Refleksi Hari Lahir Pancasila: Pancasila yang Miskin Keteladanan
Marsekal (Purn.) Chappy Hakim. (foto: cse-aviation/antara)
Oleh Marsekal (Purn) Chappy Hakim *)
Menjadi perhatian kita semua pada setiap tanggal 1 Juni memperingati hari lahirnya Pancasila. Pada tanggal 1 Juni tahun 1945 dalam sidang BPUPKI, Ir Soekarno menyampaikan pidatonya yang untuk pertama kali mengemukakan konsep awal Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia (RI). Momentum inilah yang di kemudian hari pada setiap tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila.
Pancasila pun ditetapkan sebagai dasar negara RI. Pancasila dipandang sebagai rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila dapat dikatakan berfungsi sebagai pandangan hidup atau way of life yang mengajak setiap warga negara untuk antara lain tidak memaksakan kehendak dan menyadari betapa pentingnya bermusyawarah untuk mufakat.
Pancasila sebuah dasar negara yang menjadi landasan perjuangan bangsa menuju impiannya, menuju cita citanya. Menuju masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, tata tentrem kerta raharja, gemah ripah lohjinawi.
Tidak terasa dalam memasuki usia 78 tahun perjalanan bangsa menuju cita citanya, menuju impiannya, terlihat sekarang ini bahwa cita cita masih tetap berujud “impian” belaka.
Belum ada tanda tanda dengan Pancasila Indonesia menuju cita-cita luhurnya. Dalam realita yang sedang dihadapi sekarang yang tampak dipermukaan adalah Pancasila yang tengah meredup cahayanya. Sinar dari nilai filsafat Pancasila yang begitu luhur kini tampak seakan hanya sebatas jargon alias slogan belaka.
Ritual setiap tahun nyaris hanya menjadi ajang retorika belaka dalam membahas atau memperingati Pancasila. Tidak atau belum tampak gejala bangsa Indonesia tengah bekerja keras membanting tulang dalam upaya mencapai cita-cita bangsa.
Persoalannya sangat jelas bahwasanya posisi Pancasila masih berada dalam kawasan meja diskusi dan pembahasan belaka. Tidak atau belum terlihat “kerja nyata” yang merefleksikan sebuah bangsa yang tengah berjuang dalam platform falsafah Pancasila. Sejatinya masyarakat luas sangat mendambakan realita Pancasila sebagai dasar negara dalam dunia nyata.
Salah satu yang mudah dikerjakan adalah mewujudkan kegiatan nyata di lapangan yang dapat menjadi teladan atau contoh masyarakat luas di kalangan akar rumput tentang tindakan yang berlandaskan Pancasila.
Mari kita lihat saja salah satu contoh sederhana dengan memperlihatkan tentang bagaimana keberpihakan para elite negeri kepada masyarakat akar rumput. Dalam kegiatan keseharian yang dipertontonkan adalah tentang bagaimana para elite kurang memberikan kepedulian terhadap masyarakat akar rumput. Masyarakat akar rumput yang terkadang disebut sebagai kaum proletary, kaum miskin yang oleh Bung Karno dikatakan sebagai kaum Marhaen.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang tercantum dalam Pancasila tampak sebagai sebuah hiasan yang indah saja. Pada kenyataannya secara tidak disadari kesenjangan sosial justru semakin hari semakin meningkat. Kesenjangan antara kaum proletar versus kaum borjuis, kaum elite versus akar rumput, kaum miskin versus orang kaya.
Budayawan asal Jerman Franz Magnis Suseno lebih mengkhawatirkan tentang kesenjangan sosial sebagai penyebab utama yang akan berpotensi menjadi pemecah persatuan bangsa Indonesia. Franz Magnis Suseno memandang kesenjangan sosial yang berkembang semakin jauh jaraknya menjadi lebih berbahaya dibanding dengan sektor radikalisme yang disebabkan perbedaan dan fanatisme agama di Indonesia.
Keadilan sosial memang menjadi kunci dalam seluruh aspek kehidupan yang berkait dengan kegiatan sehari hari kehidupan bangsa.
Mengamati fenomena yang terlihat dalam kehidupan keseharian bangsa terkadang membuat pesimistis banyak kalangan tentang penanganan masalah keadilan sosial. Salah satu yang sangat menyolok adalah tentang bagaimana jajaran pemerintahan kita kurang terlihat keberpihakannya kepada masyarakat luas. Contoh mudah tampak jelas dalam pemandangan di jalan raya sehari hari.
