Lukas Enembe: Saya Difitnah, Dizalimi, dan Dimiskinkan
Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe. (foto: rmol.id)
JAKARTA -- Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe mengaku ia merasa difitnah, dizalimi, dan dimiskinkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara dugaan penerimaan suap dan gratifikasi senilai Rp 46,8 miliar.
"Untuk rakyat Papua di mana saja berada. Saya, gubernur yang Anda pilih untuk 2 periode, saya kepala adat, saya difitnah, saya dizalimi, dan saya dimiskinkan. Saya, Lukas Enembe tidak pernah merampok uang negara, tidak pernah menerima suap, tetapi tetap saja KPK menggiring opini publik, seolah-olah saya penjahat besar," kata Penasihat Hukum Lukas, Petrus Bala Pattyona, saat membacakan nota keberatan (eksepsi) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, seperti dikutip Antara, Senin (19/6/2023).
Sidang pembacaan dakwaan tersebut dihadiri langsung oleh Lukas Enembe yang didampingi salah seorang penasihat hukumnya Petrus Bala Pattyona di kursi terdakwa karena Lukas tidak dapat berbicara dengan lancar akibat sakit stroke yang dideritanya.
Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mendakwa Lukas menerima suap senilai Rp 45.843.485.350 dan gratifikasi sebanyak Rp 1 miliar saat menjadi Gubernur Papua pada periode 2013-2018 dan 2018-2023.
"Saya dituduh penjudi, sekalipun bila memang benar, hal itu merupakan tindak pidana umum, bukan KPK yang mempunyai kuasa untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus judi," kata Petrus membacakan eksepsi.
Petrus menyebut Lukas mengalami stroke sampai 4 kali dan juga menderita diabetes.
"Sebelum ditahan, diabetes saya berada di stadium empat dan setelah ditahan menjadi stadium lima, saya juga menderita penyakit hepatitis B, darah tinggi, jantung, dan banyak komplikasi penyakit dalam lainnya dan pemeriksaan terakhir dokter RSPAD menyatakan fungsi ginjal saya tinggal 8 persen," ungkap Petrus membacakan elsepsi Lukas.
Saat penyerahan berkas penyidikan tahap kedua pada 12 Mei 2023, Petrus menyebut tensi darah Lukas mencapai angka 180 sehingga dokter KPK menganjurkan pemeriksaan penyerahan tahap dua dihentikan dan benar dihentikan tanpa Lukas menandatangani dokumen.
"Seandainya saya mati, pasti yang membunuh saya adalah KPK, dan saya sebagai kepala adat, akan menyebabkan rakyat Papua menjadi marah dan kecewa berat terhadap KPK sebagai penyebab kematian saya," ungkap Lukas membacakan keluhan Lukas.
Selanjutnya Petrus menyebut sangkaan suap Rp 1 miliar yang kemudian dalam dakwaan membengkak menjadi puluhan miliar rupiah menyebabkan seluruh kekayaan Lukas disita. "Belum cukup dengan sita uang saya, uang istri dan anak saya pun disita. Padahal dalam BAP saya, telah saya tegaskan bahwa uang Rp 1 miliar itu adalah uang pribadi saya, bukan uang suap atau gratifikasi. Hal yang sama di bawah sumpah saya jelaskan ketika menjadi saksi 16 Mei dalam sidang Rijatono Lakka."
Saat menjadi saksi, Lukas mengatakan, diperiksa dalam keadaan sakit dan di bawah sumpah bahwa ia hanya kenal Rijatono Lakka sebagai seorang pendeta dan tidak mengenal orang bernama Frederick Bane dan Lukas tidak mengetahui mengenai uang yang katanya pernah ditransfer kepadanya.
"Yang saya juga tak dapat mengerti pengacara saya Stefanus Roy Rening dijadikan tersangka menghalang-halangi pemeriksaan, padahal Stefanus Roy Rening tidak pernah mendampingi para saksi perkara saya dan katanya karena pernyataan-pernyataan Stefanus Roy Rening di publik yang membela saya bisa memengaruhi keterangan saksi. Lalu bagaimana caranya ia memengaruhi saksi-saksi, ketika saksi tidak didampingi pengacara?" ungkap Lukas dalam eksepsi yang dibaca Petrus.
Namun Lukas dalam eksepsinya menyebut agak pesimistis terhadap pemeriksaannya di pengadilan karena rata-rata tuntutan hanya "copypaste" dakwaan dan mengensampingkan fakta yang terungkap di persidangan. "Karena katanya hakim takut memutus tidak sesuai dengan kehendak KPK dan hakim takut bila tidak menuruti kemauan KPK, maka hakim akan ditelusuri riwayat harta kekayaan hakim, hakim akan menjadi korban hoaks, korban fitnah."
Dalam akhir eksepsinya, mewakili Lukas, Petrus memohon agar seluruh rakyat Papua tetap tenang. "Dan kepada rohaniawan, para pastor, para pendeta, imam masjid, dan seluruh rakyat Papua tolong doakan saya untuk menghadapi persoalan berat ini yang tidak pernah saya lakukan agar saya kuat dan tabah menghadapi tuduhan keji ini."
Tim penasihat hukum meminta agar majelis hakim memberikan pengalihan penahanan menjadi penahanan kota.
"Kami penasihat hukum memohon agar penahanan Lukas Enembe karena sakit dialihkan ke penahanan kota sehingga mudah melakukan pengobatan sebagaimana surat permohonan yang telah kami masukkan pada tanggal 9 Juni 2023 melalui Kepaniteraan Pengadilan Tipikor. Selanjutnya kami mohon agar pemeriksaan terhadap terdakwa dilakukan secara offline dan pemeriksaan terdakwa didampingi dokter," kata Tim Penasihat Hukum OC Kaligis.
Dakwaan untuk Lukas
Dalam perkara ini, Lukas didakwa dengan dua dakwaan. Pertama, Lukas didakwa menerima suap dari Rp 45.843.485.350 dengan rincian sebanyak Rp 10.413.929.500 berasal dari pengusaha Piton Enumbi selaku Direktur sekaligus pemilik PT Meonesia Mulia, PT Lingge-Lingge, PT Astrad Jaya serta PT Melonesia Cahaya Timur dan sebanyak Rp 35.429.555.850 berasal dari Rijatono Lakka selaku Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo, PT Tabi Bangun Papua sekaligus CV Walibhu.
Dakwaan kedua, Lukas Enembe juga didakwa menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp 1 miliar dari Budy Sultan selaku Direktur PT Indo Papua pada 12 April 2013.
Rijatono Lakkaelah divonis 5 tahun penjara oleh PN Tipikor Jakarta. Terbaru, KPK kembali menetapkan Lukas sebagai tersangka dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). KPK telah menyita sejumlah aset terkait perkara Lukas dalam berbagai bentuk dengan nilai total lebih dari Rp 200 miliar.
(dpy)
Post a Comment