Mahalnya Biaya Politik Dinilai Jadi Pemicu Korupsi

 

Politik uang/ilustrasi. (foto: pixabay)

JAKARTA -- Wakil Ketua KPK RI Alexander Marwata menilai modal puluhan miliar rupiah yang dikeluarkan para calon kepala daerah untuk mengikuti pemilihan umum mengakibatkan proses politik menjadi sebuah transaksi bisnis.

"Kenapa banyak kepala daerah yang terjerat korupsi? Karena biaya politik kita yang sangat mahal," kata Alexander dalam Media Gathering Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 di Hotel Pullman Jakarta, Senin (3/7/2023), dikutip dari Antara.

Menurut Alexander, mahalnya biaya politik membuat banyak kepala daerah usai terpilih justru terjerat kasus korupsi. Berdasarkan survei KPK dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), biaya yang dibutuhkan untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau wali kota sebesar Rp 20 sampai 30 miliar.

Kendati demikian, lanjut Alexander, jumlah biaya politik itu belum tentu membuat kandidat para calon kepala daerah memenangkan kontestasi politik. Ia mengatakan para calon pemimpin itu pun harus merogoh kocek lebih dalam sekitar Rp 50 miliar hingga Rp 70 miliar pabila daerah yang akan dipimpinnya kaya akan sumber daya alam (SDA), "Kalau mau menang harus dilipatgandakan Rp 50 miliar-Rp 70 miliar, tergantung daerah, apakah daerah kaya akan sumber daya alam, akan lebih tinggi lagi," jelas dia.
 

Alexander menjelaskan dari survei yang dilakukan KPK dan Kemendagri, tidak semua biaya berasal dari kandidat calon kepala daerah. Ia menyebutkan biaya tersebut juga berasal dari sponsor yang rata-rata merupakan pengusaha setempat. "Memang dari survei kami, tidak semua biaya itu dari kantong calon, tapi ada sponsor yang rata-rata adalah para vendor atau pengusaha setempat biasanya pengusaha konstruksi."

Alexander mengatakan, pihaknya melakukan survei terhadap para pengusaha yang mendukung pendanaan calon kepala daerah. Hasil survei tersebut mengungkapkan bahwa biaya yang dikucurkan tidak diberikan secara cuma-cuma. "Harapan mereka kalau calon yang didukung menang, setidaknya nanti kalau ikut lelang proyek itu dipermudah," jelasnya.

Melihat realitas ini, Alexander mengaku tak heran apabila terjadi permasalahan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa maupun pembangunan infrastruktur yang tidak sesuai harapan. Pasalnya, ada utang politik yang harus dibayar kepada sponsor yang sudah mendukung selama pemilihan kepala daerah (pilkada). "Salah satu akar persoalan di situ. Ada utang politik yang harus dibayar oleh kepala daerah kepada donatur pendukung para calon kepala daerah. Itu persoalannya," katanya menegaskan.


(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.