Di tengah lalu-lintas yang padat semrawut macet dan menjengkelkan, selalu saja ada sesekali melintas mobil mewah dengan kawalan motor berbunyi "ngoeng ngoeng" memekikkan telinga sambil memaksa kendaraan lain untuk minggir memberi jalan mereka. Tidak jelas siapa mereka itu, apakah pejabat negara ataukah Land Lord yang tengah melintas dan merasa terganggu dengan kemacetan menghalangi jalur laju lintasan mereka.
Dulu, saat Menhankam Pangab dijabat oleh Jenderal Jusuf yang berhak melakukan itu adalah hanya Presiden RI, Wakil Presiden, Tamu Negara setingkat, Pemadam Kebakaran, dan ambulans.
Selain itu, semua dilarang menggunakan sirene sebagai pembuka jalan. Sekarang ini sudah menjadi tidak jelas siapa yang berhak dan tidak berhak, tidak jelas karena siapa saja sepertinya bisa saja menggunakan sirene meminggirkan orang lain untuk membuka jalan bagi kepentingan diri sendiri.
Ini sudah memberikan kesimpulan bahwa kaum elite dengan mudah melintas dengan cepat di tengah kemacetan dan amburadulnya jalan raya. Masyarakat akar rumput seakan dipandang tidak berguna sama sekali dan sah-sah saja untuk disuruh minggir sesukanya memberikan jalan kepada mereka yang berwenang menggunakan motor kawal dan "ngoeng ngoeng". Sebuah ironi dari gambaran nyata masyarakat bangsa yang ideologinya Pancasila.
Bila melihat di negara maju gambarannya sangat jelas. Fasilitas transportasi umum dipenuhi dengan baik sehingga mengurangi banyak kendaraan pribadi di jalan raya. Kemacetan sangat mudah diatasi, di sisi lain pengguna kendaraan pribadi dikenakan pajak dan sekaligus tarif parkir yang juga tinggi. Ini adalah gambaran nyata dalam keseharian yang mencerminkan keberpihakan para elite negeri di sana kepada masyarakat akar rumput.
Itu adalah refleksi dari sikap yang berorientasi kepada azas keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Ini adalah cerminan dari keinginan bersama bekerja seirama dalam upaya menuju cita-cita bangsa. Sikap saling menghargai yang berlandaskan kepada saling menghormati satu dengan lainnya.
Bagaimana kita bisa berharap kepada para elite bangsa apabila tidak tampak keberpihakan para elite-nya terhadap kepentingan masyarakat akar rumput? Itu sebabnya terlihat pula dengan jelas pada kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para elite yang juga tidak atau kurang berpihak kepada keoentingan rakyat banyak. Kebijakan para elite dalam keseharian yang tampak di jalan raya adalah miniatur atau showroom dari pola kebijakan yang dihasilkannya.
Kebijakan tentang didelegasikannya wilayah udara kedaulatan kepada negara lain dan peraturan tentang ekspor pasir sangat tidak dimengerti khalayak banyak tentang apa maksudnya. Padahal, wilayah udara yang didelegasikan untuk selama 25 tahun dan akan diperpanjang adalah kawasan kritis dalam perspektif pertahanan negara dan sekaligus wilayah udara yang sangat potensial dalam mengisi kas negara.
Demikian pula berita mutakhir berasal dari Evironmental Reporting Collective membuktikan bahwa ekspor pasir laut merusak lingkungan dan melanggar HAM (ERC https://www.investigative.earth/)
Tidak aneh bila hal itu memunculkan olok-olok bahwa kita tengah berusaha keras untuk mencari dana dengan cara menjual tanah air (pasir) dan udara kepada negara lain. Sungguh menyedihkan, apabila hal ini tidak cepat disadari. Demikianlah maka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan menjadi pemandangan fatamorgana bila fenomena ini tidak segera dipahami dengan penuh penghayatan.
Selamat Hari Lahir Pancasila, walau sekali lagi dengan penuh penyesalan kita harus menghadapi kenyataan bahwa Pancasila sampai dengan hari ini masih “miskin” keteladanan dalam implementasinya.
Jakarta, Sabtu, 3 Juni 2023
*) Pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia
Post a Comment