Korupsi Gila-Gilaan

Dr Abdul Azis. (foto: istimewa)

Oleh Dr. Abdul Azis, M.Ag. *)


Ini gila! Ada korupsi nyaris 100 persen dari nilai proyek. Tepatnya 94,67 persen dari total biaya proyek tersebut. Wow! Luar biasa. Apa yang harus kita katakan tentang korupsi macam itu? Gila! Benar-benar gila!

Kasus itu terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Pembangunan Rumah Sakit (RS) Pratama di Boking, TTS, diduga mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 16,54 miliar dari anggaran total Rp 17,5 miliar (Kompas 16/7/2023). Kasus korupsi gila-gilaan ini harus diusut tuntas. Sebab akibat korupsi ini,  rakyat di daerah terpencil yang butuh rumah sakit, gigit jari.

RS Boking berada di daerah terpencil timur Pulau Timor. Jarak Boking dengan Soe (ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan), 155 km. Waktu tempuh dari Boking sekitar 4 jam. Jalan rayanya tidak mulus seperti di Jawa.

Di kabupaten ini hanya ada satu rumah sakit, di Soe. Selama ini pasien gawat darurat dari Boking dan desa-desa sekitarnya dibawa ke Soe. Warga menyewa mobil bak  terbuka untuk mengangkut pasien kritis. Tak ada ambulan di sana. Juga tak ada angkutan umum. Akibatnya pasien gawat darurat banyak yang tidak tertolong. Meninggal di tengah jalan.

Masyarakat minta kepada pemerintah pusat, melalui DPRD dan pemda, dibuatkan rumah sakit. Pemerintah pun mengabulkan aspirasi masyarakat tersebut.

Tapi apa lacur? Dana pembangunan RS dikorupsi. Pembangunan RS asal-asalan, tidak memenuhi kriteria yang diharapkan masyarakat. Uangnya ke mana? Sungguh ironis. Hampir 100 persen anggaran proyek RS Boking dikorupsi.

Selama ini, kita hanya mendengar, korupsi anggaran pembangunan di Indonesia berkisar 40-60 persen. Provinsi Banten di bawah Gubernur Ratu Atut Chosiyah (2007-2015),  misalnya, terkenal sebagai daerah terkorup di Indonesia. Sampai-sampai Atut Chosiyah -- politisi Partai Golkar itu -- mendapat julukan Ratu Korupsi.  

Ini karena hampir semua proyek di Banten, zaman Atut, rata-rata disunat lebih dari 50 persen nilai proyek. Uang itu dibagi-bagi untuk keluarga Atut, jawara, dan birokrat. Walhasil nyaris setiap proyek seperti gedung, jalan raya, dan fasilitas umum lain di Banten saat itu kualitasnya buruk sekali. Karena dana pembangunannya nyaris habis dikorupsi.

Nominal korupsi di proyek Rumah Sakit Pratama Boking, TTS ini memang kecil, hanya Rp 16,54 miliar, tidak sampai triliunan rupiah. Tapi kalau dilihat dari persentase nilai proyeknya, luar biasa besar, hampir 100 persen. Ini yang keterlaluan. Gila.

Tapi, kalau kita telusuri, ada yang lebih gila lagi. Yaitu korupsi di proyek-proyek non-fisik -- seperti seminar, pelatihan (training), rapat-rapat koordinasi, dan lain-lain. Di proyek non-fisik ini, persentase korupsinya benar-benar 100 persen. Alias anggaran proyek tersebut ditilep semua. Habis bis! Proyek yang dikorup gila-gilaan ini umumnya proyek pusat. Tapi pelaksanaannya di daerah.

Di sebuah kementerian yang proyeknya kebanyakan di daerah -- baik proyek fisik maupun non-fisik -- anggarannya banyak sekali dikorupsi. Misal, satuan lembaga di kementerian tadi mengadakan seminar dan pelatihan di daerah. Anggarannya ada. Laporan pelaksanaan lengkap. Daftar hadir peserta komplet. Bukti foto ada. Tapi wujud proyeknya 'adam. Alias tak ada. Fiktif.

Jadi semua laporan tadi, fiktif belaka. Lalu uang proyeknya ke mana? Ya, dibagi-bagi. Semua pihak yang berkepentingan mendapat bagian. Di kantor kementerian tersebut, misalnya, ada "agen pembuat cap" untuk kebutuhan "fake administration". Jenis dan macam cap apa saja untuk daerah mana saja, sudah tersedia di agen tersebut.

Modus lain yang sebenarnya korupsi 100 persen tapi  dianggap "halal" adalah membiarkan fasilitas tempat yang ada (milik negara), yang biayanya gratis, kemudian mencari fasilitas lain (milik swasta) yang berbayar mahal. Satu contoh lembaga negara X yang gedungnya bagus dan fasilitas ruangannya lengkap -- tapi ketika mengadakan seminar atau training menyewa ruangan hotel yang mahal. Ini sama saja dengan korupsi karena menghambur-hamburkan uang negara.

Ada tempat seminar milik sendiri yang bagus dan gratis, kenapa sewa tempat milik swasta yang berbayar dan mahal? Presiden RI Joko Widodo pernah marah kepada pejabat daerah tertentu karena dana proyek untuk mengatasi stunting ternyata 75 persennya sudah habis untuk rapat dan biaya dinas yang tidak urgen.

Ada sebuah cerita menarik yang beredar di kalangan birokrat di sebuah kementerian. Seorang menteri dari partai politik tertentu membawa staf khusus 5 orang untuk "membantunya" di kantor. Sang menteri minta "Bagian Keuangan" menggaji staf khususnya Rp 75 juta per orang. Bos tak mau tahu. Pokoknya uang gaji staf khususnya harus ada tiap bulan. Padahal gaji staf khusus menteri, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) berkisar 7,5 juta per orang.

Ini artinya, sang menteri menaikkan gaji 10 kali lipat dari yang seharusnya. Akibatnya bagian keuangan kementerian tersebut "terpaksa melakukan korupsi". Yang paling aman adalah manipulasi perjalanan dinas. Tiket pesawat fiktif, uang perjalanan fiktif, hotel fiktif, dan biaya-biaya fiktif lain untuk "orang fiktif" dibuat oleh bagian keuangan untuk memenuhi permintaan menteri tadi. Gila!

Tentu masih banyak lagi modus korupsi di negeri yang --pinjam istilah Menkeu RI Sri Mulyani-- sistemnya sudah rusak itu. Ke depan, kalau kita ingin melihat Indonesia survive dan maju, maka pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas utama. Harus ada reformasi struktur birokrasi sangat radikal untuk mencegah korupsi. Tanpa itu, nonsense!


*) Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.