Koalisi Masyarakat Sipil Kritik KPK yang Minta Maaf ke TNI Terkait Korupsi Basarnas

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI. (foto: detik.com)

JAKARTA -- Langkah pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI yang meminta maaf ke TNI mendapatkan kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menganggap permintaan maaf KPK kepada TNI itu tidak tepat.

Hal ini buntut dari KPK yang menetapkan Kepala Basarnas RI, Marsdya Henri Alfiandi, dan Koorsmin Kabasarnas, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto, sebagai tersangka korupsi proyek pengadaan barang di Basarnas.

Permintaan maaf itu disampaikan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak usai dikunjungi Puspom TNI pada Jumat (28/7/2023). Alasannya karena penyidik KPK khilaf menetapkan personel militer aktif sebagai tersangka. Padahal, tiga hari sebelumnya, Wakil Ketua KPK lainnya, Alexander Marwata, menegaskan, penetapan tersangka itu sudah melewati prosedur hukum yang tepat.

"Kami menilai, KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas kepada Puspom TNI merupakan langkah yang keliru dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia," ujar juru bicara koalisi, Julius Ibrani, dalam pernyataan resminya yang diterima redaksi Gebrak.id, Sabtu (29/7/2023).

Koalisi menilai, penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan barang di Basarnas seharusnya menggunakan pijakan UU KPK. Sebab, korupsi merupakan kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus. Sehingga dengan demikian, KPK bisa memproses hukum personel militer aktif yang terlibat.

"KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis yang artinya UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum," kata Julius menegaskan. "Dengan demikian KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf."

Pria yang juga Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) ini menilai, permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI, hanya akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel. "Permintaan maaf dan penyerahan proses hukum keduanya tersebut bisa menjadi jalan impunitas bagi keduanya," tegas dia.

Julius menambahkan, sistem peradilan militer sebagaimana yang diatur dalam UU No 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan sistem hukum yang eksklusif bagi prajurit militer yang terlibat dalam tindak kejahatan dan seringkali menjadi sarana impunitas bagi mereka yang melakukan tindak pidana. Padahal dalam Pasal 65 ayat (2) UU TNI sendiri mengatakan bahwa “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”

Terkait penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK terhadap Kabasarnas RI dan Koorsmin Kabasarnas ini, lanjut Julius, tentu hal tersebut sudah benar karena dilakukan sebagai tindak lanjut dalam suatu operasi tangkap tangan (OTT) bersama dengan masyarakat sipil lainnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu mentersangkakan pemberi suap dan penerima suap.

"Akan menjadi aneh jika KPK justru tidak mentersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya padahal dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap," jelas Julius. "Yang sudah menjadi tersangka tidak bisa mendalilkan bahwa penetapan tersangka terhadap mereka hanya bisa dilakukan oleh penyidik di institusi TNI karena dugaan korupsi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan institusi TNI dan kepentingan militer."

Koalisi memandang, skandal korupsi yang terjadi di tubuh Basarnas yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif ini menunjukkan masih lemahnya akuntabilitas dan transparansi di lembaga-lembaga yang terkait dengan militer. Kasus ini, lanjut Julius, harus dijadikan momentum untuk mengevaluasi proses pengadaan barang atau jasa lainnya dalam institusi militer, baik secara internal yaitu di TNI maupun lembaga eksternal lainnya, agar transparan dan akuntabel sehingga tidak menimbulkan keruguian keuangan negara.

Koalisi juga menilai bahwa korupsi di tubuh TNI juga diakibatkan oleh kegagalan Menteri Pertahanan (Menhan) RI dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap TNI yang jelas berada di bawahnya berdasarkan UU TNI yang dikuatkan Putusan MK No.9/PUU-IX/2011. Selain Menhan, kegagalan pengawasan TNI juga patut dialamatkan kepada Menko polhukam yang gagal menjalankan fungsi pengawasan terhadap unsur organisasi yang berada di bawah Lingkungan Kemenpolhukam.

Atas dasar hal tersebut, kata Julius, Koalisi mendesak KPK untuk mengusut tuntas secara transparan dan akuntabel dugaan korupsi yang melibatkan Kabasarnas dan anak buahnya tersebut. "Pengungkapan kasus ini harus menjadi pintu masuk mengungkap kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan prajurit TNI lainnya, baik di lingkungan internal maupun eksternal TNI."

Pemerintah dan DPR RI, sambung Julius, juga harus segera merevisi UU No 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer karena selama ini sering digunakan sebagai sarana impunitas dan alibi untuk tidak mengadili prajurit TNI di peradilan umum. "Apalagi revisi UU Peradilan Militer ini menjadi salah satu agenda yang dijanjikan oleh Presiden RI Jokowi pada Nawacita periode pertama kekuasaannya," jelasnya.

Pemerintah pun wajib mengevaluasi keberadaan prajurit TNI aktif di berbagai instansi sipil, terutama pada instansi yang jelas bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU TNI, karena hanya akan menimbulkan polemik hukum ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif tersebut. "Seperti dugaan korupsi yang tidak bisa diusut secara cepat dan tuntas karena eksklusifisme hukum yang berlaku bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana," kata Julius menegaskan. 


(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.