Bahaya yang Mengintai Bila Anak Kecanduan Main Game
Menjaga anak agar tak kecanduan main game/ilustrasi. (foto: pixabay)
JAKARTA -- Seorang anak berusia 13 tahun di Cina belum lama ini diketahui menghabiskan 120 ribu yuan atau sekitar Rp 250 juta untuk transaksi dalam game. Saat ditelisik lebih dalam, terungkap bahwa sebelumnya anak itu telah menghabiskan 210 ribu yuan atau sekitar Rp 438 juta untuk pembelian lain dalam gim dan 100.000 yuan atau sekitar Rp 208 juta untuk transaksi game teman sekelasnya.
Di Indonesia, pada 2021 lalu, sempat viral orang tua yang marah kepada petugas supermarket karena membiarkan anaknya melakukan top-up atau pengisian dalam gim daring sebesar Rp 800 ribu. Artinya, pengawasan terkait transaksi dalam game perlu lebih diperketat.
Risiko lain terkait kebutuhan pembelian dalam game menggunakan uang sungguhan juga cukup serius. "Ketika tidak ada uang tersedia, pasien kami yang paling impulsif melakukan pencurian, dengan membelanjakan kartu bank orang tua mereka," ujar Direktur National Center for Gaming Disorders, Profesor Henrietta Bowden-Jones, dikutip dari laman Financial Express, Selasa (18/7/2023).
Bermain game memang merupakan hiburan menyenangkan di waktu senggang. Sayangnya, itu juga bisa memicu obsesi dan reaksi berlebihan. Pakar menyoroti efek dahsyat kecanduan game, sampai ada yang lebih memilih mati daripada tidak bermain game.
Dikutip dari Financial Express, sebuah klinik bernama National Center for Gaming Disorders didirikan pada Oktober 2019 di Inggris. Hadirnya fasilitas kesehatan itu bertujuan untuk membantu mengatasi kecanduan video game.
Awalnya, klinik menargetkan membantu 50 orang per tahun, namun kini telah menerima lebih dari 850 rujukan. Profesor Henrietta Bowden-Jones menyoroti gangguan akibat game banyak dialami kalangan dewasa muda.
Bowden-Jones menjelaskan pola bahaya kerap dimulai dengan perubahan keadaan. Semula, mungkin seorang remaja pindah sekolah atau pindah rumah, sehingga ada jarak geografis dari teman-teman kehidupan nyata dan lebih banyak menghabiskan waktu bermain game.
Perubahan juga dapat mencakup jarak yang semakin jauh dari keluarga atau masalah apa pun dengan teman, seperti intimidasi. Menurut Bowden-Jones, sebagian besar pasien yang ditangani di klinik adalah laki-laki berusia sekitar 16-17 tahun. Mereka tidak tertinggal secara akademis atau dalam aspek lain kehidupan mereka, tetapi mungkin sesuatu terjadi secara tiba-tiba dan mengganggu perjalanan mereka.
"Saya pernah bertemu dengan orang tua yang anaknya masih kecil lari dari rumah di tengah malam untuk mencari wifi di tangga rumah sembarang orang, ketika koneksi internet mereka sendiri dimatikan oleh orang tua," jelas Bowden-Jones terkait perilaku kecanduan game.
Lebih jauh lagi, ada pasien yang menyatakan lebih baik mati daripada tidak bermain game, dan hal yang sama juga sudah disampaikan pasien itu kepada orang tuanya. Efek buruk lain seperti amarah tak terkendali, membuat pasien merusak pintu, benda, atau melukai orang lain.
Bowden-Jones mewanti-wanti anak yang diizinkan bermain game harus selalu meminta izin orang tua jika hendak membelanjakan uang dalam game. Jangan sampai orang tua lepas kendali dan beberapa contoh kasusnya sudah banyak terjadi hingga viral di media sosial.
(dpy)
Post a Comment