Pemerintah Dorong Publisher Right Ciptakan Hubungan Setara Bagi Industri Media

Perusahaan multinasional Amerika Serikat yang bergerak di bidaang jasa dan produk Internet, Google/ilustrasi. (foto: pixabay)


JAKARTA -- Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) RI, Nezar Patria, menegaskan pentingnya mencipatakan regulasi melalui publisher right, agar tercipta fair playing field bagi industri media nasional. Menurutnya, industri media dalam 10 tahun terakhir mengalami penurunan yang cukup signifikan di tengah tantangan badai disrupsi digital.

"Publisher right ini mencoba membuat satu fair playing field buat perusahaan media dan juga platform digital," ujar Nezar dalam program Fokus Terkini di Studio TVRI Jakarta Selatan, Rabu (26/7/2023).

Menurut Nezar, badai disrupsi digital kehadiran media sosial yang menghidangkan beragam informasi saat ini menggeser peran media mainstream sebagai panji jurnalisme yang berkualitas. Untuk itu, penting adanya regulasi yang dapat melindungi industri media nasional.

"Pemerintah coba berdiri di tengah. Kita juga tidak ingin mematikan ekosistem digital yang sudah bertumbuh. Bagaimana ini disiasati untuk melindungi kedaulatan digital, melindungi data yang kita miliki, melindungi industri media nasional," tegas Wamenkominfo.

Menurut Nezar, kebijakan ini strategis untuk dapat mendorong inovasi teknologi anak bangsa. "Ini memang kebijakan strategis yang harus diambil bukan hanya bertumbuh pada sisi komersialnya saja, tapi bagaimana dukungan terhadap inovasi teknologi karya anak bangsa."

Namun Wamenkominfo menekankan, aturan ini bukan berarti mendorong bangsa Indonesia menutup diri dari perkembangan global. "Bukan berarti kita jadi chauvinistic, menutup diri dari perkembangan global, tapi kolaborasi dengan global hendaknya dilakukan dengan azas yang fair."

Nezar mengingatkan, jangan sampai bangsa Indonesia terjebak menjadi pasar di tengah proses datafikasi yang dilakukan perusahaan teknologi global. "Yang dilakukan big tech sebetulnya suatu datafikasi yang luar biasa, tapi karena hubungan asimetris kita takut terjadi kolonialisme data. Kita jangan hanya menjadi pasar. Kita ingin hubungan yang setara," tegasnya.

Aturan publisher right, lanjut Nezar, saat ini tengah digodok dan diproses di Sekretariat Negara untuk kemudian dikoordinasikan dengan kementerian dan lembaga lainnya. "Perpres masih sedang digodok. Dari Kominfo sudah selesai diskusinya. Sekarang sudah proses ke Setneg. Nanti di Setneg akan ada proses lagi sebelum ditandatangani oleh presiden," ujarnya.

Sementara itu Dewan Pengawas TVRI, Agus Sudibyo mengatakan, media massa merupakan dualitas antara institusi sosial dan institusi ekonomi yang berjalan beriringan. Namun faktanya tidak ada media jurnalisme yang bagus jika secara bisnis tidak menguntungkan. "Memperjuangkan hak ekonomi media sama pentingnya dengan memperjuangkan kebebasan pers, walaupun sebagai institusi bisnis, media menghadapi situasi yang sangat monopolistik."

Menurut Agus, publisher right memiliki beragam fungsi, baik menjaga good journalism, maupun menjaga ekosistem media yang monopolistik. Namun ia melanjutkan, publisher right juga bukan sebagai obat mujarab yang bisa menyelesaikan semua persoalan.  

"Publisher right itu penting sekali sebagai fondasi tapi dia bukan satu-satunya yang kita butuhkan untuk menyehatkan kehidupan media massa di tanah air belakangan ini. Karena publisher right sebagai fondasi penting agar media memiliki kemampuan posisi negosasi yang kuat dengan platform tetapi di saat yang sama media harus melakukan inovasi-inovasi yang lain, bagaimana menempatkan diri dan menyesuaikan diri dengan perubahan ekologi konsumsi media yang berubah-ubah," kata Agus menjelaskan.


Google mengkritik


Sebaliknya, perusahaan multinasional Amerika Serikat yang berkekhususan pada jasa dan produk internet, Google, mengkritisi rencana peraturan presiden (perpres) baru di Indonesia tentang jurnalisme atau dikenal sebagai Perpres tentang Jurnalisme Berkualitas atau dikenal pula sebagai Publisher Right. Alasannya, aturan ini dianggap mengancam keberlangsungan jurnalistik di tanah air.

