Sesat Pikir UU Kesehatan, Perspektif Pengendalian Tembakau

Tulus Abadi. (foto: ylki.or.id)

Oleh Tulus Abadi *)


Keberadaan UU Omni Buslaw bidang Kesehatan, yang disahkan oleh DPR RI pada Selasa, 11 Juli 2023, memang dalam banyak hal harus disorot (diprotes) dengan tajam.

Salah satu hal yang mengantongi cacat fatal pada UU Kesehatan adalah ketentuan pada Pasal 151 ayat 3, yang mewajibkan adanya fasilitas/tempat khusus untuk merokok (smoking room) pada tempat umum dan tempat kerja. Ketentuan yang diatur pada Pasal 151 ayat 3, itu terlihat sepele, tetapi secara fundamental pasal ini cacat normatif, ideologis, dan bahkan etik moral.

Bagaimana mungkin aktivitas penggunaan zat adiktif (merokok) yang notabene menyakiti/merusak dirinya dan orang lain, bahkan merupakan aktivitas bunuh diri, tetapi harus disediakan infrastruktur/fasilitas khusus?

Dari perspektif apa pun ketentuan ini adalah sesat pikir, alias keblinger. Nanti orang yang menggunakan minuman beralkohol (miras) juga menuntut hak yang sama, mereka menuntut adanya ruang khusus, untuk minum dan mabuk. Tembakau/rokok dan minuman beralkohol/miras (yang legal) sama sama benda/komoditas yang kena cukai.

Dari perspektif ekonomi ketentuan ini juga akan memberatkan karena pengelola tempat umum/tempat kerja harus membangun/menyediakan ruang khusus untuk merokok. Sangat kontraproduktif tentunya.

Sungguh keblinger, untuk menjadi sehat malah dihalangi-halangi oleh negara. Negara justru mendorong dan menjustifikasi aktivitas bunuh diri oleh warganya dengan zat adiktif. Inilah sesat pikir dari UU Kesehatan pada aspek pengendalian tembakau.

Pasal 151 ayat 3 yang sesat pikir ini harus segera dicabut, tentunya melalui proses uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).  



*) Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI
)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.