan Rocky tersebut dianggap kecil. Bagi manusia yang "sudah selesai dengan dirinya sendiri" seperti Jokowi, cacian dan hinaan sudah dianggap angin lalu. Biarlah waktu yang akan membuktikan, benarkah tuduhan Rocky bahwa Jokowi adalah bajingan tolol dan bajingan pengecut.
Tentu saja, apa yang dikatakan Rocky Gerung di depan massa buruh di Bekasi, 29 Juli 2023, itu -- menyentak pendukung dan relawan Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019. Betul Jokowi sebagai pribadi tidak mempermasalahkan ujaran beracun Rocky. Tapi tidak bagi pendukung dan relawan. Mereka tersakiti. Apalagi mereka tahu bahwa kepuasan rakyat Indonesia terhadap kinerja Presiden Jokowi mencapai 80 persen. Sebuah pengakuan positif rakyat terbesar dalam catatan sejarah kinerja kepresidenan di Indonesia.
Mungkin Rocky tak bisa merasakan, betapa sakitnya pendukung dan relawan terhadap ucapan toxicnya. Maka pantaslah bila kemudian mereka melaporkan alumnus Filsafat UI tersebut. Mereka melaporkan Rocky dengan delik aduan Pasal 218 ayat (1) KUHP, yang isinya 'Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp 200 juta)'. Laporan ini ditolak Bareskrim karena yang mengadukan bukan Presiden Jokowi sendiri. Dan tampaknya mustahil jika Jokowi mau mengadukan hal tersebut.
Amankah Rocky karena Jokowi tidak melaporkannya secara pribadi langsung ke polisi? Ternyata tidak. Rocky tampaknya tidak sadar bahwa hukum acapkali punya celah untuk mencari jalannya sendiri.
Dan, Rocky terjerat. Ia dilaporkan ke Polda Metro Jaya, dengan sangkaan melanggar Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dan/atau Pasal 156 KUHP dan/atau Pasal 160 KUHP dan/atau Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 dan/atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal-pasal tersebut merupakan delik biasa. Karena delik biasa, relawan dan pendukung Jokowi pun melaporkan Rocky tanpa kehadiran presiden. Walhasil Rocky harus siap menghadari ruang pengadilan yang kaku dan menegangkan nanti.
Kembali kepada problem etika dan pidana. Dalam kasus Rocky, masalah etika ini ternyata bertautan dengan pidana.
Rocky tampaknya kurang peka ketika mengucapkan kata bajingan tolol dan bajingan pengecut, masa relawan dan pendukung Jokowi akan bangkit. Mereka bangkit dengan logika rasional karena apa yang dituduhkan Rocky bertentangan dengan fakta. Rocky mungkin masih "selamat" dari jeratan hukum ketika berujar kitab suci adalah fiksi. Tapi kali ini, Rocky tidak bisa menghindari kejaran hukum tadi. Karena keberhasilan Presiden Jokowi membangun Indonesia bukan fiksi. Tapi fakta yang sulit diingkari.
*) Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said, Surakarta
Post a Comment