Vice President Government Affairs and Public Policy, Google APAC, Michaela Browning menilai rancangan perpres tersebut dapat membatasi keberagaman sumber berita bagi publik.

Sebab, aturannya dinilai memberikan kekuasaan kepada sebuah lembaga non-pemerintah untuk menentukan konten apa yang boleh muncul secara daring, serta penerbit berita mana yang boleh meraih penghasilan dari iklan.

“Sebagaimana yang telah kami sampaikan kepada Pemerintah Indonesia, kami khawatir bahwa, jika disahkan tanpa perubahan, rancangan terbaru Perpres tentang Jurnalisme Berkualitas yang tengah diusulkan saat ini tidak dapat dilaksanakan,” kata Browning dalam keterangan persnya melalui Google Blog, Rabu (26/7/2023).

Dalam versi baru peraturan tersebut, Google tidak bisa mengunggah berita dari perusahaan pers ke platform mereka. Perusahaan itu pun diwajibkan wajib menjalin kerja sama dengan perusahaan pers, agar bisa memampang karya jurnalistiknya, atau dikenal dengan publishers rights.

Menurut Browning, apabila aturan itu disahkan dalam versi sekarang, peraturan berita yang baru ini secara langsung dapat mempengaruhi kemampuan pihaknya untuk menyediakan sumber informasi online yang relevan, kredibel, dan beragam bagi pengguna produk Google di Indonesia.

“Akibatnya, segala upaya yang telah dan ingin kami lakukan untuk mendukung industri berita di Indonesia selama ini dapat menjadi sia-sia,” ucapnya.

Browning mencatat, setidaknya terdapat dua kekhawatiran terhadap keberlangsungan dunia jurnalistik di Tanah Air jika peraturan itu disahkan. Pertama, peraturan itu dianggap membatasi berita yang tersedia daring.

Menurutnya, peraturan ini hanya menguntungkan sejumlah kecil penerbit berita dan membatasi kemampuan pihaknya untuk menampilkan beragam informasi dari ribuan penerbit berita lainnya di seluruh nusantara.

Selain itu, kata dia aturan barunya dianggap merugikan ratusan penerbit berita kecil di bawah naungan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).

“Masyarakat Indonesia yang ingin tahu berbagai sudut pandang pun akan dirugikan, karena mereka akan menemukan informasi yang mungkin kurang netral dan kurang relevan di internet,” ujar Browning.

Kedua, aturan tersebut dinilai mengancam eksistensi media dan kreator berita. Padahal menurut Browning, mereka adalah sumber informasi utama bagi masyarakat Indonesia.

“Tujuan awal peraturan ini adalah membangun industri berita yang sehat, tetapi versinya yang terakhir diusulkan malah mungkin berdampak buruk bagi banyak penerbit dan kreator berita yang sedang bertransformasi dan berinovasi,” terangnya.

Kekuasaan baru yang diberikan kepada sebuah lembaga non-pemerintah yang dibentuk oleh dan terdiri dari perwakilan Dewan Pers, menurut dia hanya akan menguntungkan sejumlah penerbit berita tradisional saja dengan membatasi konten yang dapat ditampilkan di platform Google.

Seperti diketahui, rancangan perpres tersebut pertama kali diusulkan pada tahun 2021 lalu. Perpres itu memuat aturan supaya Google menjalin kerja sama dengan perusahaan pers agar bisa menampilkan karya berita milik perusahaan pers pada platform mereka, seperti pada pencarian Google dan Google News.

Kementerian Kominfo telah mengirim naskah rancangan perpres yang dikenal dengan publisher right itu ke Presiden RI Joko Widodo. Terdapat delapan kewajiban platform digital terhadap dunia pers Tanah Air, di antaranya adalah mendukung jurnalisme berkualitas, termasuk mencegah komersialisasi konten yang tidak sesuai dengan kaidah jurnalistik.

Platform digital juga berkewajiban menghilangkan berita yang tidak sesuai kode etik jurnalistik sesuai perintah Dewan Pers.

Tak hanya itu, kewajiban lainnya adalah berbagi data agregat aktivitas pengguna dengan perusahaan pers secara transparan dan adil, serta tidak menampilkan konten yang merupakan hasil daur ulang produk jurnalistik tanpa izin.

Platform digital juga dituntut untuk mengikuti ketentuan lain seperti perpajakan layaknya sebuah perusahaan atau bisnis yang beroperasi di Indonesia.


(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.